Feature
Gambus Kutai Kartanegara Alat Musik Tradisional  Alat Musik Tradisional Kutai Kartanegara Alat Musik Gambus Pembuat Alat Musik Tradisional Pembuat Alat Musik Gambus 
Tua Boom dan Upayanya Memperpanjang Usia Gambus Kutai
Lebih dari empat dasawarsa, Tua Boom memproduksi alat musik petik tradisional ini. Di tengah perkembangan musik dan pirantinya yang makin modern dan serba-elektrik, lelaki 67 tahun itu tetap gigih memperpanjang usia gambus agar lestari. Atau minimal, tak lekas mati.
OLEH: JULIANSYAH INDRA SETIAWAN
DI rumah kayu dalam gang di Jalan Teratai, Kelurahan Panji, Kecamatan Tenggarong, Muhammad Arifin sedang memperhatikan anaknya memotong kayu pohon nangka. "Kayu pohon nangka ini kendia (nanti) dipakai untuk molah (membuat) gambus," kata Tua Boom dengan bahasa Indonesia bercampur Kutai.
Arifin alias Tua Boom adalah salah seorang pengrajin alat musik tradisional gambus. Ia dipanggil Tua Boom sejak duduk di bangku sekolah. Kala itu, dirinya tinggal di Desa Menamang, Kecamatan Muara Kaman. Orangtua Arifin berdagang kelontong di rumahnya dan menjual rokok bermerek Boom. Kotak rokok Boom itu biasanya ia kumpulkan. Lalu, dipotong-potong dan dimanfaatkan sebagai pengganti uang pada saat bermain judi bersama kawan-kawannya.
"Main kartu, itu pitisnya (uangnya) pakai bungkus rokok Boom, itu asal mulanya dipanggil Boom sampai sekarang. Itu masih di Menamang, waktu belum pindah ke Tenggarong, sebelum tahun 1972," jelas Tua Boom lalu tersenyum mengingat masa remajanya yang nakal.
Tua Boom dan istrinya yang sekarang berusia 59 tahun, memiliki seorang anak laki-laki dan dua perempuan, serta 7 orang cucu. Tua Boom tinggal bersama istri dan anak perempuannya, serta menantu.
Di rumah kayu yang mereka tinggali, terdapat dua kamar. Di bagian belakang, ada dapur yang sekaligus menjadi workshop untuk memproduksi gambus.
Tua Boom menjelaskan, gambus adalah alat musik adat Kutai. Alat musik ini mempunyai ciri khas tali senar ganjil. Gambus juga adalah alat musik utama yang biasa digunakan pada pertunjukan seni musik tingkilan (orkes tradisional), hiburan rakyat sejak zaman Kesultanan Kutai berdiri. Namun saat ini, pengrajin yang menekuni pembuatan alat musik tradisional itu kian langka.
Sejak kecil, Tua Boom sudah belajar membuat gambus. Pada usia ke-15 tahun, ia sudah bisa memproduksinya. Pengetahuan itu turun-menurun didapatkan dari ayah dan kakeknya yang juga pengrajin gambus. Dan saat ini, keahlian itu pun ia turunkan kepada anak laki-lakinya, Sarifudin.
"Tujuannya agar menjaga tradisi adat istiadat bahari," ucap Tua Boom sambil menatap anaknya yang sedang memahat kayu nangka dengan kayu ulin sebagai penumbuknya.
Tua Boom menjelaskan, gambus umumnya berbahan dasar kayu pohon nangka. Jenis kayu itu sejak dulu memang dikenal kuat dan tak mudah digerogoti rayap. Senarnya menggunakan benang nilon dan penutup grip beralaskan kayu ulin. Kemudian, penutup bodi yang berada di bawah senar memakai kulit biawak, terkadang kulit ular.
"Tergantung permintaan saja, kalau sekarang banyak yang memilih kulit biawak, karena motifnya baik," katanya.
Kayu pohon nangka didapatkan Tua Boom dari kebun miliknya sendiri. Namun untuk kulit biawak, ia harus membelinya di tempat pengepul biawak di kawasan Jalan Kartini Kelurahan Loa Ipuh dengan harga Rp50.000. Tak jarang juga ia membelinya dari pemburu biawak di Jalan Gunung Sentul Kelurahan Rapak Mahang. Tapi di sana, ia beli dengan harga sedikit lebih mahal, yaitu Rp75.000.
"Kalau gak ada di pengepul yang ada di Jalan Kartini, kadang belinya di Gunung Sentul. Tapi, sedikit lebih mahal yang di sana harganya," ucap Tua Boom.
Pembuatan gambus ini memakan waktu lumayan lama. Dalam rentang seminggu, Tua Boom hanya bisa menghasilkan satu gambus. Proses produksi tak bisa singkat, sebab bahan baku yang ia gunakan susah didapatkan.
Selain itu, ia juga harus menunggu proses pengeringan kayunya. Ditambah datangnya musim penghujan, maka akan lebih lama kayu mengering. Gambus yang ia buat, dijual dengan harga bervariasi. Mulai dari Rp 1 juta hingga Rp 2 juta. Bergantung motif dan ukirannya.
"Kalau pembelinya kebanyakan dari Kukar juga, ada dari Muara Muntai, Penyinggahan, dan Muara Pahu. Kalau luar kota, ada dari Surabaya. Tapi pernah satu orang bule dari Amerika datang ke sini waktu Erau ngalak sebuting (membeli satu)," tutur Tua Boom.
Membuat gambus adalah satu-satunya mata pencaharian Tua Boom. Hanya keahlian itu yang bisa ia manfaatkan untuk menghidupi keluarganya. Namun, 3 bulan belakangan ini, Tua boom mengaku tak lagi mampu membuat gambus seperti biasa.
Kondisi matanya sudah tak lagi jeli memainkan pahat untuk mengukir kayu. Beruntung buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Kini, pekerjaan yang sudah ia tekuni selama berpuluh-puluh tahun itu disambut oleh sang anak.
"Syukur ada anakku yang gantikan, untung aja sudah bisa. Ni nya gala hak molah ni (dia sendiri yang membuatnya),” ujar Tua Boom sambil menunjuk gambus buatan anaknya.
Selain pengrajin gambus, Tua Boom juga mantan pemain gambus di Sanggar Budaya Karya Darma, salah satu kelompok seni tari dan musik tradisional di Kutai Kartanegara. Sanggar Budaya Karya Darma pun masih bertahan sampai sekarang dan saat ini diketuai oleh Tua Boom sendiri. "Sampai sekarang masih, karena dampak Covid-19 ini, kegiatannya mulai macet," katanya.
Pengamat dan pelaku seni Kutai Kartanegara, Misra Budiarto, mengatakan, seniman yang juga salah satu pengrajin alat gambus seperti Tua Boom, telah malang melintang membantu melestarikan budaya daerah.
“Sudah seharusnya mendapatkan apresiasi dan diberi perhatian lebih oleh Pemerintah Daerah untuk keadaannya yang sekarang. Sebab beliau adalah salah satu dari penjaga dan sosok yang melestarikan seni budaya serta adat istiadat," ujar Misra.
Mantan Ketua Lembaga Pembinaan Kebudayaan Kutai ini menceritakan, pada awal tahun 2000, dirinya sering berkumpul bersama seniman-seniman di Kutai Kartanegara, termasuk Tua Boom. Mereka sering mewakili Kukar untuk tampil mengisi acara kesenian adat budaya di dalam maupun luar negeri.
"Kami berharap seluruh pelaku seni dan budayawan di Kalimantan Timur tetap semangat untuk menghasilkan karya-karyanya, karena ada pepatah mengatakan, walau dunia resah, seniman tak pernah gelisah," tutup Misra. (SELASAR.CO)