Utama
tugu pesut samarinda tugu simpang lembuswana simpang lembuswana samarinda tugu samarinda desainer tugu pesut samarinda pesan dibalik desain tugu pesut 
Dikritik Publik, Desainer Tugu Pesut: Saya Tidak Sakit Hati, Pesan Lingkungan Lebih Penting
SELASAR.CO, Samarinda - Di simpang Mall Lembuswana, berdiri sebuah tugu yang akhir-akhir ini menjadi perbincangan hangat di kalangan masyarakat Samarinda. Tugu Pesut Mahakam, demikian orang banyak memanggilnya, menuai beragam reaksi akibat desainnya yang dianggap kontroversial. Ada yang mempertanyakan bentuknya yang tak mirip pesut, hingga biaya Rp1,1 miliar yang dari penafsiran masyarakat awam nampak terlalu mahal.
Tim redaksi selasar pun lalu berkesempatan untuk berbincang dengan sang arsitek tugu yaitu Vergian. Saat ditemui di sebuah kafe di sudut kota Samarinda, Vergian berbagi cerita tentang ide dan proses kreatif di balik tugu yang tengah viral itu. Sang perancang tugu menjelaskan bahwa proyek ini berangkat dari permasalahan tata kota. Saat itu tugu yang lama tidak memberikan akses pejalan kaki yang menyeberang di simpang Mall Lembuswana.
“Dari arah Jalan Mayor Jenderal S Parman menuju masjid atau sebaliknya, tidak ada penyebrangan yang memadai. Meskipun ada penyebrangan, konektivitasnya tidak optimal. Ini adalah permasalahan kota yang harus diselesaikan, sehingga kita berupaya membuat akses yang lebih baik,” jelasnya.
SETARA PENGGUNAAN 165.000 SEDOTAN PLASTIK
Vergian dan timnya tidak berhenti pada solusi infrastruktur semata. Mereka melihat ada kesempatan untuk mengangkat isu lingkungan yang jarang mendapat perhatian masyarakat umum. Menurutnya selama ini di Samarinda belum ada tugu yang mengangkat isu lingkungan sehingga memicu diskusi dimuka publik.
"Banyak yang hanya fokus pada bentuk tugu ini, mempertanyakan estetika dan maknanya. Padahal, ada isu yang lebih penting yang ingin kami angkat, yaitu masalah lingkungan dan daur ulang sampah,” ungkapnya.
Proses pembuatan tugu melibatkan penggunaan material plastik yang didaur ulang menjadi jenis High-Density Polyethylene (HDPE) yang secara kekuatan material jauh lebih kuat dibandingkan plastik biasa.
"Kami menggunakan sekitar 330 kilogram material plastik, setara dengan 16.500 botol plastik air mineral atau 165.000 sedotan plastik. Meskipun kontribusi ini mungkin tidak besar, ini adalah langkah partisipatif Pemkot Samarinda yang menunjukkan kepedulian terhadap lingkungan," tambah Vergian.
Proses pembuatannya melibatkan pengumpulan sisa-sisa plastik yang khusus. "Bukan sembarang plastik bisa menjadi HDPE. Jadi kumpulan HDPE-nya itu diambil dari tutup-tutup botol, bahan-bahan plastik yang lebih keras daripada botolnya. Prosesnya diolah kembali dan dicetak ulang menjadi bentuk yang menyesuaikan terhadap desain yang kita butuhkan," jelasnya.
Vergian juga menjelaskan mengenai proses pewarnaan material. "Ada proses pewarnaan lagi untuk membuat warna yang homogen. Keluarnya sudah warnanya seperti ini, sehingga mau diamplas, mau dipotong, keluarnya sudah warna itu, sudah merah itu," katanya.
MENEPIS KRITIK DAN MENGEDEPANKAN ESENSI DESAIN
Menanggapi kritik terhadap desain tugu, Vergian berpendapat bahwa persepsi bentuk adalah hal yang subjektif. "Saya tidak akan pernah sakit hati atau kenapa-kenapa mendengar komentar seperti itu, karena itu adalah hak orang dari sudut pandang masing-masing,” terangnya.
Namun dirinya tak ingin pembahasan di masyarakat soal tugu ini berhenti pada bentuk, karena akan berakhir di situ-situ saja. Namun jika alternatif perspektif seperti isu lingkungan yang juga ikut dibawa dalam pembahasan tugu ini, dirinya meyakini diskusi dan pembahasannya akan lebih jauh.
Penulis: Yoghy Irfan
Editor: Awan