Utama

Kemerdekaan Indonesia HUT KE-76 RI Krisis Iklim Krisis Iklim Kaltim 

Potret Kaltim yang Masih Dijajah Krisis Iklim pada HUT ke-76 RI



Spanduk di persimpangan Lembuswana.
Spanduk di persimpangan Lembuswana.

SELASAR.CO, Samarinda - Krisis iklim semakin nyata di Kaltim. Hal ini pun terjadi bukan karena ulah siapa-siapa, melainkan diri kita sendiri. Jika melihat data Rencana Tata Ruang Wilayah yang dirilis Pemerintah Provinsi Kaltim, baru sekitar 17,3 persen dari total 12,7 hektare lahan daratnya yang masuk dalam kawasan lindung Pengelolaan Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA). Sementara 87,7 persen lahan sisanya, diberikan kepada perusahaan untuk dikeruk isinya.

Berikut datanya

  1. Luasan konsesi industri tambang batu bara mencapai 5,3 juta hektare;
  2. Luas konsesi industri minyak dan gas (migas) mencapai 13,9 juta hektare;
  3. Luas perkebunan Kaltim mencapai 3,3 juta hektare;
  4. Luas hak pengusahaan hutan (HPH) mencapai 4,3 juta hektare;
  5. Luas hutan tanaman industry (HTI) mencapai 4,5 Juta hektare.

Jika dikalkulasikan, lahan yang diberikan pemerintah kepada perusahaan untuk dikeruk isinya mencapai 31,8 Juta hektare. Padahal total luas wilayah Kaltim, jika diukur dari darat hingga 12 mil laut, hanya mencapai 16 Juta hektare saja. 

Dijelaskan pegiat lingkungan dari Extinction Rebellion Bunga Terung Kaltim, Maulana Yudhistira, hal itu akibat pemberian izin yang tumpang tindih antara satu sama lain. Ia menyebut, pemerinta tidak mempertimbangkan aspek sosial, lingkungan dan ruang hidup untuk masyarakat serta lingkungan hidup.

"Alih-alih mempersiapkan diri serta menjaga komitmen Paris Climate Accords untuk mengurangi peningkatan suhu bumi agar tidak meningkat 1,5 derajat celcius, bertumpah ruahnya pemberian izin kepada industri ekstraktif Kaltim justru mempercepat kenaikan suhu bumi itu sendiri," ujar Maulana pada, Selasa (17/8/2021). 

Perjanjian Paris ia sebut seolah janji manis kepada pihak internasional dari pemerintah Indonesia dan Provinsi Kaltim. Setiap kali suhu bumi semakin meningkat, setiap itu juga kita mendekatkan diri kepada kiamat. “Tidak lain dan tidak bukan, kita adalah pelaku kiamat itu sendiri. Bangsa kita dulu memang dijajah. Tetapi saat ini, kitalah penjajah itu sendiri," tambahnya.

Alhasil, pada tahun ke-76 kemerdekaan Republik Indonesia (RI) ini, dirinya mengajak seluruh elemen masyarakat, pemerintah, dan pihak-pihak lain untuk sadar bahwa krisis ekologis itu sangat nyata. Indonesia belum merdeka seutuhnya saat ancaman kiamat iklim semakin nyata di Kaltim.

Penulis: Yoghy Irfan
Editor: Awan

Berita Lainnya