Utama

Jalan Samarinda bopeng  Proyek tambal sulam Proyek Pemkot Proyek pelebaran drainase 

Jalan Kota Peradaban Bopeng-bopeng Tambal Sulam, Dikerjakan Buru-buru?



Lubang di Jalan Pangeran Suryanata. Sumber: Selasar / Zain
Lubang di Jalan Pangeran Suryanata. Sumber: Selasar / Zain

SELASAR.CO, Samarinda - Proyek pelebaran drainase yang diinisiasi Pemerintah Kota (Pemkot) Samarinda masih menyisakan pekerjaan rumah (PR). Jalan-jalan yang ditambal usai pelebaran drainase, kurang layak untuk dilalui pengendara. Hal itu dikarenakan kondisi jalan selepas pengerukan tidak rata dengan jalan di sekitarnya.

Reporter Selasar menyusuri jalan-jalan Samarinda yang terkena proyek pelebaran drainase. Patahan-patahan jalan dan lubang-lubang dapat ditemui di Jalan Pasundan, Jalan KS Tubun Dalam, dan Jalan Pangeran Suryanata. Bopeng-bopeng tersebut bervariasi dari segi lebar dan dalamnya. Yang pasti, hal itu menyebabkan ketidaknyamanan berkendara dan bahkan membahayakan bagi pengguna jalan.

Ruas jalan-jalan di Kota Peradaban ini tampak “panas dalam” alias pecah-pecah. Meski dapat terlihat pula telah dilakukan upaya penambalan jalan, hasilnya belum terlihat mulus.

Menanggapi fenomena tersebut, Akademisi Teknik Sipil Politeknik Negeri Samarinda (Polnes) Dr Tumingan berpendapat bahwa ada kemungkinan pengerjaan yang terburu-buru. Hal itu menyebabkan kontraktor terkait penambalan jalan mempersingkat salah satu langkah penting, yaitu pemadatan tanah.

“Salah satu permasalahannya itu ada di metode pelaksanaan teman-teman kontraktor. Karena dikejar waktu, jadi proses pemadatan tanahnya kurang maksimal,” ujar Tumingan, Rabu (30/4/2025) sore.

Dirinya menjelaskan bahwa pemadatan harus dilakukan secara bertahap agar kondisi tanah benar-benar stabil sebelum dilakukan semenisasi atau pengaspalan. Secara teoritis, pemadatan tanah harus dilakukan tiap 30-40 cm. Hal tersebut diulang sampai ketinggian yang diinginkan. Apabila struktur tanah belum stabil, dapat menyebabkan penurunan tanah yang pada akhirnya menyebabkan semen atau aspal yang ditopang patah. Hal demikian juga memunculkan lubang-lubang yang dapat membahayakan pengguna jalan.

Pria yang menyelesaikan program doktoral di Universitas Hasanuddin itu juga memasukkan jenis tanah sebagai faktor kestabilan struktur jalan. Apabila dasar urukan dari jalan yang dibangun ialah tanah lempung atau liat, maka dapat dipastikan akan terjadi penurunan sebesar 15-20%. Jumlah tersebut dapat diminimalisir, selain dengan proses pemadatan yang tepat, dengan mengganti jenis tanah.

“Kalau urukannya menggunakan pasir atau dicampur kerikil, penurunannya dapat diminamlisir,” lanjutnya.

Faktor lain yang menyebabkan penurunan tanah adalah jenis kendaraan yang melewati jalan. Semakin berat jenis kendaraan, semakin cepat juga tanah menurun dan menyebabkan kerusakan jalan. Hal itu dapat dilihat pada Jalan Pangeran Suryanata yang sering dilalui kendaraan berat seperti truk dan sejenisnya.

Tumingan menyarankan agar para kontraktor memadatkan tanah secara tepat dalam proyek-proyek ke depannya. Apabila pemadatan tanah dinilai memakan waktu terlalu lama, maka kontraktor dapat menggunakan tanah berbutir atau menggunakan bahan sejenis pasir atau kerikil.

Penulis: Zain
Editor: Awan

Berita Lainnya