Kolom

Jalan longsor Longsor Palaran Samarinda seberang Jalan longsor di samarinda Seberang 

Developer Tak Becus, Membangun Rumah Tanpa Toilet



Jalan poros Kecamatan Samarinda Seberang-Palaran
Jalan poros Kecamatan Samarinda Seberang-Palaran

Bayangkan Anda membeli rumah. Lalu saat ingin buang hajat, rupanya tidak ada toilet di rumah itu. Anda menghubungi developer. Jawaban yang Anda dapatkan: “Sabar ya, kami hitung dulu anggarannya.” Sementara panggilan alam sudah di ujung tanduk.

Oleh: ACHMAD RIDWAN


Perjalanan rutin kami ke Sangasanga mengunjungi orangtua disuguhi pemandangan longsor yang menutupi separuh jalan di Poros Samarinda Seberang-Palaran. “Bahaya ini, kalau nggak ditangani bisa nutup semua jalur,” kata saya kepada istri yang duduk di samping pak kusir, eh di samping kemudi.

Tiap akhir pekan kami anjangsana ke Kota Juang menemui orangtua di sana. Pada pekan-pekan berikutnya setelah longsor yang menutupi separuh jalan itu, selalu tampak satu unit excavator. Tapi, setiap kami lewat pula, tidak pernah ada yang dikerjakannya. Alat berat itu hanya mematung. “Oh, mungkin karena akhir pekan jadi libur,” pikiran baik saya mengemuka.

Minggu berganti minggu, hingga genap sebulan. Kondisi masih sama. Saya pun meminta wartawan SELASAR menanyakan hal ini kepada pemerintah. Pada 24 Agustus, terbitlah artikel berjudul: Sudah Sebulan, Longsoran di Jalan Samarinda Seberang-Palaran Belum Dibereskan. 

Di sana, dijelaskan Kepala UPTD Pemeliharaan Infrastruktur Wilayah II Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang dan Perumahan Rakyat (PUPR PERA) Kaltim, Joniansyah, pihaknya tengah menunggu pengesahan APBD Perubahan untuk perbaikan jalan di kawasan tersebut.

"Pengerjaan itu akan masuk dalam mata anggaran perawatan jalan. Itu panjang longsorannya tidak terlalu panjang, sekitar 10 meteran saja, jadi tidak terlalu besar (anggaran yang dibutuhkan). Nanti perbaikan jalan ini akan masuk dalam beberapa program perbaikan jalan lainnya di Samarinda," jelasnya.

Ingin rasanya membanting handphone saat mengedit berita itu. Tapi tak jadi, takut tak bisa beli lagi. Logika saya yang awam dan tolol ini mengatakan, kalau pekerjaannya sederhana dan tidak panjang, hanya 10 meteran, kenapa pula mesti menunggu pengesahan APBD-P? Tidak adakah pos anggaran lain yang bisa diupayakan untuk mengatasi persoalan insidentil itu? Bukankah jalan yang ditimpa longsor adalah akses antar-kabupaten/kota yang sangat penting?

Okelah, mungkin semua butuh waktu. Saya dan kamu hanya harus memaklumi proses birokrasi yang mungkin terlalu rumit bagi otak rakyat jelantah. 

Akhirnya pada 3 September 2020, yang saya takutkan terjadi juga. Longsor menutup seluruh lebar jalan. Tidak ada jalur yang bisa dilalui kendaraan. Kembali saya tugaskan wartawan menanyakan hal itu. Terbit berita di SELASAR: Longsor di Sekujur Jalan, Jalur Samarinda Seberang-Palaran Ditutup 4 Hari.

Dijelaskan Kasi Perencanaan Jalan dan Jembatan PUPR PERA Kaltim, Muhammad Muhran, pihaknya sudah bersurat kepada instansi terkait untuk melakukan penutupan jalan selama 4 hari untuk melakukan pembersihan material di satu jalur jalan. 

"Rencana kami besok (Jumat, 4 September 2020) mau ditutup total dan masih kami koordinasikan. Terkait koordinasi dengan Komisi III DPRD Samarinda yang akan menggandeng perusahaan sekitar untuk menyingkirkan material sudah kami sampaikan, tapi belum mendapat respons dari perusahaan sekitar. Kami berharap ada juga partisipasi dari pihak perusahaan, keringanan hati mereka untuk kepentingan banyak orang," jelas Muhran. 

Dia mengatakan, satu unit excavator dari Pemprov Kaltim akan diturunkan, ditambah 5 unit dump truck bantuan dari Pemkot Samarinda akan diturunkan. Kali ini, sambil ngedit berita, saya ingin menggigit laptop: Kemarin-kemarin kemana, Malih?!

Kzlnya, hingga artikel ini diterbitkan, 9 September 2020, longsor belum juga tertangani. Jalan memang sudah bisa dilewati oleh pengendara motor. Tapi jika hujan, mereka harus berjuang keras agar tidak jatuh. Pengendara lain memilih jalur alternatif. Salah satu jalur alternatif seperti kawasan Sungai Dama pun jadi padat merayap.

Model kinerja seperti ini, kata senior saya di Kaltim Post dulu, seperti tiba masa tiba akal. Seumpama developer membangun rumah tanpa toilet. Saat empunya rumah ingin buang hajat, bingung mencari toilet. Bukankah musibah itu seperti “panggilan alam”, datangnya tiba-tiba? Dalam hal ini, sesungguhnya pemilik rumah juga bersalah. Kok mau-maunya pakai jasa developer yang tidak becus.

Akhirnya, manakala pemilik rumah (rakyat) kebingungan, developer subkon mungkin sedang asyik menikmati pengujung dua periodenya. Tak peduli musibah itu terjadi di wilayahnya. Sementara developer utama masih keenakan duduk di kursi empuk, entah di gedung megah Jalan Gajah Mada, entah di White House. Gimana yang di Karang Paci? Sama tambuknya.

Penulis adalah pemimpin redaksi selasar.co

Berita Lainnya