Utama
Jatam Kaltim  Jatam  Jaringan Advokasi Tambang Mareta Sari Tambang Batu Bara  Tambang Kaltim 
JATAM KALTIM: Pertambangan Jadi Penyangga Ekonomi dengan Cara Koruptif dan Intimidatif

SELASAR.CO, Samarinda – Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Kalimantan Timur, Mareta Sari, menyampaikan kritik tajam terhadap sistem ekonomi ekstraktif yang dinilai semakin memperparah kerusakan lingkungan, mempersempit ruang hidup masyarakat, dan melanggengkan praktik koruptif serta intimidatif.
Menurut Mareta, ekstraktivisme merupakan sistem ekonomi yang menggantungkan pertumbuhan pada eksploitasi sumber daya alam secara besar-besaran, seperti pertambangan. Sistem ini, katanya, berjalan dengan menekan biaya pemrosesan serendah mungkin demi perluasan perdagangan yang diklaim berkelanjutan.
“Pertambangan di Indonesia telah menjadi penyangga utama sistem ekonomi dengan cara yang koruptif dan intimidatif,” ujar Mareta dalam pernyataannya saat lakukan orasi di depan Kantor Gubernur Kaltim dalm peringatan Hari Anti Tambang (HATAM) 2025, Rabu (28/5/2025).
Ia juga menyoroti bagaimana narasi transisi energi saat ini tidak lebih dari bentuk baru ekspansi ekstraktivisme. Agenda transisi tersebut, menurutnya, telah membuka zona-zona pengorbanan baru dengan dalih penurunan emisi dan solusi iklim, namun menimbulkan kerusakan yang masif dan berbiaya sosial tinggi.
Berita Terkait
“Pinjaman yang diberikan untuk proyek-proyek yang masuk dalam Asta Cita pemerintahan Prabowo justru menimbulkan kriminalisasi, pencemaran, bahkan kematian di sekitar wilayah pertambangan, tambahnya.
Pola Ekstraktivisme dan Relasi Politik
JATAM menyoroti bahwa sistem ekstraktif tidak bisa dilepaskan dari politik kekuasaan. Sejak 2019, kata Mareta, dukungan finansial dari industri ekstraktif terhadap kampanye calon legislatif dan eksekutif berdampak pada kebijakan yang semakin mempermudah eksploitasi alam.
Perubahan undang-undang dan aturan turunan di sektor tambang mengukuhkan dominasi korporasi dan melemahkan perlindungan lingkungan,” jelasnya.
Pembangunan proyek-proyek besar seperti Ibu Kota Nusantara (IKN), bendungan PLTA di Kalimantan Utara, serta tambang nikel dan panas bumi menurutnya menjadi wajah baru dari ekspansi ini, meski berdampak pada krisis ekologis yang semakin parah.
Dampak Sosial dan Lingkungan
Mareta menegaskan bahwa selama sepekan terakhir, sedikitnya 11 warga adat di Maba Sangaji masih ditahan akibat aksi protes atas pencemaran sungai oleh aktivitas tambang. Di Kalimantan Timur, banjir dan longsor kian meluas akibat konsesi tambang batu bara seluas 5,3 juta hektare.
Ia juga mengungkapkan temuan korupsi dana jaminan reklamasi tambang senilai Rp13,12 miliar di Kaltim, dengan potensi kerusakan lingkungan yang ditaksir mencapai Rp58,54 miliar.
“Kasus tambang ilegal, penggunaan jalan dan pelabuhan publik tanpa izin, serta kematian akibat lubang tambang yang tak kunjung diselesaikan menjadi bukti nyata abainya negara,”tegas Mareta.
Represi dan Perlawanan
Dalam laporannya, JATAM juga mengungkapkan bahwa aparat negara seringkali dilibatkan dalam mengamankan proyek-proyek pertambangan, hingga mengakibatkan konflik dengan warga. Bahkan, jurnalis dan aktivis kerap menjadi sasaran intimidasi saat meliput dan mendampingi masyarakat terdampak.
“Kekerasan terhadap buruh tambang, perempuan dan anak juga menjadi potret nyata dari tragedi kemanusiaan yang terus berlangsung,” jelas Mareta.
Meski demikian, upaya perlawanan terus digalang. Masyarakat di Sanga-Sanga membangun "tembok pisang" sebagai bentuk reklamasi alternatif. Warga di Batu Kajang, Muara Kate, dan Merangan melakukan penjagaan malam dan aksi spanduk menolak tambang. Sementara di Sumber Sari, Kukar, warga mendorong ekowisata dan pertanian sebagai penolakan terhadap tambang.
Seruan Hari Anti Tambang
Peringatan Hari Anti Tambang menjadi momen konsolidasi gerakan rakyat untuk terus menyuarakan pemulihan dan perlindungan lingkungan. JATAM dan simpul jaringannya menyampaikan empat tuntutan utama:
- Perbaikan dan pemulihan lingkungan akibat pencemaran di Kalimantan Timur.
- Penegakan hukum terhadap pelanggaran reklamasi, kasus korupsi sumber daya alam, dan tambang serta pelabuhan ilegal.
- Perlindungan terhadap masyarakat yang mempertahankan ruang hidup.
- Penghentian proyek ekstraktif yang tidak berkeadilan bagi lingkungan dan rakyat.
Ekstraktivisme adalah operasi bunuh diri massal yang terus menghancurkan negeri ini.
“Kita harus menyatukan perlawanan, merawat kehidupan, dan membangun sistem alternatif yang adil dan lestari,” tutup Mareta.
Penulis: Boy
Editor: Awan