Utama

Vasektomi  Operasi Vasektomi  Praktik Vasektomi  Majelis Ulama Islam Dosen Filsafat 

Wacana Vasektomi Dedi Mulyadi Menuai Polemik, Begini Pendapat Dosen Filsafat Unmul



Anwar Ibrahim Triyoga saat ditemui reporter Selasar.co di kantornya. Foto: Selasar/Zain.
Anwar Ibrahim Triyoga saat ditemui reporter Selasar.co di kantornya. Foto: Selasar/Zain.

SELASAR.CO, Samarinda - Rencana Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, memasukkan vasektomi sebagai syarat menerima bantuan sosial (bansos) menuai kontroversi dari berbagai kalangan masyarakat.

Sebagai contoh, Majelis Ulama Indonesia (MUI) memberi fatwa haram pada praktik vasektomi kecuali alasan syar’i. Pasalnya, mereka memandang vasektomi sebagai praktik pemandulan permanen untuk pria tidak sesuai dengan syariat Islam.

Polemik vasektomi sebagai syarat bansos memunculkan perdebatan filosofis. Mulai dari moralitas, pertentangan otonomi vs otoritas, hingga teori ekonomi dalam penghapusan rongga antara si miskin dan si kaya.

Guna menilik dari perspektif tersebut, reporter Selasar.co mewawancarai Anwar Ibrahim Triyoga, Dosen Filsafat di Fakultas Ilmu Budaya Unmul. Anwar menilik diskursus vasektomi tersebut dari kacamata etis, relasi kuasa, dan otoritas individu. Tema-tema yang selalu dibicarakan di ranah ilmu filsafat.

“Sebenarnya dalam rencana [vasektomi] itu ada potensi pelanggaran etis. Karena ketika kebijakan pemerintah sudah masuk ke ranah privat, seperti reproduksi dan sebagainya, mereka memperlakukan masyarakat sebagai objek,” ujarnya.

Anwar meminjam konsep “biopolitik” yang dipopulerkan oleh filsuf Prancis, Michel Foucault, dalam menanggapi isu vasektomi ini. Dalam konsep biopolitik, Anwar menerangkan, pemerintah sebagai pemegang kuasa tak lagi sekedar mengurusi tindakan kelompok atau individu melainkan mengatur lebih jauh bagaimana mereka “seharusnya” hidup. Singkatnya, pemerintah menjadikan populasi sebagai objek regulasi.

Hal tersebut dilakukan dengan cara membuat peraturan yang mengatur reproduksi, seksualitas, dan aspek biologi lain dari masyarakat. Hal itulah yang dimaksud “menjadikan masyarakat sebagai objek”.

Masyarakat terkuantifikasi dan hanya dipandang sebagai data naik atau turunnya indeks pembangunan sosial. Bukan lagi sebagai subjek yang “berdaulat atas tubuh dan kehidupannya”.

Pemuda 29 tahun ini juga menilai ada potensi tindakan koersif (paksaan) jika wacana vasektomi sebagai syarat bansos tersebut diimplementasikan. Hal itu dapat terjadi ketika masyarakat yang terdesak secara ekonomi mau tidak mau memilih vasektomi demi mendapat bansos dari pemerintah. Hal itu, menurut Anwar, tidak menjadikan masyarakat sebagai subjek yang partisipatif bahkan dalam keputusan menyangkut dirinya sendiri. Otonomi manusia sebagai manusia kembali dibenturkan dengan otoritas pemerintah sebagai pemegang kuasa.

Namun, pria yang menyelesaikan program sarjana dan magister di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada itu berpendapat bahwa kini masyarakat semakin terbuka dengan isu-isu sosial dan politik serta lebih melek demokrasi. Medium untuk menyuarakan pendapat juga mudah untuk diakses secara digital melalui media sosial (medsos). Kedua hal itu menyediakan wadah bagi warganet untuk “menyerang” kebijakan-kebijakan yang tak berpihak pada publik dan memungkinkan untuk merubah kebijakan tersebut.

“Dalam virtue ethics, kebijakan terbaik adalah yang membina warga menjadi agen yang sadar dan mandiri dalam mengambil keputusan,” pungkasnya.

Penulis: Zain
Editor: Awan

Berita Lainnya