Cerpen

lubang tambang 

Warung Kopi dan Anak-anak Mati di Lubang Tambang



FAJAR masih kuncup, hanya semburat menyelinap di antara gerombolan awan abu-abu. Dingin menggigit sisa hujan semalam, membuat pagi ini sempurna untuk melanjutkan tidur. Namun, tidak ada yang bisa menghentikan ritual pagi di warung acil Galuh. Bukan karena menunya, melainkan, obrolan-obrolan yang selalu hangat dan happening.

Entah bagaimana, bercericau kesana kemari sambil ngopi dan makan untuk-untuk , menjadi semacam candu. Padahal, sering ada adu mulut berujung saling tak acuh berhari-hari. Bahkan, silat lidah menjurus sumpah serapah akibat pemilihan presiden dua tahun lalu, masih kerap terjadi hingga hari ini.

Namun, kali ini ada trending topic baru. Kejadiannya dua
malam lalu. Masih hangat. Kematian Daus, anak Mursidah menjadi diskusi menarik. Dia adalah bocah ke-10 dalam tiga tahun ini, yang mati tenggelam di bekas lubang tambang batu bara yang kini jadi seperti danau atau kolam raksasa. Wajah Samarinda memang bopeng dua dasawarsa terakhir akibat pengerukan batu bara.

“Ini kutukan. Jelas ini kutukan. Kalau kalian tidak percaya, lihat saja nanti. Kutukan tidak berhenti di sini,” kata julak Sopian.

Daus mati tenggelam di bekas lubang tambang yang berlokasi hanya sekitar 300 meter dari rumahnya. Bocah 11 tahun itu biasa bermain di sana. Entah berenang, sesekali memancing. Nahas, sore itu Daus seolah ditelan makhluk terkutuk. Ada empat anak lainnya yang ikut berenang. Tapi, sepertinya cuma dia yang dikehendaki si penghuni kolam hijau.

“Aku ini orang tua, tapi kada percaya kutukan. Memangnya apa salah Mursidah sampai anaknya mati membiru?” bantah kai Jumeri.

“Maksud ulun , kutukan itu dialamatkan kepada kita semua, karena diam melihat tanah kita dikeruk, dihabisi isi perutnya. Kebetulan saja si Daus malang yang jadi contoh,” julak Sopian mempertahankan pendapatnya.

Kai Jumeri tak mau kalah. “Tuhan mana yang membunuh orang kada bersalah untuk jadi contoh kutukan bagi orang lain,” sengitnya.

“Tapi ini sudah korban ke-10!” julak Sopian setengah berteriak. Untung dia keburu sadar lawan bicaranya orang yang lebih tua dan dituakan di kampung. Dia lalu menggerutu tak jelas.

Acil Galuh menahan senyum sambil menuang air panas dari termos ke dalam gelas. Seduhan kopi itu menuai asap. Aromanya wangi, mampu menurunkan tensi obrolan yang hampir meninggi.

Duduk di bangku paling pinggir, seseorang mengenakan jaket bagian dari dealer motor, menunduk-nunduk. Mimiknya seperti malas terlibat dalam pembicaraan. Tapi celaka, acil Galuh malah menunjuk hidungnya. Inilah kunci ramainya diskusi setiap pagi di warung itu. Perempuan yang dulu sekali pernah kuliah tapi tak lulus karena kurang biaya ini, piawai mengatur lalu lintas obrolan agar terus hangat.

“Nah itu ada Burhan. Apa pendapat ikam, Han?” todongnya. Pria yang disapa Burhan senyum kecut. Dia pegawai negeri sipil, di Dinas Pertambangan. Isu anak mati di lubang tambang tentu bukan bahan obrolan yang meningkatkan moodnya di pagi hari.

Semua mata di warung itu menatapnya. Burhan agak salah tingkah. Dia mencoba menyeruput tehnya untuk melicinkan tenggorokan. “Emm..gimana ya..” diseruputnya lagi minuman yang masih panas itu.

“Emm..Menurut saya, ada yang harus bertanggung jawab.” Dia menggigit bibir bawahnya sendiri, mengutuk jawaban yang asal keluar.

Namun, gumaman di sekitarnya membenarkan. “Jadi siapa yang harus bertanggung jawab, Han?” tanya acil Galuh. Burhan menahan napas, takut-takut ada yang menuding tempatnya bekerja.

“Perusahaan?” Lega bukan main lelaki tambun itu mendengar terkaan acil Galuh.

“Ya, ya! Perusahaan yang wajib bertanggung jawab. Mereka tidak menutup lubang tambang, dan membiarkannya tanpa tanda peringatan,” buru-buru Burhan berkomentar sambil menunjuk-nunjuk halaman koran di mejanya. Soal anak mati di lubang tambang jadi headline beberapa surat kabar lokal.

Namun, perusahaan biasanya berkelit, dan pemerintah membenarkan. Mereka bilang di koran, untuk menutup lubang tambang dengan luas satu hektare dan dalamnya 30 meter, perlu duit Rp 1,3 miliar. Itu baru satu lubang.

Menurut data yang dirilis koran lokal, ada 100 lebih bekas lubang tambang di Samarinda yang tidak ditutup. Fakta lain, 70 persen wilayah ibu kota Kalimantan Timur ini adalah areal konsesi tambang batu bara.

***

Duduk tepekur di ruang tamu, perempuan muda itu layu memandangi tas sekolah di tangannya. Sesekali dipeluk erat-erat. Tas itu saksi ketekunan anaknya, Daus, dalam belajar. Dia tidak pernah mengeluh meski isi tasnya punya bobot hampir sama dengan tubuhnya yang kurus. Sampai kelas 5 SD ini, hanya sekali dia tidak rangking 1.

Anak secemerlang purnama itu mati terlalu dini. Tubuh Mursidah gemetar lagi membayangkan Daus meregang nyawa sendirian di kolam yang dalamnya puluhan meter. Gelap, dingin, sepi. Hatinya seperti diiris kecil-kecil, perlahan-lahan, ketika di kepalanya muncul malaikat mencabut nyawa putra semata wayang yang diasuhnya setengah mati. Kini purnama itu ditimbun tanah, membuat gelap dunia Mursidah.

Beberapa lelaki dari tadi berbincang-bincang di depannya. Mursidah seperti tak melihat dan mendengar. Sesekali mereka tampak meminta pendapatnya, tapi mata perempuan yang hanya lulus SMP itu tetap kosong.

Armin, dari lembaga swadaya masyarakat yang selama ini mendampingi para orangtua korban lubang tambang, akhirnya menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ditujukan kepada Mursidah. Debat mereka terdengar seperti dengungan lebah. Justru, suara anaknya yang masuk ke telinga.

“Aku mau jadi orang kaya, biar ibu tidak miskin lagi,” begitu jawab Daus selalu ketika sang ibu bertanya apa cita-citanya. Di benak Daus, berprestasi di sekolah bisa mengantarkan seseorang menjadi kaya raya.

Sekarang, kemiskinan seumur hidup membayangi Mursidah. Dia tidak punya siapa-siapa. Suaminya, sudah pergi jadi TKI ke Malaysia dan tak kembali sejak Daus masih bayi. Tak pula berkirim kabar. Entah mati, atau punya bini lagi.

Keluarga Mursidah semua di Jawa. Kebanyakan, petani yang menggarap lahan milik orang lain. Meski begitu, pulang kampung adalah opsi paling masuk akal sekarang. Satu-satunya yang memberatkan adalah dia akan jauh dari pusara buah hatinya.

Akibat kepedihan itu, dia mengutuk pengusaha batu bara, menghujat pemerintah, dan mengumpat dirinya sendiri yang tak menjaga Daus dengan baik. Jika buku takdir boleh ditulis ulang, Mursidah ingin memundurkan waktu beberapa hari saja, dan dia bersumpah akan menjaga putranya seperti berlian.

Lamunan Mursidah tiba-tiba buyar mendengar seseorang menyebut angka Rp 15 juta. Dia ingin melaknati orang-orang di depannya. Mulutnya gatal hendak menyumpah. “Kalian kira bisa mengembalikan anakku dengan 15 juta! Bangsat! Kenapa bukan anak kalian saja yang mati!” batinnya. Tapi, dia perlu uang itu. Minimal untuk hidupnya beberapa bulan ke depan.

Matanya memandang ke Armin, seperti minta pendapat.
“Itu baru uang muka saja, Bu. Nanti sisanya Rp 15 juta lagi menyusul,” imbuh seorang pria berpenampilan ala eksekutif muda.

Mursidah bisu. Air matanya mengalir lagi. Armin meminta para tamu itu pulang. “Nanti kita bicarakan lagi, bapak-bapak. Sekarang saat yang tidak tepat,” tegasnya.

Beberapa orang perwakilan perusahaan dan pemerintah itu keluar dengan air muka tak sekeruh saat baru masuk rumah Mursidah. Kematian Daus naga-naganya bisa diselesaikan dengan damai. Tunas bernas, satu-satunya angin surga di kehidupan Mursidah itu ditebus dengan segepok rupiah.

Awalnya, Mursidah dengan dorongan dari Armin dan aktivis advokasi tambang, berniat mempolisikan semua yang terlibat kasus tersebut. Pemerintah kota dan pengusaha sasaran utama mereka. Namun, menengok kasus-kasus sebelumnya yang sulit berjumpa keadilan, ditambah dana santunan yang menggiurkan, membuat kepala Mursidah berat memikirkannya.

Pun, kabar banyaknya anak mati di bekas lubang tambang ini sebenarnya sudah sampai ke pemerintah pusat. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan hingga Menteri Sosial pernah ke Samarinda mendatangi korban dan lokasi lubang maut. Bahkan, ketika Presiden punya agenda kunjungan ke daerah ini, saat itu pula ada lagi anak mati di bekas lubang tambang.

Namun, efek kunjungan itu belum terasa. Malah, kejadian tragis terus berulang. Itulah mengapa julak Sopian menyebutnya sebagai kutukan. Sampai 10 anak mati, proses hukumnya satu pun tidak ada yang berjalan baik. Kematian anak-anak itu dianggap kecelakaan biasa yang bisa diselesaikan dengan damai. Sanksi paling jauh hanya penutupan sementara operasional perusahaan yang salah satu bekas lubang tambangnya menelan nyawa anak-anak itu. Beberapa bulan kemudian, beroperasi lagi. Mengeruk lagi dan menciptakan lubang-lubang lain.

***

Julak Sopian belum kelihatan batang hidungnya pagi ini. Padahal, pembicaraan seputar kematian Daus di lubang tambang makin panas. Kalau tempo hari Burhan yang jadi sasaran tembak di warung acil Galuh, kini giliran Beni, pak polisi.

Sial buat Beni yang pagi itu cuma disuruh beli sanggar oleh istrinya. Dia ditahan, dipaksa mengikuti obrolan di warung. Belum-belum dia sudah diberondong pertanyaan seputar kasus-kasus lama anak mati di lubang tambang, sebelum kasus Daus.

Berbekal informasi dari koran dan berita online, jemaah warung acil Galuh mempertanyakan kinerja polisi dalam kasus itu. Ada kewajiban yang diingkari perusahaan, yakni menutup kembali lubang bekas tambang alias reklamasi.

Dalam kasus kematian anak-anak di bekas lubang tambang, pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sebetulnya bisa dipakai, yaitu kelalaian yang menyebabkan kematian seseorang. Perusahaan dan pemerintah patut dianggap lalai, tapi sampai korban ke-10, tak ada yang dipidana.

“Kenapa kada ada yang dipenjara?” todong kai Jumeri.
Beni terpaksa memesan kopi. “Begini, Kai. Banyak hal kenapa proses hukum kasus itu berhenti. Ada yang memang diselesaikan secara musyawarah. Ada yang mencabut laporan. Jadi tidak ada alasan bagi polisi untuk melanjutkan,” terangnya.

Julak Sopian tampak baru bergabung. Dia duduk tepat di sebelah kai Jumeri. Tapi, dia tampak kurang antusias.
“Oh begitu. Lalu, kasus Daus bagaimana, Ben?” tanya acil Galuh.

“Saya belum tahu pasti, Cil. Tapi dari yang saya dengar, sepertinya akan diselesaikan secara kekeluargaan,” jawab Beni.

“Setelah itu?” kejar Kai Jumeri.

“Ya, selesai, Kai. Kasusnya berhenti di sini.”

“Di sini di mana maksud ikam? Di warung si Galuh?” tanya kai Jumeri, kesal.

Pengunjung lain cekikikan. “Polisi, pemerintah, sama-sama kada becus. Percuma jua menteri sampai presiden datang ke sini. Kada tungtung persoalan.”

“Sabar, Kai. Ingat jantungnya,” kelakar acil Galuh. “Julak Sopian kenapa diam saja?” dia menyapa orang yang biasanya bicara ceplas-ceplos. Tapi, yang disapa seperti enggan berkomentar. Dia hanya mengangkat bahu, lalu memasukkan untuk-untuk ke mulutnya.

Tema obrolan akhirnya beralih ke pertandingan sepak bola tadi malam, antara Barcelona dan Real Madrid. El Clasico berhasil menurunkan emosi kai Jumeri. Dia berseri-seri lagi karena jagoannya, El Barca, menang dalam laga penting itu.

***

Lima bulan berselang. Pagi itu di warung kopi orang-orang lebih banyak diam. Tak biasanya, mereka seperti kehabisan kata-kata. Kai Jumeri membiarkan kopinya dingin. Dia membolak-balik koran di depannya, seolah tak percaya dengan berita hari ini. Satu anak mati di kelurahan sebelah, satu lagi mati di kecamatan berbeda. Dua-duanya tenggelam di kolam bekas lubang tambang.

Sementara, tak jauh dari warung kopi, julak Sopian terlihat semangat mencuci mobil barunya. Dengar-dengar kabar, dia baru saja menjual tanahnya dengan harga bagus kepada perusahaan tambang batu bara. Nilainya lebih Rp 2 miliar.

Para koleganya di warung kopi sangsi dia akan bergabung lagi dengan mereka setiap pagi; sarapan dan ngopi, sambil serius membicarakan hal-hal penting, seperti kutukan tambang.

Penulis: Er Riyadi
Editor: Er Riyadi

Berita Lainnya

Balada Guru Prakerja
Puisi
Balada Guru Prakerja
Tuhan yang Maha Puasa
Puisi
Tuhan yang Maha Puasa
Sajak Cinta
Puisi
Sajak Cinta
Sore yang Tak Ingin Bertemu Senja
Puisi
Sore yang Tak Ingin Bertemu Senja