Utama

banjir banjir samarinda pilwali 2020 Pilkada 2020 

Banjir Tak Kunjung Tertangani, Begini Kata Para Bakal Calon Pemimpin Samarinda



Banjir di Samarinda pada momen lebaran tahun 2020. Foto: Rama/Kaltim Post
Banjir di Samarinda pada momen lebaran tahun 2020. Foto: Rama/Kaltim Post

SELASAR.CO, Samarinda – Persoalan banjir di Kota Tepian menjadi permasalahan serius yang tak kunjung tertangani. Bahkan dua kali banjir menyapa pada Hari Kemenangan, yaitu pada Idulfitri 2019 dan 2020. Banjir 30 centimeter sampai 110 centimeter pun merendam puluhan ribu warga dari 11 kelurahan di 5 kecamatan.

Isu krusial ini menjadi topik bahasan dalam webinar ketiga yang digelar oleh Kaltim Post pada Kamis (4/6/2020) lalu. Menggandeng Samarinda TV (STV) dan Radio KPFM, diskusi yang digelar dalam jaringan itu pun mengambil tajuk “Meraba Muara Banjir Samarinda”.

Acara berlangsung di Zoom, disiarkan langsung ke channel YouTube, akun Instagram, dan Facebook milik Kaltim Post, STV, dan Radio KPFM Samarinda. Ada puluhan ribu penonton yang menyaksikan melalui media sosial tersebut. Sementara partisipan di Zoom sebanyak 100 orang dari berbagai kalangan.

Gelaran ini dipandu langsung oleh Direktur STV, Achmad Ridwan sebagai moderator. Menghadirkan bakal calon pemimpin Samarinda yang digadang-gadang maju dalam kontestasi Pilkada serentak mendatang. Mereka adalah Erwin Izharuddin, Andi Harun, dan Sarwono. Hadir pula Niel Makinuddin, pegiat lingkungan dari Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN), dan Irwan Fecho anggota DPR RI Komisi V dari daerah pemilihan Kaltim.

Sarwono mendapat kesempatan pertama menyampaikan gagasan. Penanganan banjir, menjadi program prioritas dia dan Zairin Zain, pasangannya sebagai bakal calon wali kota Samarinda. Banjir satu di antara lima misi mereka jika terpilih menjadi pemimpin Samarinda.

Sarwono menyebut, untuk mengentaskan banjir, dia tak bisa sendiri atau hanya berdua dengan Zairin. “Banjir itu kompleks. Untuk menyelesaikannya, tidak perlu Superman, tetapi superteam,” ucapnya.

Untuk mengentaskan banjir, dia akan mendengarkan berbagai pendapat. Diakuinya, urusan banjir tak sekadar hitung-hitungan seberapa lebar drainase. Sarwono mengisahkan ketika duduk di bangku kuliah dia belajar menghitung ukuran drainase jika ada sekian kubik air yang bakal mengalir. Tetapi ternyata hitungan itu tak mudah diaplikasikan di Samarinda, karena volume aliran air dari hulu ternyata melimpah.

Apalagi Sarwono menyadari keberadaan tambang di sekitar Samarinda berdampak pada keparahan banjir. Dia menghitung ada 68 konsesi tambang di Kota Tepian. Jadi, diperlukan penataan lingkungan sehingga banjir bisa diatasi.
Sementara itu, Andi Harun memilih memanfaatkan yang ada untuk pengentasan banjir di Samarinda. Saat ini yang diperlukan Samarinda adalah bendungan pengendali dan polder air.

Ibu kota provinsi telah memiliki Bendungan Benanga, tetapi sayang sedimentasinya tinggi. Sehingga tidak bisa menampung air semestinya. Sementara beberapa kawasan di Samarinda juga telah beralih menjadi pemukiman atau kawasan komersial lain. Padahal seharusnya kawasan tersebut menjadi daerah tangkapan air.

Jadi, bendungan dan polder diperlukan untuk menampung air yang tak dapat terserap. Tetapi membuat polder tidak mudah. Begitu juga dengan membuat bendungan. Pemerintah harus menemukan lahan, melakukan pembebasan lahan, dan membuat aliran air ke polder tersebut.

Andi Harun pun mengemukakan ide bahwa pemerintah bisa memanfaatkan void atau lubang bekas tambang yang sudah tidak aktif. Menghitung ada 118 lubang tambang di Samarinda yang bisa dimanfaatkan sebagai polder. Tinggal membuat saluran ke void tersebut.

Tetapi, penanganan banjir tak hanya memanfaatkan void. Itu hanyalah solusi jangka pendek. Andi mengatakan sudah memiliki rancangan penanganan banjir di Samarinda dari hulu ke hilir.

Di hulu, harus revitalisasi daerah aliran sungai (DAS) dan reduksi banjir dari hulu dengan memanfaatkan waduk dan polder. Lalu, pengendalian banjir di kawasan tengah yaitu pengendalian tata guna lahan dan normalisasi sungai.

Kemudian di hilir, melakukan revitalisasi drainase, pengendalian sampah, dan proteksi pasang air Sungai Mahakam dengan pintu air. Tetapi, memang mengaplikasikan rencana teknis tidak semudah itu. Bagi Andi, kuncinya adalah sinergi. “Penanganan banjir tidak seindah diskusi hari ini (kemarin) karena kompleks. Masalahnya sekarang enggak konsisten,” sebut anggota DPRD Kaltim itu.

Dia mengungkapkan, banjir dikeluhkan tapi upayanya tak maksimal. Dia mengungkit Pemkot Samarinda yang tak bisa menyerap semua anggaran yang diberikan Pemprov Kaltim. Sehingga dikembalikan. Menurut dia, saat ini sinergi tidak terbangun antara pusat, kota, dan provinsi.

Sedangkan Erwin Izharuddin menyadari bahwa pengentasan banjir di Samarinda tantangannya adalah masalah sosial. Relokasi masyarakat untuk revitalisasi DAS maupun drainase tidak mudah. Kuncinya adalah mengganti konsep ganti rugi. “Kalau mau relokasi warga di bantaran sungai, jangan ganti rugi tapi ganti untung,” sebut Erwin.

Dia mengatakan, masyarakat dibuatkan tempat tinggal yang tak jauh dari situ. Mereka bisa tinggal gratis. Jangan meminta masyarakat pindah jauh dari tempat tinggal sebelumnya. Kalau ganti untung masyarakat pasti mau. Untuk membuat hunian bagi masyarakat yang di relokasi tersebut bisa menggandeng swasta.

Dia melanjutkan, tepian Sungai Karang Mumus (SKM) itu bisa dijadikan pusat kuliner seperti di Singapura. Pengusaha di situ, tak perlu membayar sewa beberapa tahun, tetapi mereka buatkan hunian bagi warga yang direlokasi. Erwin mengatakan, jika memimpin, dia bakal benar-benar fokus pada pengendalian banjir.

“Dua-tiga tahun akan fokus di drainase. Lalu ke sungai. Bagaimana pun, kalau banjir ekonomi tidak jalan. Kalau banjir, investor enggak mau masuk. Jangankan sepinggang atau sedada, banjir sampai kaki saja bikin pusing,” ungkap Erwin.

Sementara, Niel Makinuddin mengatakan bahwa muasal banjir di Samarinda bisa didukung beberapa hal. Pertama adalah topografi Samarinda yang merupakan dataran rendah. Kemudian Samarinda berada di Kalimantan yang ekosistemnya hutan hujan dengan intensitas hujan yang cukup tinggi.

Samarinda tidak akan bisa mengentaskan banjir sendirian. Meski dibantu pendanaan dari provinsi atau pusat. Samarinda juga perlu bekerja sama dengan daerah tetangga. Khususnya Kutai Kartanegara yang mengelilingi Samarinda. Sebab, aliran air tak mengenal batasan wilayah. Maka, perlu kepemimpinan kuat.

“Penanganan banjir itu perlu leadership dan manajerial yang kuat. Perlu pemimpin yang tak punya utang historis dengan timses-nya. Jadi tidak ada ewuh pakewuh (hormat-menghormati) dengan timses-nya," kata Niel.

Pemerintah yang selanjutnya harus bisa membalikkan Samarinda ke visi-misi awal yaitu sebagai kota industri, jasa, dan wisata. Samarinda tak boleh ada tambang. Selain itu, penanganan banjir terkait politik anggaran dan kemampuan pemerintah membuat kebijakan.

Misal mereka yang ingin membangun rumah di kawasan rawa harus membangun rumah panggung atau wajib memiliki sistem permanen air hujan di gedung pemerintahan dan sebagainya.
Sedangkan, Irwan Fecho menuturkan penanganan banjir sudah melibatkan pemerintah pusat. Saat ini pihaknya merancang masterplan penanganan banjir. Mengganti masterplan penanganan banjir yang dibuat pada 2004 lalu. “Dalam satu atau dua pekan lagi akan kita bawa ke publik,” sambungnya.

Di sisi lain, Irwan mengatakan, pusat juga telah membantu penanganan banjir dari hulu ke hilir. Mulai pembuatan masterplan penanganan banjir Rp 2,5 miliar. Lalu, penguatan tebing di Sungai Karang Mumus Rp 16,28 miliar. Kemudian pembangunan Embung Sempaja senilai Rp 18,55 miliar, dan pengerukan sedimentasi di Waduk Benanga Rp 26,05 miliar. “Kita hajar sama-sama banjir di Samarinda,” pungkasnya.

Editor: Awan

Berita Lainnya