Nasional

Pemimpin Muda  Agus Harimurti Yudhoyono Ahy Anak Presiden  Anak Presiden SBY Achmad Ridwan Awan Awan Sungai Kunjang Partai Demokrat Demokrat Kaltim 

AHY, Pemimpin Muda yang Sering Disalahpahami



Don’t judge book by its cover. Ungkapan itu sering menemukan validasi dalam kehidupan sehari-hari. Termasuk di ranah politik. Misalnya, seorang pemimpin yang lahir dari rahim rakyat jelata dengan tampilan sederhana, tetapi kebijakannya justru jauh dari pertimbangan kepentingan rakyat. Ini misal lho, ya. No offense. Contoh lain dalam spektrum yang berbeda, AHY.

Oleh: ACHMAD RIDWAN


Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), adalah pemimpin muda yang sering disalahpahami karena “cover”-nya. Takdirnya sebagai putra Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) – presiden ke-6 Republik Indonesia, kerap membuat orang mengaitkan apapun gerak-geriknya, semata-mata buah cawe-cawe SBY. Seolah AHY tak memiliki kedaulatan sama sekali.

“Keuntungan sekaligus disadvantages dari mas Agus adalah menjadi anak presiden. Keuntungan karena orang akan melihat pasti membuka jalan, membuka pintu, hormat dan lain-lain. Tapi itu juga bisa menjadi curse (kutukan) karena kita lihat banyak orang yang ayahnya hebat, kemudian terlalu terlena sehingga lupa membuat space sendiri, profil sendiri, reputasi sendiri, prestasi sendiri,” tutur Dino Patti Djalal, saat berpidato pada acara peluncuran buku Tetralogi Transformasi AHY, Kamis (10/8/2023) malam di Ballroom Djakarta Theater.

Dino adalah juru bicara kepresidenan di era SBY, yang juga dekat dengan keluarga Cikeas. AHY, lanjut Dino, sudah berada di level yang berbeda. AHY dinilainya sudah memiliki medan, profil, reputasi, dan prestasi sendiri, tanpa cawe-cawe SBY di belakangnya.

Satu yang sering menjadi bahan baku cibiran terhadap AHY adalah keputusannya pensiun dini dari militer dan terjun ke politik. Semua berawal dari Pilkada DKI Jakarta 2017 silam. Mengenai hal itu, senior sekaligus sahabatnya di Akmil, M Iftitah, menceritakan.

“Kamis Kliwon, 22 September 2016, pukul 8 pagi, saya tengah berdinas di Bandung. AHY dari Darwin menelepon,” kata Iftitah. “Bang, saya mendapat aspirasi untuk maju dalam Pilkada DKI, menurut Abang bagaimana?” lanjut Iftitah menirukan ucapan AHY saat itu.

Setelah terdiam sebentar, Iftitah menjawab, jika ingin menjadi jenderal, AHY harus melupakan Pilkada. Tapi jika ingin masuk dunia politik, tak penting menang atau kalah. “Insya Allah, mungkin ini momentumnya. Kelak, jam terbang politik Mas akan lebih tinggi dibanding para jenderal,” ucapnya kepada AHY.

Jika AHY tak punya kedaulatan atas dirinya dan bergantung sepenuhnya kepada SBY, tentu dia tak perlu repot-repot meminta pendapat sang senior. AHY mengaku bersyukur tumbuh dalam lingkungan keluarga yang sangat demokratis. Jadi, menurut AHY, dirinya telah memilih jalan tersebut dengan pertimbangan matang. Ia mengaku telah meminta petunjuk lewat salat istikharah, serta mendengarkan masukan dari keluarga, terutama istri dan kedua orang tuanya.

Diakui atau tidak, AHY memang sudah merancang dan mengenakan atributnya sendiri. Soal prestasinya, silakan Anda googling di internet. Salahsatunya adalah AHY menggenggam 3 gelar master sekaligus, satu di antaranya dari Harvard University. Tentu gelar-gelar akademik itu didapat lewat pergulatan gagasan dan pikiran, bukan give away. 


NEXT LEVEL

Dalam paparannya, Dino Patti Djalal kembali bercerita. Kala itu dia berdialog dengan sang istri. Bagaimana AHY bisa masuk ke next level? “Saya bilang, kalau mau ke next level, AHY harus jatuh, harus kalah, harus babak belur, harus sakit, dan harus pernah berbuat kesalahan,” katanya.

Takdir berbicara, hasil Pilkada DKI tak berpihak pada AHY. Dia terlempar dari kompetisi di putaran pertama. Mengenai hal ini, Teuku Riefky Harsya, Sekjen Partai Demokrat, menyampaikan kekagumannya.

“Pasca quick count putaran pertama, AHY berpidato menerima kekalahannya, lalu ia mengucapkan selamat kepada mas Anis dan pak Ahok. Kemudian beberapa hari sebelum menghadiri pelantikan mas Anis sebagai gubernur DKI, AHY mengunjungi pak Ahok di Rutan Kelapa 2. Perilaku ksatria seperti ini jarang sekali saya jumpai, karena biasanya kita tidak mudah menerima kekalahan,” urainya.

Di luar acara, saya mendengar testimoni senada dari orang yang mengundang saya, sekaligus ketua panitia launching buku Tetralogi Transformasi AHY, yakni Irwan Fecho (anggota DPR RI dan Ketua DPD Partai Demokrat Kaltim). Pada Agustus 2017, Irwan menggelar event Musik Rimba di Kutai Timur. Ia ingin menghadirkan tamu tokoh muda nasional. Saat itu belum terbayang siapa yang akan diundang. Irwan juga belum menjadi kader Demokrat ketika itu.

Lalu, dirinya menonton berita AHY menyampaikan pidato ucapan selamat kepada calon yang lolos ke putaran kedua Pilkada DKI, serta menerima kekalahannya. “Saya lihat, orang ini punya karakter kuat. Akhirnya saya undang. Saya presentasi di depan mas AHY, ternyata beliau berkenan hadir ke Kutim,” kenang Irwan.

Pernyataan AHY di media mengenai kekalahannya bukan lip service. Kepada Iftitah, AHY yang pernah menerima penghargaan Bintang Adhi Makayasa menuturkan, “Sejak kecil saya selalu juara. Ini cara Tuhan agar saya tak sombong.”


MUDA ADALAH KEKUATAN

Dalam peluncuran buku itu, tampak hadir beberapa tokoh nasional. Di antaranya politikus PDIP yang juga Ketua DPR RI, Puan Maharani, Ketua MPR RI Bambang Soesatyo (Golkar), Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar, Presiden PKS Ahmad Syaikhu, dan tak ketinggalan calon presiden Anies Baswedan.

Dalam pidatonya, Anies mengatakan bahwa anak muda menuliskan pikiran dan gagasan untuk masa depan. Orang tua menuliskan biografi masa lalu. “Jadi saat saya mendengar mas AHY akan meluncurkan buku, saya sempat khawatir, mudah-mudahan bukan biografi. Dan kecurigaan saya keliru. Mas AHY menuliskan gagasan untuk masa depan,” jelasnya.

Anies melanjutkan, mengenai buku volume kedua, AHY bercerita tentang mewujudkan Indonesia Emas 2045. Bukan soal bagaimana Indonesia nanti di 2045, kata Anies, tapi tentang bagaimana kita secara serius memikirkan negeri yang dicintai.

“Ketika membaca buku volume kedua ini, maka kita akan melihat anak muda yang memiliki seluruh fasilitas untuk memikirkan dirinya sendiri, untuk menikmati kenyamanan yang  diterima sebagai warisan, tapi dia malah memikirkan tentang bagaimana Indonesia menjadi lebih baik di masa yang akan datang,” ujarnya.

Untuk diketahui, Tetralogi Transformasi AHY ini terdiri dari empat judul buku. Masing-masing berisi cerita perjalanan, kumpulan gagasan, pemikiran, dan ide-ide AHY dari waktu ke waktu. Volume pertama berjudul TNI Kuat, Negara Hebat (saat aktif menjadi anggota TNI). Volume kedua Mewujudkan Indonesia Emas 2045 (petualangan akademis sebagai Direktur Eksekutif The Yudhoyono Institute). Volume ketiga Merayakan Demokrasi Tanpa Polarisasi (AHY saat menjadi Komandan Kogasma, pemenangan Partai Demokrat). Volume keempat Bersama Kita Kuat, Bersatu Kita Bangkit (AHY sebagai Ketum Demokrat).

Apa yang diperjuangkan AHY itu, bukan untuk dirinya sendiri, sebagaimana diungkapkan Teuku Riefky Harsya. “AHY berjuang bukan hanya untuk dirinya. Ia merintis jalan untuk anak-anak muda yang kerap disepelekan. Saya kutip dari buku Merayakan Demokrasi tanpa Polarisasi. Indonesia saat ini membutuhkan politik harapan, bukan politik ketakutan. Muda adalah kekuatan.”

Penulis adalah Kepala Badan Komunikasi Strategis DPD Partai Demokrat Kaltim.

 


Artikel ini telah diterbitkan di Kaltim Post

Berita Lainnya