Nasional

Cegah Corona cegah covid-19 COVID-19 YKAN-TNC 

Merenungkan Sejenak Relasi Corona dan Keserakahan Manusia



Niel Makinuddin, pegiat di Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN-TNC)
Niel Makinuddin, pegiat di Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN-TNC)

“Barangkali di sana ada jawabnya, mengapa di tanahku terjadi bencana. Mungkin Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa. Atau alam mulai enggan bersahabat dengan kita, coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang.” Ebiet G Ade, Penyanyi Balada.

SEJAK kemunculan wabah virus corona dari Wuhan, Tiongkok, Desember 2019 hingga sekarang, dunia terguncang. Manusia gagap. Negara gagap. Padahal, bukan pertama kali dunia mengalami wabah penyakit dan bencana. Mungkin, hikmah dari kejadian-kejadian itu luput dikaji manusia.

SELASAR melakukan wawancara via whatsapp dengan Niel Makinuddin, seorang pemerhati sosial dan lingkungan hidup Kaltim, pegiat di Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN-TNC). Jawaban dalam wawancara ini merupakan pendapat Niel pribadi. Selamat menyimak.

SELASAR (SR): Sebagai aktivis dan pemerhati lingkungan, bagaimana Bapak memandang pandemi corona ini?

Niel Makinuddin (NM): Saya coba memandang dari sudut lain, ya. Pandemi corona ini bisa jadi cara bumi meminta perhatian kita (manusia) sejenak saja. Seolah Bumi sedang kirim pesan ke manusia, “tolong berhentilah sejenak eksploitasi dan berbuat kerusakan atasku. Berikan waktu sejenak saja agar aku bisa bernapas dan memulihkan diri dari aneka kerusakan yang telah engkau perbuat.”

Manusia sering lupa, sebagai khalifah (manager) di muka bumi, mereka punya tanggung jawab untuk merawat dan menjaga bumi. Kita diperintahkan Allah SWT utk makan dan minum serta mencari rezeki di muka bumi. Namun, “dilarang” berlebihan (sehingga menimbulkan kerusakan dan ketidakseimbangan).

Coba kita tengok sejenak ke belakang. Pandemic global seperti ini sebetulnya sudah beberapa kali terjadi. Pada Tahun 1976 di Kongo menyebar virus ebola, yang menyebabkan korban meninggal dunia sekitar 14.000 jiwa. Sementara pada Tahun 2009 di Amerika dan Meksiko mewabah virus H1N1, korban yang menelan korban lebih besar sebanyak 123.000 jiwa.

Namun, pandemic dahsyat pernah terjadi sekitar 100 tahun lalu, yakni pada Tahun 1918, dengan menyebarnya virus H1N1 atau Spanish flu (flu Spanyol) yang menjangkiti 500 juta jiwa (27% dari populasi dunia waktu itu) dan menelan korban meninggal sekitar 75 Juta jiwa.

SR: Adakah kajian/jurnal yang menjelaskan relasi antara ancaman biologis seperti virus corona atau virus flu Spanyol dulu, dengan perubahan iklim?

NM: WHO sudah memprediksi ancaman perubahan iklim terhadap sebaran penyakit infeksi menular sejak 2003. Namun kajiannya baru sebatas demam berdarah dan malaria. Mereka sudah membuat permodelan bagaimana kenaikan suhu dan deforestrasi hutan, akan menyebabkan kenaikan jumlah kasus demam berdarah dan malaria.
Untuk kasus zoonosis (penyakit yang ditularkan dari hewan), memang belum ada kajian ilmiahnya, pengaruh antara hewan-hewan carrier terhadap wabah yang terjadi sepuluh tahun terakhir.

Karena untuk mengetahui hubungannya, perlu ada kajian lengkap antara ekosistem, kepadatan penduduk, mobilitas, kualitas lingkungan dan banyak faktor lainnya.

Namun, ahli satwa liar sudah memperingatkan, jangan merusak ekosistem asli satwa dan mengkonsumsinya. Karena kita belum tahu apa saja yang mereka bawa.

Misal kelelawar diketahui menjadi inang setidaknya 60 virus (termasuk coronavirus), dan mereka biasanya tinggal di gua-gua. Merusak habitat dan mengkonsumsi satwa liar, berarti sama saja membuka dan memperlemah benteng pertahanan manusia. Karena virus itu butuh inang untuk hidup, dan inang itu adalah satwa liar. .

David Quammen, penulis buku Spillover: Animal Infections and the Next Pandemic, meringkas siklus dan penyebab munculnya banyak penyakit: virus, bakteri, kuman, kehilangan tempat tinggal akibat hutan dan alam diinvasi manusia untuk keperluan hidup maupun keserakahan. “Kita memotong pohon, memburu binatang, merenggut mereka dari habitatnya, bahkan menjualnya ke pasar untuk dimakan membuat virus kehilangan rumah alamiahnya,” tulisnya dalam New York Times. “Mereka mencari inang baru dan itu adalah tubuh manusia.”

Kate Jones dkk yang menulis di jurnal Nature menemukan bahwa selama 1940-2004 ditemukan 335 jenis penyakit baru, 72% berasal dari satwa liar. Tepat pada periode itu, jumlah emisi Gas Rumah Kaca memecahkan rekor dalam 800.000 tahun dan jumlah CO2 di atmosfer tembus 400 ppm.

John Vidal, environmental editor The Guardian, mendatangi Desa Maybout di Gabon, asal muasal virus ebola, yang membunuh 11.300 orang dalam dua tahun pada 1996. Ia penasaran mengapa Mayobut yang berada di kawasan hutan tropis bisa menyimpan virus yang ganas itu. Vidal langsung menemukan jawabannya ketika ia berkano (sejenis ketinting/perahu) menyusuri hutan di sana yang telah rusak akibat pembalakan dan penambangan emas.

Dari penduduk desa, ia mendapat cerita bahwa orang pertama yang meninggal akibat demam adalah seorang anak yang pergi ke hutan memburu simpanse dan memakan dagingnya. Orang-orang yang turut memakannya tak selamat setelah dua hari demam hebat. Daging simpanse itu kemudian dikenal menyimpan ebola yang menular antar manusia.

SR: Jika memang ada kaitannya, berarti ancaman biologis seperti itu masih akan menghantui umat manusia? Bagaimana antisipasi yang harus dilakukan oleh pemerintah dan umat manusia?

NM: Saya prediksi masih akan terjadi. Bumi kita kerusakannya sudah lumayan nyata dan dia akan memiliki cara (mekanisme) sendiri untuk melakukan pemulihan (recovery). Dalam proses pemulihan dan upaya mencapai keseimbangan, akan ada berbagai kejadian yang harus dirasakan oleh manusia.

Sebenarnya sudah banyak peringatan yang diberikan oleh bumi. Kecepatan mencairnya es di kutub utara, cuaca panas dan kebakaran ekstrem di Australia akhir 2019, banjir berulang di Jakarta dan Samarinda. Bila bencana dan wabah terjadi bersamaan, manusia pasti akan kewalahan. Rumah sakit dan tenaga medis tidak akan mampu.

Saya mendengar kabar bahwa baru saja terjadi adalah gempa di Kroasia. Bayangkan bagaimana pemerintah dan penduduknya yang harus lock down di rumah, terpaksa keluar karena ada gempa.

Indonesia dan Kaltim, harus menyadari bahwa kekayaan alam, berupa ekosistem hutan hujan tropis (tropical rainforest dan ekosistem laut, yang tersisa ini adalah modal untuk mandiri, survival, dan harus dijaga sekuat tenaga.

Kita dianjurkan harus sering cuci tangan dan mandi setiap habis keluar, dan wabah ini terjadi kala kita masih di musim penghujan, sehingga air berlimpah. Ini adalah privilege (kenyaman/kenikmatan).

Sumber air terjaga adalah buah keberadaan hutan. Coba bayangkan kalo hutan habis dan jadi gurun? Kita akan sulit menemukan air. Lebih penting dari itu, di hutan juga tempat tinggal satwa liar yang menjadi inang-inang berbagai virus tersebut.

Sehingga, intinya kita harus sungguh-sungguh menjaga ekosistem hutan dan ekosistem laut kita. Ekosistem itu merupakan rumah alami aneka satwa liar baik yang berukuran besar maupun berukuran nano (semisal virus corona). Kedua, kita sudah harus meninggalkan cara-cara eksploitatif dalam memanfaatkan sumberdaya alam. Sudah saatnya mendorong ekonomi hijau yang berorientasi kepada keberlanjutan (sustainable development) dan keadilan sosial.

Jaga ekosistem karst di Kaltim karena di dalamnya ada ribuan gua yang menjadi rumah alami kelelawar dan aneka satwa. Manfaatkan secara bijak, misal dengan pengembangan Taman Bumi (Geopark) untuk wisata berbasis alam.

China, Vietnam dan tetangga dekat Malaysia sudah memulai dan hasilnya luar biasa. Alamnya terjaga dan pendapatan (devisa) terus masuk.
Hijaukan kota-kota dan tambah rasio ruang terbuka hijau.

Untuk ini, Pemerintah daerah bisa buat kebijakan yang mewajibkan menanam pohon tiap pengantin dan tiap rumah. Restorasi yang sudah rusak (lubang tambang). Buka data, transparansi pemerintah dan ajak semuanya bergerak.

SR: Apakah langkah yang dilakukan pemerintah saat ini untuk meredam penularan virus corona sudah tepat?

NM: Dalam derajat tertentu, langkah mencegah dan memutus rantai penyebaran virus merupakan opsi yang harus ditempuh. Mencegah jauh lebih penting mengingat kapasitas Rumah Sakit dan tenaga medis kita jauh dari cukup. Ikhtiar ini akan menjadi sempurna manakala warga masyarakat dan dunia usaha turut berperan dlm mengurangi interaksi antar manusia. Kurangi kumpul-kumpul dan jaga jarak (physical distancing).

Saya lebih cenderung menggunakan istilah physical distancing (jaga jarak fisik), dibandingkan menggunakan istilah Social distancing. Di era seperti sekarang ini kohesivitas (ikatan) social harus dikuatkan dan didekatkan agar menjadi semacam “teamwork” Tangguh menghadapi wabah corona.

Diperlukan jiwa sukarela untuk melakukan collective actions agar efektif memutus rantai dan kecepatan penyebaran virus ini.

Namun, saya akan terus mengingatkan bahwa akar masalahnya adalah kita harus berdamai dan memperbaiki hubungan dnegan alam. Kita harus banyak memohon ampun kepada Sang Pemilik Alam dan memperbaiki cara hidup di bumi ini. Tidak hanya untuk mencegah virus corona namun juga untuk mencegah dna meminimalkan bencana lainnya seperti kebakaran, banjir, longsor, abrasi, dsb.

SR: Kira-kira berapa lama lagi teror virus corona ini akan berlalu?

NM: Akan tergantung dari seberapa efektif ikhtiar kita dalam mencegah dan memutus rantai penyebaran virus ini. Saya tentu berharap secepatnya.

Untuk lahirnya collective actions yang efektif, diperlukan kesadaran bahwa kita sedang menghadapi krisis (sense of crisis). Krisis ini hanya bisa kita cegah manakala kita semua, siapapun kita, dan apapun posisi kita, turut mengambil peran aktif di dalamnya. Salah satunya, dengan mematuhi arahan pemerintah dan ulama yakni meminimalkan interaksi fisik dan kumpul-kumpul. Sebab “musuh” yang menyerang kita sungguh tidak terlihat dan karenanya kita cenderung meremehkan.

Selain itu, mari kita terus doakan dan dukung para tenaga medis yang sedang berjihad mempertaruhkan nyawanya, dengan stay at home (tinggal di rumah).
Ini adalah saatnya menunjukkan bahwa pandemi adalah waktunya untuk saling menguatkan, saling mendukung dan berlomba untuk menjadi manusia seutuhnya. Manusia yang peduli sesamanya dan peduli kesehatan bumi.

Penulis: Redaksi Selasar
Editor: Awan

Berita Lainnya