Feature

Hari Kartini Garda Terdepan tenaga medis 

Cerita dari Balik Bilik Isolasi Covid-19, Harus Sering Mandi hingga Pisah dengan Keluarga



Perempuan-perempuan pemberani di garda depan perang melawan Coronavirus Disease (Covid-19).
Perempuan-perempuan pemberani di garda depan perang melawan Coronavirus Disease (Covid-19).

Pada peringatan Hari Kartini 21 April 2020, Ibu Pertiwi tengah berjuang menghadapi pandemi. RA Kartini yang dikenal sebagai pelopor kebangkitan perempuan di Indonesia, menjadi inspirasi para perempuan negeri. Di antaranya, perempuan-perempuan pemberani di garda depan perang melawan Coronavirus Disease (Covid-19).

YOGHY IRFAN, Samarinda

Saya menghubungi para perempuan tenaga medis yang berjuang keras menyelamatkan pasien-pasien yang terinfeksi virus tersebut. Perjuangan mereka sangat berisiko, karena mempertaruhkan kesehatan, bahkan nyawa sendiri.

Para Kartini masa kini yang saya wawancarai adalah dr Maratus dokter spesialis paru-paru, dr Arina dokter umum, dan Nining Rohimah seorang perawat. Tiga petugas medis ini, tergabung dalam Tim Penanganan Covid-19 di RSUD IA Moeis Samarinda. 

Wawancara pertama dengan dr Maratus. Kami berbincang menggunakan media video daring. Saya pun menanyakan kabar. Dengan tersenyum dia menjawab, “Alhamdulillah sehat, Mas.”

Alat pelindung diri (APD) menjadi persoalan pertama yang kami bahas. Dokter Maratus bilang, selama terjadinya pandemi virus corona, APD hampir tidak pernah lepas dari wajahnya saat melayani pasien di Poli Kesehatan. Seperti diketahui, meski beberapa rumah sakit rujukan Covid-19 sudah menghentikan jam besuk, namun untuk pelayanan pemeriksaan kesehatan pasien umum masih dibuka. Sehingga, selama para petugas medis memberikan pelayanan, selama itu juga APD level 2 yang dikenakan tidak boleh dilepas. Meski saat dahaga datang, para petugas medis itu harus menahannya sampai pelayanan selesai. 

“Memang menjadi lebih waspada, menjadi lebih aware terhadap pasien-pasien di sekitar kita. Kalau pasien yang jelas pasien Covid, kita sudah siap dengan APD lengkap. Hanya terkadang kan kita juga masih melayani pasien poliklinik juga, masih melayani pasien rawat inap. Nah, pasien rawat inap yang bukan Covid, standard APD-nya level dua (masker N95 dan pelindung wajah), jadi kita tidak pakai baju hazmat dan sebagainya,” jelas dr Maratus.

Ia tidak memungkiri, terkadang muncul rasa khawatir, bahwa pasien yang datang memeriksa kesehatannya berbohong terkait riwayat perjalanannya. Kekhawatiran ini cukup berasalan. Pasalnya, pernah terjadi kasus di Rumah Sakit TNI Ciremai, Cirebon, Jawa Barat. Pasien berbohong soal riwayat kontaknya, hingga berujung 21 petugas medis harus menjalani isolasi mandiri di rumah.

“Terkadang kami juga khawatir pasien ini bohong atau tidak, dan diagnosis kita benar atau tidak. Jadi perbedaannya dulu dan sekarang, kalau dulu saat di poli pakai baju biasa. Tapi kalau sekarang di poli kita sudah pakai APD level 2, jadi cukup gerah,” tambahnya. 

Jika menggunakan APD level 2 saja sudah cukup mengganggu, bisa dibayangkan apa yang dirasakan petugas medis saat menggunakan APD lengkap dengan baju hazmat (full cover). Pertama, para petugas medis memakai baju bedah biasa, lalu pakai surgical gown, yang jika tidak ada, bisa digantikan dengan baju berbahan plastik lainnya. Setelah itu, barulah pakaian hazmat (cover all) itu dikenakan. Mereka juga diwajibkan menggunakan kaos kaki, sepatu boot, lalu sepatu boot ditutup dengan cover. Untuk masker juga terdiri dari 3 lapis, begitu juga dengan sarung tangan sebanyak tiga lapisan.

“Itu yang bikin gerah, utamanya kalau saya itu, di mata. Jadi mata itu harus ditutup dengan google, setelah itu masih pakai face Shield, nah itu yang biasanya bikin berembun. Kadang kalau masuk ruang perawatan isolasi mungkin belum berembun,  terakhir waktu mau keluar bahkan kita sampai susah melihat karena sangat berembun sekali,” tambah dr Maratus.

DOKTER YANG JUGA SEORANG IBU

Meski terlihat berani berhadapan langsung dengan virus tersebut, dr Maratus tetap seorang wanita yang memiliki rasa cemas. Apalagi saat ini ia memiliki dua anak yang masing-masing baru berusia 3 tahun dan 10 bulan.

“Sebenarnya rumah sakit menyediakan kamar khusus kepada petugas medis jika tidak ingin pulang. Tapi saya berpikir kalau tidak pulang, malah semakin stres dan daya tahan tubuh juga turun,” katanya.

Oleh karena itu, segala bentuk SOP dan langkah-langkah antisipasi lainnya sebagai bentuk ikhtiar, dia lakukan untuk mencegah penyakit ini ke rumahnya.

“Bahkan selain melakukan prosedur pelepasan APD yang benar, untuk langkah antisipasi saya mandi di rumah sakit itu bisa sampai dua kali. Jadi keluar ruang isolasi mandi, sehabis itu keluar dari rumah sakit mandi lagi, sampai rumah bisa mandi lagi. Semua itu saya lakukan agar tidak membawa kuman ke rumah. Dan ikhtiar-ikhtiar seperti itu tentu saya barengi dengan doa,” tuturnya.

Meski begitu, sebagai dokter, sudah menjadi tugasnya untuk menjalani hal ini. “Sebagai petugas medis kita tidak boleh menunjukkan perasaan bahwa ini berat, agar kita menjalaninya juga dengan enjoy. Kita juga harus melayani masyarakat, jadi kita tetap harus tetap enjoy, jangan menjadikan beban,” ungkapnya.

Kekhawatiran serupa juga disampaikan oleh dr Arina, seorang dokter umum di RSUD IA Moeis Samarinda. Ia adalah ibu dari tiga anak, yang baru berusia 4, 3, dan 2 tahun. Sebagai dokter pasien Covid-19, Arina memastikan prosedur berjalan.

“Setibanya di rumah tidak langsung menyentuh anak-anak. Yang pertama saya lakukan biasanya masuk ke kamar mandi dulu untuk mandi lagi (di rumah sakit sudah mandi sebelum pulang ke rumah). Lalu saya kembali berganti pakaian. Jadi saya juga tidak boleh egois. Walaupun kita kangen dengan anak-anak, kita harus pikirkan jangan sampai kita membawa virus dari rumah sakit,” tuturnya.

HARUS BERPISAH SEMENTARA DENGAN KELUARGA

Pada hari yang sama, saya juga mewawancarai salah satu perawat dalam tim medis menangani Covid-19 di RSUD IA Moeis, Nining Rohimah. Dia mengaku sudah sekitar dua minggu tidak pulang ke rumah orangtuanya. Nining harus tinggal di asrama khusus yang disediakan rumah sakit untuk para perawat pasien Covid-19.

“Kurang lebih sudah sekitar dua minggu, tidak lagi tinggal bersama keluarga. Kalau rindu rumah itu pasti saat awal-awalnya. Khususnya kangen masakan rumah dan kangen keluarga di rumah,” ungkapnya.

Dia pun rutin melakukan panggilan video dengan orangtuanya, untuk melepas rindu dengan memberi kabar. “Jadi sedikit terobati rasa rindu dengan suasana di rumah,” imbuhnya.

Nining berkisah, sebagai seorang perawat pasien Covid-19, dirinya dituntut mengenakan APD jauh lebih lama. Kalau dokter biasanya hanya datang ke ruang isolasi untuk melakukan cek kesehatan rutin. Tapi para perawat harus mengurus segala keperluan pasien. Perawat setiap harinya bertanggung jawab dalam penggantian infus pasien hingga pemberian obat. Sehingga para perawat bisa sampai 2 jam (batas maksimal) mengenakan APD lengkap dari ujung kepala hingga kaki.

“Tugas kami sebagai perawat pelaksana memang mengharuskan kami memakai APD jauh lebih lama dibandingkan dokter. Jadi durasi pemakaian APD itu sendiri maksimal 2 jam. Berat dan panas sekali, jadi kalau terlalu lama bisa berkeringat berlebih, sehingga dapat terjadi dehidrasi (kekurangan cairan) pada tubuh. Belum lagi napas yang mulai sesak, karena mengenakan masker berlapis,” ungkap Nining.

Selama itu juga dirinya bersama perawat lain harus pintar dalam manajemen waktu. Segala sesuatunya harus dipersiapkan sebelum mengenakan APD lengkap. Karena jika tidak, baju APD yang seharusnya bisa digunakan untuk melayani beberapa pasien dalam sekali pakai, dapat berkurang efektivitasnya. Mengingat stok APD yang saat ini juga cukup sulit diperoleh.

“Karena selama menggunakan baju hazmat itu kita tidak boleh makan dan minum, sehingga kita biasanya mempersiapkan diri terlebih dahulu di awal, salah satunya minum. Tapi tidak boleh terlalu banyak juga, karena ditakutkan saat tugas belum selesai harus ke kamar kecil. Memang cukup berat, tetapi tetap harus kami jalani,” ujarnya.

Rasa takut dan was-was dia rasakan saat pertama kali diberi tahu bahwa dirinya diberi amanat untuk masuk dalam tim penanganan Covid-19 di RSUD IA Moeis. Tetapi, seiring waktu dan berkat dukungan keluarga serta teman, membuatnya yakin bahwa profesi yang dijalaninya bermanfaat bagi orang banyak.

“Inilah profesi saya, dan harus saya jalani dengan segenap hati. Kita tidak boleh memilih pasien mana yang ingin kita rawat,” katanya.

Pada akhir sesi wawancara, ia pun berpesan kepada masyarakat khususnya di Samarinda untuk terus mengikuti anjuran pemerintah tetap tinggal di rumah.

“Dimohon sekali kepada masyarakat yang memang tidak berkepentingan, misalnya hanya untuk main, nongkrong, dan tidak urgent lebih baik di rumah saja, karena penularan itu nyata adanya,” pesan Nining.

Dia melihat beberapa hari belakangan, kedisiplinan masyarakat untuk tetap tinggal di rumah mulai menurun. Ia menduga karena kasus pertama yang dilaporkan di Samarinda sudah terjadi cukup lama, sehingga masyarakat sudah mulai lupa terhadap bahaya virus ini.

“Sementara untuk teman-teman sejawat di garda terdepan penanganan Covid-19 ini, tetap semangat, jaga kesehatannya juga. Mungkin kita sudah dengar ada berita-berita tentang perawat di daerah lain, yang sampai harus diusir dari kediamannya, dan dikucilkan masyarakat. Jadi agak sedih, sih, mendengar berita itu. Seharusnya masyarakat dan tenaga medis bahu-membahu, sama-sama saling membantu memutus mata rantai penularan Covid-19 ini,” pungkasnya.

Editor: Awan

Berita Lainnya