Lingkungan

banjir samarinda Aktivis lingkungan sungai karang mumus SKM 

Banjir Terus Berulang, Miliaran Anggaran Penanggulangan Hanya Terkubur Sia-sia



Misman (kiri) dan Krisdiyanto (kanan), aktivis lingkungan di Samarinda.
Misman (kiri) dan Krisdiyanto (kanan), aktivis lingkungan di Samarinda.

SELASAR.CO, Samarinda - Banjir kembali menenggelamkan beberapa kawasan di Samarinda. Hingga hari ini, Selasa (26/5/2020) sebanyak 44.937 jiwa dari 11 kelurahan yang tersebar di lima kecamatan terdampak banjir usai hujan pada Sabtu, 23 Mei 2020 lalu. Sejumlah jalan utama pun tidak bisa dilalui kendaraan karena terendam banjir. Antara lain Jl Dr Soetomo, kawasan Simpang Mal Lembuswana, kawasan Sempaja Utara, Sungai Pinang, Jl A Yani, Jl PM Noor, dan sejumlah ruas jalan lainnya.

Musibah banjir sudah lama dikaitkan dengan air yang meluap dari Sungai Karang Mumus (SKM), sehingga meluber ke pemukiman warga. Karena itu pemerintah terus menggenjot pengerjaan proyek yang berhubungan dengan penurapan SKM.

Namun menyalahkan sungai sebagai penyebab banjir, ditentang keras oleh Misman, aktivis lingkungan di Samarinda. Pria yang juga Ketua Gerakan Memungut Sehelai Sampah Sungai Karang Mumus (GMSS-SKM) ini menyebut banjir di Samarinda terjadi karena hilangya tempat air. Topografi Samarinda layaknya sebuah mangkok, sehingga memang menampung banyak air.

“Perlu dicatat 71 persen dunia itu isinya air. Jadi yang numpang di dunia ini manusia, bukan air. Jadi manusia jangan menyuruh air untuk beradaptasi dengan dibuatkan polder dan kolam retensi. Seharusnya kita yang menyesuaikan diri,” ujarnya.

Ditambahkan Misman, sungai secara alami peruntukannya bukan untuk mengendalikan banjir. Sehingga penanggulan (penurapan) yang dilakukan pemerintah ia anggap tidak ada artinya. Ia mencontohkan seperti penanganan yang dilakukan di Jalan S Parman. Saat itu dijanjikan akan mengatasi banjir di kawasan simpang Mal Lembuswana. Namun nyatanya tidak berdampak, dan saat ini banjir masih terjadi di sana.

“Jadi miliaran anggaran pembangunan hanya terkubur di sana. Dahulu di sana banyak vegetasi yang tumbuh yang fungsinya menyerap dan menyimpan air. Jadi cara mengatasi banjir ini adalah jangan dihabisi ruang air. Kalau itu dihabisi, walaupun sungai dikeruk dan dilebarkan ratusan meter, Samarinda akan tetap tenggelam,” tegasnya.

Kondisi bukit, lembah, dan rawa di Samarinda yang menjadi ruang bagi air, sekarang kondisinya juga sudah banyak yang beralih fungsi. Sebagian besar menjadi kawasan pertambangan hingga perumahan. Misman menilai seharusnya ada regulasi khusus yang mengatur teknik membangun rumah di atas bukit dan rawa.

Samarinda, kata dia, bisa mencontoh sistem pembangunan di Gunung Dubs di Balikpapan pada zaman kolonial Belanda. “Mereka tidak pernah menghabiskan bukit, tapi mereka mencari kontur di daerah mana yang bisa dibangun dan bukan merupakan jalur air,” tambahnya.

Dia pun melontarkan kritik terkait banjir di Samarinda saat ini yang menunjukan tren peningkatan. “Berarti secara ekologi kita tidak beradab, itu saja. Sebenarnya Samarinda ini kota Rahmat Lil Alamin (rahmat bagi semesta) berlimpah air kehidupan, hanya ruang airnya kita habis,” sesalnya.

Senada, aktivis lingkungan lainnya di Samarinda, Krisdiyanto menjelaskan, penyebab banjir di Samarinda salah satunya adalah okupasi gila-gilaan kawasan Berambai, Tanah Datar, sampai Simpang Muara Badak. Aktivitas pertambangan hingga perumahan turut menyumbang kerusakan. Lalu bagaimana mengatasinya?

Menurut Kris, masing masing area yang terdampak berbeda-beda cara penanggulangannya. Mengatasi banjir, kata dia, juga harus berupaya mengatasi kekeringan. Harus ditimbang berapa yang diresapkan, berapa yang ditampung, dan berapa yang dijadikan run-off atau aliran ke sungai besar.

"Saya ambil contoh Bengkuring, yang dulu merupakan rawa atau tempat parkirnya air dijadikan perumahan. Posisi Bengkuring itu seperti mangkok, sebagian wilayahnya lebih rendah dari Sungai Karang Mumus yang sudah ditanggul tanah, tidak akan cukup kalau hanya membangun polder," terangnya.

Lalu, harus bagaimana?

"Opsi pertama pindahkan perumahannya, hahaa, tapi ini gak mungkin. Opsi kedua rombak bangunan atau meninggikan rumah yang tenggelam. Opsi tiga, bangun tanggul atau dam keliling setinggi limpasan tertinggi dan siapkan rumah pompa. Namun, opsi menanggul akan mengakibatkan jumlah debit air diterima bagian hilir akan lebih tinggi.

Dan membangunnya gak boleh setengah dan gak jelas seperti proyek Semani yang sia-sia," lanjut Kris.

Diketahui, Pemkot Samarinda melaksanakan proyek drainase Semani (Jalan Sentosa-Remaja-A Yani). Terdiri dari Semani 1 dan 2. Sudah menghabiskan sekitar Rp 96 miliar. Tetapi hasilnya tak signifikan.

Kris melanjutkan, selain menangamankan area resapan dan tampungan, koneksitas setiap drainase harus besar-besaran dan cukup, sesar dan kanalisasi jalur baru beberapa titik, dan pastikan setiap gorong gorong yang ada di pinggir jalan terkoneksi tanpa terkecuali.

Jika tidak memiliki cukup anggaran, kata pemuda berambut gondrong ini, minimal pemerintah melakukan mitigasi bencana. Memfasilitasi dan memgedukasi apa yang harus dilakukan masyarakat, agar mandiri dan reaktif jika terjadi bencana serupa yang berulang. Misalnya penyiapan perahu dan pelampung di tiap RT untuk evakuasi mandiri.

Penulis: Redaksi Selasar
Editor: Awan

Berita Lainnya