Utama
Hari puisi nasional Chairil Anwar Bem FIB Unmul Fakultas Ilmu Budaya Unmul Pembacaan puisi Chairil Anwar 
Membaca dan Memperbincangkan Penyair Jenius Chairil Anwar pada Hari Puisi

SELASAR.CO, Samarinda - Tanggal 28 April diperingati sebagai Hari Puisi Nasional. Berbicara tentang puisi, tak lengkap jika tidak berbicara tentang pelopor puisi modern Indonesia, Chairil Anwar.
Dalam diskusi Love, Laugh, Literature yang diadakan BEM Fakultas Ilmu Budaya Unmul pada Senin (28/4/2025) sore, sosok Charil dibahas lebih jauh. Mulai dari pribadinya hingga karya-karyanya, seperti Aku Binatang Jalang dan Derai-Derai Cemara, dibacakan dan dibincangkan.
“Ada kesan di masyarakat bahwa Chairil itu berpenampilan urakan, gembel dan sebagainya. Padahal ia itu sosok yang dandy dan parlente,” ujar Amien Wangsitalaja sebagai pemantik pertama dalam diskusi itu.
Amien menjelaskan bahwa pada dasarnya, Chairil Anwar berasal dari keluarga terpandang. Bagaimana tidak, dirinya merupakan keponakan dari Sutan Sjahrir yang pada masa itu pernah menjabat sebagai Perdana Menteri Republik Indonesia.
Berita Terkait
Namun, Chairil lebih memilih hidup mandiri ketimbang hanyut dalam lingkungan keluarganya yang tergolong elite. Chairil mendedikasikan dirinya untuk puisi hingga dianggap sebagai punggawa jenius dalam bidang itu.
Amien menjelaskan kelebihan Chairil Anwar ialah kemampuannya untuk menuliskan pengalaman personal menjadi karya yang interpersonal bagi pembaca. Dalam hal tersebut, Chairil juga mendobrak dunia puisi dengan berlepas dari tatanan kepenulisan dan kebahasaan yang digunakan para pendahulunya.
Puisi-puisi yang sebelumnya banyak membawa tema religi dengan gaya bahasa cenderung kaku khas Pujangga Lama, seperti karya-karya Amir Hamzah, dibongkar dan dikonstruksi ulang oleh Chairil. Hasilnya, puisi-puisi Chairil banyak yang bertemakan antroposentris dengan gaya kebahasaan yang cenderung sederhana namun tetap mendalam.
Pembacaan dan pembahasan karya-karya Chairil Anwar dilanjutkan oleh pemantik kedua K Irul Umam. Umam menekankan bagaimana Chairil selalu teliti memilih diksi dalam puisinya.
“Dalam puisi berjudul Aku, Chairil menulis ‘biar peluru menembus kulitku, aku tetap meradang menerjang’. Kenapa dia memilih diksi ‘menembus’? Dia mengandaikan cecaran orang-orang sebagai ‘peluru’ yang ‘menembus’ dirinya. Maknanya, cecaran orang-orang pada dirinya itu menyakitkan tapi tidak bersarang dalam dirinya,” terang Umam dengan penuh semangat.
Pria yang juga aktif menulis puisi itu menekankan bagaimana Chairil Anwar sangat piawai dalam menggunakan bahasa. Bahkan, cara Chairil menggunakan bahasa dalam puisinya berkontribusi besar dalam perkembangan kesusastraan Indonesia pasca kemerdekaan.
Sebagai penutup, kedua pemantik sekaligus seniman tersebut menekankan pentingnya memperhatikan kebahasaan, baik dalam bentuk seni seperti puisi maupun dalam konstruksi narasi. Karena, baik disadari atau tidak, bahasa membentuk persepsi kita akan dunia. Bahkan, bahasa dapat membentuk dunia itu sendiri.
Penulis: Zain
Editor: Awan