Kolom

Bupati Kukar Tidak baperan Temu wartawan Kukar Ngopi malam bersama wartawan Kukar Tak akan anti kritik Bincang santai bupati dan wartawan Aulia-Rendi 

Aulia-Rendi Bilang Tak Akan Anti-kritik, Hmm…Otak Saya Mendadak Traveling



Aulia Rahman Basri saat berbincang bersama puluhan wartawan. Selasar/Ist
Aulia Rahman Basri saat berbincang bersama puluhan wartawan. Selasar/Ist

"Wartawan harus skeptis, bung!" Petuah belasan tahun lalu dari seorang senior, keluar dari laci memori saya. Maka ketika Aulia dan Rendi bilang tidak akan anti-kritik selama menjabat, kening saya yang glowing berkerut. Otak saya mendadak traveling.

Oleh: ACHMAD RIDWAN

MALAM itu gerimis baru saja membasahi area Wisata Bukit Mahoni di Tenggarong Seberang. Di antara pohon-pohon raksasa berusia puluhan tahun yang kedinginan, puluhan wartawan berkumpul dalam suasana hangat, bersama wedang jahe dan mendoan. Mereka memenuhi undangan Aulia Rahman Basri dan Rendi Solihin untuk berbincang mengenai kebebasan pers dan bagaimana relasi media dengan Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara.

Aulia yang kelahiran 1985 dan Rendi 1991, adalah duet milenial yang akan memimpin Kukar hingga 5 tahun ke depan. Keduanya baru sepekan dilantik sebagai bupati dan wakil bupati Kutai Kartanegara. Dan salahsatu pihak yang mereka temui pertama kali adalah kami, para wartawan. “Yang ingin saya temui pertama kali adalah wartawan, karena yang tahu kondisi lapangan, yang terjun terus ke lapangan adalah kawan-kawan wartawan,” kata Aulia.

Dalam acara yang dikemas santai itu, Aulia dan Rendi tampak cukup lihai memujungi kami. “Banyak penjilat bilang kita hebat, padahal mungkin tidak. Untuk berbenah kami harus melihat cermin. Dan cermin yang paling utama menurut saya adalah para jurnalis,” ujar sang dokter.

Beberapa obrolan lain yang masuk kategori “tepi jurang” malam itu, secara eksplisit menegaskan keberpihakan mereka pada kerja-kerja jurnalistik yang benar. Pun menunjukkan dukungan Aulia-Rendi pada kesejahteraan media dan para jurnalis. Tentu saja hal itu membesarkan hati wartawan, profesi yang selama ini masih dipandang Jaja Miharja alias sebelah mata.

Rendi pun tak mau ketinggalan. Dia menebalkan pernyataan Aulia. "Kami tidak anti-kritik. Kami siap dikritik, siap mendengar. Pokoknya Aulia-Rendi, no baper,” tegasnya.

Pertemuan Selasa (1/7/2025) malam lalu harus diakui, cukup meninggalkan kesan baik. Sebagai wartawan, saya merasa dimanusiakan. Profesi kami dihargai. Aulia dan Rendi memposisikan diri sejajar dengan kami. Sama-sama pilar demokrasi.

Sebagai pembanding, gelaran serupa berjudul Silaturahmi Media dan Sharing Session, diadakan sebuah pemerintah provinsi. Namun, para wartawan seolah diposisikan sebagai pelengkap penderita, demi memenuhi bangku kosong belaka. Panggung utama justru diberikan kepada influencer dan pegiat media sosial. Sehingga, apa yang dilakukan Aulia-Rendi dengan mengundang para wartawan dalam acara yang cukup private tanpa kehadiran para birokrat, membuat hati ini berbunga-bunga.

"Wartawan harus skeptis, bung!" Petuah belasan tahun lalu dari seorang senior, tiba-tiba keluar dari laci memori saya. Maka ketika Aulia dan Rendi bilang tidak akan anti-kritik selama menjabat, kening saya yang glowing berkerut. Kepala saya mendadak traveling. Sebagaimana adegan sinetron Indosiar dan film-film bubuhan Prindavan, saya membatin.

“Ah, benarkah demikian?”
“Kan baru seminggu, bagaimana kelak sebulan, setahun?”
“Bukankah kata Haji Rhoma: Darah muda darahnya para remaja, yang selalu merasa gagah, tak pernah mau mengalaaahh ah ah aahh…”

Di luar lamunan tadi, skeptisisme saya memang punya dasar, memiliki landasan empiris.

Beberapa waktu lalu, saya mengkritik praktik lancung para buzzer yang menyerang siapapun pengkritik wali kota. Mereka menyalak layaknya anjing gila. Besoknya, saya didoxing oleh para buzzer tersebut. Identitas di Kartu Tanda Penduduk (KTP) saya dan istri disebarluaskan. Kejadian itu tentu saja bukan di Samarinda, tapi di Gotham City.

Peristiwa lain, dalam genre yang sama (upaya pembungkaman pers), terjadi di sebuah pemerintahan provinsi. Tentu bukan Kalimantan Timur yang indeks kebebasan persnya selalu masuk 3 besar nasional, melainkan provinsi di timur Kalimantan yang beribukota di Gotham City. Saya kerap mengkritik pernyataan dan tindak tanduk gubernur setempat yang kadang absurd dan – meminjam lirik lagu Mangu, tak masuk logika. Alhasil, seorang kepala dinas membatalkan rencana kontrak kerja sama dengan media yang saya pimpin.

Sudah jatuh, tertimpa tangga. Sudah di-doxing dan dibatalkan kontraknya, sering kebanjiran pula. Nasib..nasib..

Begitulah. Aulia-Rendi harus memahami, kerap kali ketika kritik dilayangkan kepada seorang pemimpin, yang baper bukanlah pemimpinnya. Melainkan para pencari-muka di sekeliling mereka. Dan itu merepotkan kami para wartawan.

Untuk itu, sebagai duet muda pemimpin Kukar, sebaiknya Anda berdua pandai memindai (scanning) orang-orang semacam itu. Lalu beri mereka cermin, siapa tahu muka yang mereka cari-cari ketemu.

Pada akhirnya, ucapan Aulia dan Rendi bahwa mereka siap menerima kritik serta tidak akan baper saat dikritik oleh wartawan, akan diuji oleh waktu. Waktu belaka yang akan menjawab, apakah perkataan itu sekadar lip service dan memujungi, atau memang datang dari ketulusan dan kebesaran hati.


Penulis adalah founder selasar.co

Berita Lainnya