Utama
FH Unmul  RUU IKN Pansus RUU IKN  Pembangunan IKN ibu kota negara 
Sehari Sebelum Pengesahan, Dosen FH Unmul Sampaikan 7 Catatan RUU IKN ke Pansus
SELASAR.CO, Samarinda - Rancangan Undang-Undang Ibu Kota Negara (RUU IKN) belum lama dibahas di Dewan. Namun, rencananya Selasa 18 Januari 2022 besok, RUU tersebut akan disahkan di Rapat Paripurna DPR.
Pansus RUU IKN juga telah mendiskusikan Draft RUU IKN dalam berbagai forum, baik dengan masyarakat maupun akademisi. Namun tampaknya hal tersebut belum cukup, mengingat dalam draft yang ada saat ini, masih ditemui banyak problem. Hal ini juga yang turut menjadi concern dari Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, hingga mengadakan forum diskusi terbuka secara virtual bersama salah satu anggota pansus RUU IKN, Budiarso Djiwandono, pada hari ini, Senin (17/1/2022).
Menurut Harry Setya Nugraha, akademisi sekaligus Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, terdapat beberapa catatan terhadap aspek Kelembagaan dan Pemerintahan Khusus IKN Dalam RUU IKN. Pertama yaitu konsep penyelenggaraan pemerintahan khusus oleh Otorita tidak dikenal dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Konsep ini ia sebut berpotensi menjadi konsep yang inkonstitusional atau bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Sebab, original intens Pasal 18B ayat (1) tidak cukup mengakomodir maksud dibentuknya otorita dengan berbagai tujuan, maksud, dan konsepnya.
Kedua, RUU IKN memberi definisi bahwa Otorita IKN adalah lembaga pemerintah setingkat kementerian yang dibentuk untuk melakukan beberapa aktivitas, salah satunya adalah penyelenggaraan pemerintahan khusus. Dikatakan pula bahwa kewenangan pemerintahan khusus IKN dalam pengelolaan wilayah IKN mencakup seluruh urusan pemerintahan, kecuali urusan pemerintahan di bidang politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan agama.
Berita Terkait
“Konsep ini tidak sejalan dengan konsep urusan pemerintahan dalam sistem pemerintahan Indonesia yang berlaku saat ini. Sebagaimana diketahui bahwa urusan pemerintahan dalam sistem pemerintahan saat ini dibagi menjadi urusan pemerintahan absolut, umum, dan konkuren yang kesemuanya itu dilaksanakan baik oleh pemerintah pusat secara absolut, oleh presiden maupun dilaksanakan bersama antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah,” jelasnya.
Ketiga, kedudukan otorita IKN sebagai lembaga pemerintahan setingkat menteri pun memicu pertanyaan tentang bagaimana kemudian kedudukan kepala otorita terhadap menteri? Ketidakjelasan tersebut pada akhirnya akan menambah catatan panjang fenomena pada kondisi yang saling berhadap-hadapan (tidak saling memihak) antara jabatan kepala di daerah (kepala daerah dan kepala otorita) dan menteri dalam penyelenggaraan pemerintahan.
“Keempat, yaitu naskah akademik dan RUU IKN menjelaskan bahwa otorita sebagai bagian daripada pemerintah pusat. Hal ini membuat penyelenggaraan pemerintahan di IKN oleh otorita akan sangat sentralistik,” tambahnya.
Harry Setya Nugraha juga menyebut bahwa dalam pasal 10 ayat (1) RUU IKN menyebutkan bahwa Kepala Otorita IKN dan Wakil Kepala Otoritas IKN memegang jabatan selama 5 tahun, dan sesudahnya dapat ditunjuk kembali dalam masa jabatan yang sama. Beberapa catatan terhadap ketentuan a quo: pertama, penunjukan yang dilakukan oleh Presiden dapat dinilai mencederai semangat demokrasi yang telah dibangun sejauh ini; kedua, ketentuan tersebut juga tidak memberi sinyal terhadap batasan masa jabatan kepala otorita dan hal ini jelas menabrak konsep konstitusionalisme/pembatasan kekuasaan.
Keenam, dalam pasal 10 ayat (2) RUU IKN menyebutkan bahwa Kepala Otorita IKN dan/atau Wakil Kepala Otoritas IKN dapat diberhentikan sewaktu-waktu oleh Presiden sebelum masa jabatan berakhir. Ketentuan ini tentu dapat dilihat mengandung tendensi yang cukup politis dan elitis.
Terakhir dalam dalam poin ke tujuh yang menjadi catatanya ialah Pasal 13 ayat (1) RUU IKN menyebut bahwa, IKN hanya melaksanakan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, dan pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia. Ketentuan a quo mengakibatkan hilangnya hak konstitusional warga negara di kawasan IKN untuk dapat memilih dan memiliki dewan perwakilan rakyat di daerah.
Selain ketujuh catatan di atas, Pasal 32 RUU IKN menyebutkan bahwa ‘pada saat Undang Undang ini mulai berlaku, seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan ketentuan yang diatur khusus dalam Undang-Undang ini dinyatakan tidak berlaku dalam hal kegiatan persiapan, pembangunan, dan pemindahan Ibu Kota Negara, serta penyelenggaraan Pemerintahan Khusus IKN’.
“Ketentuan a quo dapat dinilai sebagai ketentuan “sapu jagat” yang menunjukkan bahwa banyak sekali peraturan perundang-undangan yang akan terdampak dari RUU IKN ini yang bisa saja belum seluruhnya diidentifikasi dengan baik oleh pemerintah. Tidak hanya itu, ketentuan “sapu jagat” ini juga menandakan bahwa sesungguhnya kajian tentang rencana perpindahan IKN belum tuntas dilaksanakan. Oleh karena itu, ada baiknya pembahasan RUU IKN tidak dilakukan tergesa-gesa dan perlu kembali dilakukannya kajian yang matang dan mendalam terhadap rencana perpindahan IKN,” pungkasnya.
Penulis: Yoghy Irfan
Editor: Awan