Kolom

Aga Khan Award Aga Khan Award for Architecture Daryoush Mohammad Poor Citra Niaga Samarinda 

Aga Khan Award for Architecture dan Citra Niaga: Sebuah Penghargaan yang Diikuti Ketertinggalan



SELASAR.CO, Samarinda - Mendengar Aga Khan Award bukanlah sesuatu yang asing bagi penduduk Kota Samarinda, khususnya mereka yang bermukim di sekitar Citra Niaga. Bagaimana tidak, nama tersebut diabadikan dalam salah satu jalan di Citra Niaga setelah kawasan perbelanjaan itu meraih Aga Khan Award for Architecture (AKAA) pada tahun 1989. Namun, tak banyak orang yang tahu tentang apa itu AKAA dan apa yang membuat eksistensinya begitu signifikan dalam sejarah Citra Niaga.

Aga Khan Award for Architecture (AKAA) yang didirikan pada tahun 1977 merupakan ajang kompetisi penghargaan di bidang arsitektur yang dihelat per tiga tahun sekali. Ajang tersebut berusaha mendorong dan mencari konsep tata bangunan dan arsitektur yang berhasil menjawab kebutuhan masyarakat di berbagai belahan dunia di mana terdapat populasi komunitas Muslim yang signifikan.

Daryoush Mohammad Poor dalam bukunya yang berjudul Authority without Territory: The Aga Khan Development Network and the Ismaili Imamate menjelaskan bahwa AKAA bertujuan untuk “menciptakan standar keunggulan baru di bidang arsitektur, tata kota atau wilayah, konservasi arsitektur bersejarah dan arsitektur lansekap”. Ajang AKAA sendiri terbilang bergengsi karena menjadi salah satu ajang penghargaan terbesar di wilayah negara-negara dengan penduduk mayoritas Muslim, dengan total hadiah senilai $500.000 dolar AS atau setara Rp 8,3 miliar.

Nah, dari penjelasan tersebut, aspek apa saja yang terdapat di Citra Niaga sehingga layak mendapat penghargaan AKAA? Ternyata Citra Niaga dibangun atas satu tujuan yang sama dengan tujuan AKAA, yaitu “menjawab kebutuhan masyarakat”. Kebutuhan masyarakat Samarinda pada tahun 1980-an ialah akomodasi komersial bagi para penduduk transmigrasi yang mengadu nasib di Kota Tepian.

Dalam jurnal Citra Niaga Urban Development yang ditulis oleh Romi Khosla, Samarinda mengalami pertumbuhan penduduk yang sangat cepat. Penduduk Samarinda yang berjumlah 4.730 jiwa pada tahun 1905, membludak menjadi 343.198 jiwa di tahun 1987 dengan rata-rata pertumbuhan 4.127 jiwa per tahunnya. Kombinasi ketidakstabilan politik dan kegagalan perencanaan tata kota menyebabkan Samarinda berisi “kampung-kampung kumuh” yang tergenang air manakala hujan turun. Ditambah lagi dengan pedagang kaki lima yang berjumlah kurang lebih 5000 orang menyebabkan menyempitnya ruas jalanan kota tersebut. Atas permasalahan tersebut, tercetuslah ide untuk menjawab permasalahan ekonomi dan sosial tersebut, yaitu pembangunan area komersil yang kelak dikenal dengan nama Citra Niaga.

Perencanaan dan pembangunan Citra Niaga sendiri memakan waktu yang tidak singkat. Didik Soewandi dan Antonio Ismael selaku developer dan arsitek mendiskusikan konsep pembangunan Citra Niaga selama 3 tahun dengan berbagai pihak baik pemerintah, swasta, para ahli, maupun masyarakat. Tiap diskusi tersebut diatur oleh 5 poin prinsip pembangunan yang mereka anut, yaitu:
Setiap pengguna fasilitas harus mendapat kesetaraan hak, pelayanan, dan fasilitas. Karena semua pihak berkontribusi pada kemakmuran wilayah tersebut.

Tidak ada sekat sosial dalam pembagian dan penggunaan lahan.
Desain dan arsitektur harus menarik dan menjunjung lokalitas.
Tata letak bangunan harus memudahkan mobilitas pengunjung.
Menghindari desain yang kaku.

Buah dari perencanaan yang detil tersebut menghasilkan suatu area komersil yang mengitegrasikan ruang publik tanpa sekat kelas sosial. Sebagai contoh, pengungjung dapat berbelanja barang mewah di ruko yang ada tanpa kehilangan kesempatan menikmati jajanan kaki lima yang tersusun rapi di area perbelanjaan. Integrasi pluralistik di Citra Niaga menjadi suatu keunikan, bahkan anomali, pada era industrialisasi dan pembangunan berorientasi profit yang sedang terjadi di dunia.

Kompleksitas dan integrasi tata letak bangunan serta aspek sosial itulah yang menjadikan Citra Niaga meraih Aga Khan Award for Architecture (AKAA) pada tahun 1989. Kolaborasi berbagai pihak mulai dari sektor pemerintahan, swasta, dan para ahli berhasil mengubah area penduduk migran berpenghasilan rendah yang menghuni bangunan “bobrok dan kumuh” menjadi kawasan komersil dinamis nan egaliter yang memukau dunia internasional. Bahkan, “pasar malam” tersebut berhasil mengalahkan Bandara Soekarno-Hatta yang juga masuk nominasi AKAA.

Sayangnya, Citra Niaga tidak mendapat perawatan yang seharusnya dari pihak pengelola. Dalam artikel di situs Urban Design Lab berjudul Revitalizing Citra Niaga: A Boost For Samarinda’s Tourism and Economy, Enrico Vincensius Yudistira Harryanto menyoroti kekeliruan pengelola yang terlalu fokus pada aspek jual-beli. Hal tersebut mengesampingkan fungsi dan aspek lain yang signifikan seperti ruang publik, hiburan, dan destinasi wisata kebudayaan. Oleh karenanya, Citra Niaga tertinggal perkembangan zaman dan kehilangan relevansi di tengah generasi baru Kota Samarinda.

Pemerintah Kota Samarinda sendiri telah menggelar proyek revitalisasi Citra Niaga dalam beberapa tahun terakhir. Meski proyek tersebut berhasil meningkatkan jumlah pengunjung, hal tersebut tidak berarti meningkatkan kesejahteraan pedagang. Reporter Selasar masih mendapati pedagang kios yang mengeluhkan penurunan omzet penjualan sebagai dampak proyek tersebut.

Sekiranya hanya waktulah yang dapat membuktikan apakah Citra Niaga akan kembali selayaknya ketika ia meraih Aga Khan Award for Architecture atau hanya terang sesaat sebelum kembali redup ditelan irelevansi zaman.

Penulis: Zain
Editor: Awan

Berita Lainnya

Mitos dan Fakta Seputar Paru-paru Basah
Kolom
Mitos dan Fakta Seputar Paru-paru Basah
Mencegah Stroke di Usia Muda
Kolom
Mencegah Stroke di Usia Muda