Utama

Pengerukan Sungai Mahakam Sungai Mahakam Normalisasi Sungai Pengamat tata ruang unmul Banjir di Samarinda Gubernur Harum 

Pengerukan Sungai Mahakam Bukan Obat Banjir, Pengamat Sentil Rencana Gubernur Harum



Warsilan, Pengamat Lingkungan dan Tata Kota Unmul. Foto: Selasar/boy
Warsilan, Pengamat Lingkungan dan Tata Kota Unmul. Foto: Selasar/boy

SELASAR.CO, Samarinda - Rencana mengeruk Sungai Mahakam kembali mencuat setelah banjir melanda sejumlah wilayah di Kota Samarinda pada Rabu (22/10/2025) lalu. Gubernur Kalimantan Timur, Rudy Mas’ud, kembali menyinggung rencana tersebut saat memberikan keterangan kepada media pada Senin (27/10/2025).

Rencana ini sebenarnya sudah pernah disampaikan Rudy sejak pertengahan Mei 2025 sebagai bagian dari program revitalisasi Sungai Mahakam. Program itu diklaim sebagai upaya untuk mengurangi risiko banjir sekaligus memperkuat fungsi Mahakam sebagai jalur transportasi strategis di kawasan Kalimantan Timur.

Namun, pengamat lingkungan dan tata kota Universitas Mulawarman (Unmul), Warsilan, menilai perlu kehati-hatian dalam memahami konsep revitalisasi dan kaitannya dengan penanganan banjir.

“Program gubernur itu memang terkait dengan revitalisasi Sungai Mahakam, tapi konteksnya berbeda dengan penanganan banjir di wilayah perkotaan,” ujar Warsilan saat ditemui di Samarinda, Sabtu (1/11/2025).

Menurut Warsilan, revitalisasi Mahakam lebih banyak berkaitan dengan konektivitas transportasi regional dan kepentingan strategis nasional. Sementara penanganan banjir di Samarinda, kata dia, seharusnya berfokus pada pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) Karang Mumus, yang merupakan sub-DAS Mahakam dan memiliki pengaruh langsung terhadap genangan di wilayah kota.

“Kota Samarinda ini sangat dipengaruhi oleh DAS Karang Mumus dan anak-anak sungainya seperti Karang Asam. Dari situ ada aktivitas tambang di hulu yang memperparah sedimentasi,” jelas pria lulusan pasca sarjana perencanaan wilayah dan kota Institut Teknologi Bandung (ITB).

Warsilan menambahkan, perbedaan persepsi antara pemerintah kota dan provinsi turut memengaruhi efektivitas penanganan banjir. Wali Kota, kata dia, cenderung fokus pada pembenahan drainase dan sistem pompanisasi di wilayah perkotaan, sementara gubernur menitikberatkan pada pengerukan dan perawatan alur Sungai Mahakam.

“Kalau kota, fokusnya di titik-titik genangan. Tapi kalau provinsi, lebih luas, termasuk di hulu dan muara Mahakam,” katanya.

Ia juga menjelaskan, karakteristik topografi Samarinda yang berada di ketinggian hampir sejajar dengan permukaan laut membuat air sulit mengalir keluar ketika pasang. Kondisi ini diperparah oleh curah hujan tinggi dan sedimentasi di aliran sungai.

“Saat air Mahakam pasang, air hujan dari kota tidak bisa keluar. Walaupun ada pompa, fungsinya jadi terbatas,” terang Warsilan.

Warsilan juga menilai penting dilakukan upaya komprehensif dari hulu hingga hilir, termasuk rehabilitasi vegetasi di kawasan hulu, pembuatan embung penampung air, serta penataan daerah resapan di kawasan perkotaan.

“Banjir tidak bisa diselesaikan secara parsial. Harus dilihat keseluruhan sistem DAS-nya. Kalau hanya di kota yang diperbaiki, tapi hulu rusak, banjir akan tetap berulang,” ujarnya.

Warsilan mengingatkan agar upaya revitalisasi Mahakam tidak hanya berorientasi pada kepentingan ekonomi dan transportasi, tetapi juga mempertimbangkan aspek ekologis dan keselamatan warga Samarinda dari ancaman banjir tahunan.

Penulis: Boy
Editor: Awan

Berita Lainnya