Kolom

 

Nanti Kita Cerita tentang Banjir Samarinda



Achmad Ridwan, Pemimpin redaksi Selasar
Achmad Ridwan, Pemimpin redaksi Selasar

Oleh: ACHMAD RIDWAN*

“It always seems impossible until it’s done,” Nelson Mandela, presiden berkulit hitam pertama di Afrika Selatan.

BANJIR sudah surut. Tapi, terornya masih mengintai lewat gerombolan awan hitam, yang menurut perkiraan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), akan terus muncul hingga Februari, bahkan Maret. Kelak ketika hujan lebat turun dengan intensitas tinggi, atau serbuan air dari Hulu datang, Samarinda akan kembali disambangi banjir.

Usia kota sudah 352 tahun, pemerintahnya memasuki umur 60 tahun. Tapi, pekerjaan rumah menanggulangi banjir belum juga paripurna. Semua terlalu nyaman berlindung di balik apologi, “Namanya juga Samarendah”. Konon dari sana asal nama kota ini; sama rendah. Artinya, ukuran tinggi sungai Mahakam (sungai utama yang membelah kota) sama dengan dataran di tepiannya, sama-sama rendah.

Fatalisme itu kemudian diamplifikasi oleh para pemimpin daerah. Gubernur Kalimantan Timur, Isran Noor berkata, sejak kuda makan tembaga hingga kuda makan mentega, Samarinda sudah banjir. Wali Kota Samarinda, Syaharie Jaang, bahkan jauh-jauh hari sudah melahirkan kutipan legendaris yang akan terus dikenang hingga generasi-generasi kita berikutnya: Ikam hanyarkah di Samarinda? Terbaru, wali kota dua periode, sekaligus wakil wali kota dua periode sebelumnya ini mengatakan, “Siapapun wali kota, tidak akan bisa menghilangkan banjir”.

Seolah tak mau ketinggalan, Wakil Wali Kota Samarinda, Barkati, dalam satu kesempatan melempar joke tentang banjir. “Ya, jadi warga juga harus cerdas pilih lokasi bangun rumah, sudah tahu rapak (rawa) tetap juga membangun," ujarnya. Dia lupa yang memberi izin mendirikan bangunan itu, ya, pemerintah. Masa iya ormas?

Sementara mereka berkelakar, ribuan orang dibikin susah oleh banjir. Anak-anak sekolah diliburkan, orang dewasa sulit menuju tempat mereka bekerja. Tidak sedikit yang harus mengungsi dari rumahnya karena volume air yang meningkat.

Hujan pada Juni 2019 tak seromantis puisi Sapardi Djoko Damono, Hujan Bulan Juni. Data menyebutkan korban terdampak banjir Juni tahun lalu di daerah Bengkuring 15 RT, 700 KK, dan 2.300 jiwa. Sementara di Griya Mukti 12 RT, 6.000 jiwa, dan Gunung Lingai 2.000 jiwa. Kemudian, pada awal tahun 2020 kembali banjir menerjang sehingga memberi dampak kepada 4.521 KK dan 12.901 warga di 8 kelurahan.

Lebih tragis, November 2019, murid sekolah dasar di Jalan KS Tubun Dalam, M Fahmi Ridho, tercebur parit saat banjir, lalu terseret arus dan meninggal dunia.

Terbaru, dan masih hangat hingga hari ini, balita bernama Ahmad Yusuf Ghazali ditemukan mengapung di anak sungai Karang Mumus. Dugaan polisi, ia tercebur parit saat banjir lalu terseret arus. Empat belas hari kemudian jasadnya baru ditemukan. Sudah tidak utuh.

Dengan segenap kejadian itu, rasanya cara para pemimpin daerah ini merespons banjir agak melukai hati nurani. Mereka memproduksi omong kosong dan terjebak fatalisme.

Dalam kamus besar bahasa Indonesia, fatalisme berarti paham bahwa manusia dikuasai oleh nasib. Lebih sederhananya, sikap putus asa dalam menghadapi permasalahan. Bahwa Samarinda secara geografis berdataran rendah, itu nasib.

Tapi, banjir tidak boleh disebut nasib. Sama seperti seseorang dilahirkan dari keluarga miskin, itu nasib. Tapi menjadi miskin seumur hidup, bukanlah nasib.
Belanda adalah contoh terbaik bagaimana tidak menyerah pada "nasib".

Negeri Kincir Angin itu 60 persen wilayahnya lebih rendah dari permukaan laut. Belanda membangun banyak polder dan tanggul-tanggul raksasa (dijken).

Contoh yang lebih dekat, Surabaya. Ibu kota Jawa Timur itu memiliki 204 pompa di 59 rumah pompa yang berfungsi maksimal dan dirawat. Surabaya juga serius membangun sistem drainasenya, dengan mengucurkan anggaran ratusan miliar tiap tahun.

Apakah cara yang sama bisa diterapkan di Samarinda? Belum tentu. Para ahli yang bisa menyimpulkan. Samarinda memiliki masterplan pengendalian dan penanggulangan banjir sejak 2004, yang dikerjakan dua konsultan. Rangkaian proyek dalam masterplan itu memerlukan dana Rp 1,9 triliun. Namun, hingga 15 tahun kemudian, persoalan ini belum mengalami lompatan hasil yang signifikan.

Normalisasi sungai Karang Mumus dan penataan bantarannya berjalan di tempat bertahun-tahun. Nasib polder dan pompa air juga tak lebih baik. Dari lima rumah pompa yang dimiliki Samarinda, ternyata hanya dua yang ready. Tata kota juga memperburuk keadaan. Contoh kecil, Jalan Jakarta 2 yang setiap hari saya lewati, dicor beton dengan ditinggikan hampir setengah meter. Tapi ajaib, tidak ada drainase (parit)nya. Itu hanya satu dari sekian banyak keajaiban pembangunan jalan di Samarinda. Belum lagi izin-izin pembukaan tambang pada masa lalu dan menjamurnya developer perumahan yang diizinkan membangun bahkan di lahan yang seharusnya jadi daerah resapan air.

Rencana yang tidak dieksekusi dengan baik, akan menimbulkan masalah-masalah baru. Penyelesaiannya pun menjadi lebih rumit. Pada rapat koordinasi merespons banjir Juni 2019, pemerintah kota, provinsi, dan pusat yang diwakili Balai Wilayah Sungai (BWS) Kalimantan III, menyimpulkan diperlukan dana Rp 6 triliun untuk penanganan banjir di Samarinda. Bengkak. Seandainya masterplan 2004 dieksekusi dengan baik, mungkin banjir Samarinda hanya tinggal cerita.

Hari ini Komisi V DPR RI berkunjung ke Samarinda. Salah dua agendanya meninjau Bendungan Benanga (Lempake) dan bertemu dengan wali kota Samarinda bersama mitra kerja Komisi V yakni Kementerian PUPR, Kementerian Perhubungan, Kemendes-PDTT, BMKG, dan Basarnas. Komunikasi yang baik dengan legislator di Senayan adalah salah satu kunci mendapat kucuran dana lebih besar dari APBN untuk pekerjaan besar penanganan banjir. Apalagi saat ini Kaltim punya wakil yang bisa diandalkan di sana dan duduk di Komisi V pula.

Ayo sambut mereka, Pak Wali, Pak Gub. Bilang ke mereka, “Nanti kita cerita tentang banjir Samarinda.” Terus terang saja, tidak usah malu-malu. Jangan juga malu-maluin dengan komentar-komentar konyol seperti yang Anda-Anda sampaikan di media. Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Seperti disampaikan tokoh revolusioner anti-apartheid Nelson Mandela: Semua hal tampak mustahil, sampai semuanya terbukti.

*) Pemimpin redaksi Selasar

 

Berita Lainnya