Kutai Kartanegara

gizi buruk kukar 

Angka Gizi Buruk di Kukar Tinggi, Jadi Fokus Penanganan Nasional



Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat Dinas Kesehatan Kutai Kartanegara, Aulia Rahman Basri
Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat Dinas Kesehatan Kutai Kartanegara, Aulia Rahman Basri

SELASAR.CO, Kutai Kartanegara – Angka gizi buruk atau stunting di Kutai Kartanegara masih terbilang tinggi. Hingga Oktober 2019, tercatat ada 561 baduta (bawah dua tahun), dan 2.279 balita (bawah lima tahun) menderita gizi buruk yang tersebar di 18 kecamatan di Kutai Kartanegara.

Data tersebut menurun dibanding tahun 2018, yang tercatat sebanyak 1.027 baduta dan 2.872 balita penderita stunting.

Tren penurunan ini merupakan bentuk komitmen Pemkab Kutai Kartanegara mengatasi tingginya angka stunting di Kutai Kartanegara, melalui program strategi konvergensi atau kolaborasi antar Organisasi Perangkat Daerah (OPD).

Pemkab Kutai Kartanegara fokus menangani mulai dari hulu permasalahan, yakni dengan memberikan perhatian 1.000 hari pertama kehidupan, yaitu 270 hari masa kandungan, lalu dua tahun masa pertumbuhan bayi.

Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat Dinas Kesehatan Kutai Kartanegara, Aulia Rahman Basri mengatakan, pihaknya saat ini pihaknya aktif menindaklanjuti melalui identifikasi dengan meninjau dari hal yang spesifik dan hal yang sensitif.

"Kalau berbicara hal yang spesifik berhubungan dengan kesehatannya, kalau yang sensitif kita lihat faktor lingkungannya," ujar Aulia.

Menurut aulia penyebab paling banyak terjadinya stunting dikarenakan kurangnya asupan baik, faktor lingkungan tidak sehat, dan pola asuh yang tidak sehat. "Merokok pun menjadi salah satu faktor yang menyebabkan seseorang terkena stunting," terang Aulia.

Kutai Kartanegara masuk dalam lokus penanganan nasional untuk stunting pada tahun 2020 mendatang, sehingga Dinas Kesehatan Kutai Kartanegara sudah menyiapkan sejumlah strategi untuk penanganan stunting. "Kami optimistis dengan dukungan dari bapak bupati, kita bisa menekan lebih kuat lagi stunting di Kukar ini," jelasnya.

Sementara itu, kematian ibu dan bayi di Kutai Kartanegara juga masih tinggi, hingga Oktober 2019  terdapat 21 kasus kematian ibu dan bayi. Angka tersebut berbeda satu angka dibanding tahun 2018, yang jumlahnya sebanyak 22 kasus.

Menurut Aulia, kematian ibu dan bayi di Kutai Kartanegara lebih besar dibanding daerah lain, karena laporan data kematian ibu dan bayi di Kutai Kartanegara dihitung berdasarkan definisi WHO.

"Mungkin di beberapa tempat yang lain menganggap kematian ibu itu saat melahirkan saja, kalau kita di sini, tidak begitu. Misal ada yang mengatakan meninggal pada usia hamil awal dengan tumor lalu meninggal, tetap kita hitung," tuturnya.

Aulia menambahkan pihaknya telah punya formula yang baku untuk mengaudit data, sehingga perbaikan terus dilakukan dengan melihat data yang diaudit. "Audit bukan untuk mencari siapa benar dan salah, tapi kita melihat bahwa ada yang harus diperbaiki," kata Aulia.

Dinas Kesehatan Kutai Kartanegara terus berupaya melakukan strategi penanganan menekan tingginya angka kematian ibu dan bayi, di antaranya meningkatkan kapasitas petugas lapangan. Selain itu pihaknya juga menyusun standar penanganan ibu hamil, dan memperbaiki sistem rujukan mulai dari tingkat bawah.

"Artinya kalau kita berbicara kematian ibu dan bayi, bukan semata-mata tanggung jawab teman-teman di lapangan, akan tetapi ini menjadi korelasi seluruh stakeholder, sehingga kita bergandengan tangan menyelesaikan ini," pungkasnya.

 

Penulis: Fatatul Fadillah
Editor: Er Riyadi

Berita Lainnya