Utama

lubang tambang Danau Eks Lubang Tambang Danau Bekas Lubang Tambang Orang Tenggelam di Lubang Tambang jatam kaltim jatam 

Lubang Bekas Tambang di Kaltim Telan 40 Nyawa, Siapa Bertanggung Jawab?



Danau bekas lubang tambang. (SELASAR FOTO/Dok. Jatam).
Danau bekas lubang tambang. (SELASAR FOTO/Dok. Jatam).

SELASAR.CO, Samarinda - Lubang bekas tambang kembali memakan korban jiwa di Kaltim. Pada Minggu, 31 Oktober 2021 lalu, pemuda berinisial FA (25) warga RT10, Kelurahan Makroman, tenggelam di danau bekas lubang tambang. Korban baru berhasil ditemukan oleh Tim Basarnas Unit Siaga Samarinda, pada Senin, 1 November 2021, dalam kondisi meninggal dunia. 

Menurut Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim, Pradarma Rupang, dahulu danau yang berisi air berwarna kebiruan tersebut merupakan lokasi pertambangan batu bara. Namun akibat proses reklamasi yang tidak dilakukan, lubang itu pun kemudian terisi air hingga menjadi danau seperti saat ini.

“Dari hasil penelusuran Jatam Kaltim, koordinat lokasi masuk di dalam Konsesi CV Arjuna. Perusahaan tambang ini mendapatkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi yang diterbitkan Wali Kota Samarinda pada 6 September 2014 dan berakhir 6 September 2021 dengan luas konsesi 1.452 hektare,” sebut Rupang dalam keterangan tertulisnya. 

Kasus kematian kali ini pun menambah daftar panjang warga Kaltim yang menjadi korban tewas di lubang eks tambang menjadi 40 orang. “Sebelumya kasus lubang tambang di Kaltim tercatat telah menelan jumlah korban mencapai 39 jiwa. Kasus tersebut terjadi pada 6 September 2020 dialami oleh dua remaja asal Tanah Grogot Kabupaten Paser,” ungkapnya. 

PEMEGANG IZIN PERTAMBANGAN YANG ABAI REKLAMASI WAJIB DIPIDANAKAN

Terus berjatuhannya korban jiwa di lubang bekas tambang seolah kembali mengingatkan pentingnya tahapan reklamasi pascatambang. Hal itu sebenarnya telah jelas kewajiban mutlak perusahaan. Dan siapapun yang abai dengan kewajiban ini, jelas adalah kejahatan yang berkonsekuensi pidana. 

Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah mengatakan, bahwa dalam ketentuan Pasal 161B ayat (1) UU 3/2020 tentang Perubahan UU 4/2009 tentang Minerba, disebutkan secara eksplisit bahwa, Setiap orang yang IUP atau IUPK dicabut atau berakhir dan tidak melaksanakan reklamasi dan/atau pascatambang; dan/atau penempatan dana jaminan reklamasi dan/atau dana jaminan pascatambang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak 100 miliar rupiah. Bahkan dalam ketentuan Pasal 164 UU a quo, pelaku tindak pidana juga dapat dikenai hukuman tambahan berupa perampasan barang, perampasan keuntungan, dan kewajiban membayar biaya yang ditimbulkan akibat tindak pidana tersebut. 

Batas waktu pelaksanaan reklamasi sendiri, sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 21 PP 78/2010 tentang Reklamasi dan Pascatambang, adalah paling lambat 30 hari kalender sejak kegiatan usaha pertambangan selesai dilakukan. Sementara batas waktu untuk pelaksanaan pascatambang adalah paling lambat 30 hari kalender setelah sebagian atau seluruh kegiatan pertambangan berakhir (lihat Pasal 25 ayat (3) PP 78/2010). 

“Sementara faktanya, rata-rata perusahaan tambang di kaltim, urung melakukan kewajiban reklamasi ini, bahkan hingga berpuluh tahun. Ini juga yang berkontribusi besar terhadap 40 korban yang kehilangan nyawa di lubang tambang,” ujar pria yang akrab disapa Castro tersebut.

Oleh karena itu, tidak ada alasan bagi aparat kepolisian untuk tidak melakukan proses hukum terhadap perusahaan yang abai dengan kewajiban reklamasi dan pascatambang. Bukan hanya terhadap perusahaan yang wilayah konsesinya memakan korban nyawa manusia, tapi proses hukum ini juga harus dilakukan terhadap seluruh perusahaan pertambangan batu bara yang abai atau tidak melakukan reklamasi dan pascatambang. 

Pun demikian dengan pemerintah daerah yang juga punya tanggung jawab untuk memastikan proses hukum ini berjalan. Apalagi Gubernur dalam kapasitas wakil pemerintah pusat di daerah, juga diberikan tugas untuk memastikan nyawa dan keselamatan warganya, termasuk atas pelanggaran reklamasi yang memakan korban ini. “Ini yang tidak dipahami dan dijalankan dengan baik. Jangan menutup mata dan telinga terhadap kejahatan serius ini,” tegasnya. 

Castro juga menyebut bahwa daerah bahkan punya instrumen hukum yang progresif sejak 2013 melalui Perda 8/2013 tentang Penyelenggaraan Reklamasi dan Pascatambang. Namun sayangnya, dua rezim pemerintah daerah, baik di masa Awang Faroek Ishak maupun dimasa Isran Noor, substansi Perda tersebut gagal dijalankan sesuai dengan kepentingan dan harapan warga, khususnya bagi para keluarga korban. 

“Dampaknya, kejahatan dalam bentuk ketidakpatuhan reklamasi dan pascatambang ini semakin meluas, dan terus menerus memakan korban. Jika aparat kepolisian, termasuk pemerintah, tidak serius dan memiliki komitmen kuat menyelesaikan persoalan ini, maka niscaya korban akan terus berjatuhan,” sebutnya.

Penulis: Yoghy Irfan
Editor: Awan

Berita Lainnya