Opini
Aji Cahyono UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta  Founder Indonesian Coexistence Opini Mahasiswa 
Memperhebat Tradisi Riset Studi Islam di Kalimantan Timur
SELASAR.CO - Kalimantam Timur (Kaltim) sedang menjadi laboratorium besar peradaban baru Indonesia, seiring dengan pemindahan Ibu Kota Nusantara (IKN), berbagai sektor bergeliat—baik ekonomi, politik, kebudayaan hingga pendidikan. Namun, di tengah gegap gempita pembangunan infrastruktur, ada satu hal yang belum menjadi perhatian penting, yakni penguatan iklim riset studi Islam.
Selain menjawab persoalan teologis maupun fikih, riset studi Islam membuka jendela untuk membaca transformasi sosial, etika politik, ekonomi kerakyatan hingga hubungan manusia dengan lingkungan. Hal ini menjadi penting memperhebat riset studi Islam di Kaltim. Bukan semata untuk kepentingan dunia akademik, melainkan untuk arah pembangunan dan masa depan manusia Indonesia.
Universitas Islam Negeri Sultan Aji Muhammad Idris (UINSI) Samarinda kembali menjadi titik penting dalam wacana pengembangan akademik keislaman nasional. Pada jum’at (7/11), UINSI menjadi tuan rumah penyelenggaraan Focus Group Discussion (FGD) Persemakmuran Eks IAIN Sunan Ampel Surabaya, menghadirkan pimpinan sembilan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) anggota persemakmuran.
Salah satu poin strategis ditekankan, mengenai internasionalisasi PTKIN. Menurutnya, penguatan reputasi perguruan tinggi Islam Indonesia di level global merupakan agenda dijalankan bersama. Ia menyinggung program Education Impact 2026, yakni pengiriman profesor maupun dosen senior ke berbagai negara untuk memperluas jejaring keilmuan. Program ini sempat tertunda, namun Kemenag menegaskan komitmen untuk melanjutkannya.
Sahiron mendorong pembukaan “prodi kreatif” menjawab kebutuhan zaman dan dunia kerja. Riset dan pendidikan Islam tidak boleh terkurung dalam dinding fakultas. Ia harus hidup di masyarakat, menautkan nilai agama dengan persoalan keseharian—seperti ekonomi, sosial politik, budaya dan lingungan. Momentum FGD sesungguhnya menjadi pintu masuk untuk memikirkan arah penguatan riset dan tradisi kelilmuan Islam di Kaltim.
Peta Riset Islam tersentral di Jawa
Jika menengok peta perkembangan studi Islam di Indonesia, hingga kini arus wacana dan riset akademik masih banyak terpusat di Jawa. Kampus-kampus seperti UIN Jakarta, UIN Yogyakarta, UIN Surabaya telah menjadi laboratorium pemikiran Islam yang melahirkan teori, pendekatan, dan gerakan pembaharuan pemikiran. Di Jawa, tumbuh berbagai aliran pemikiran, seperti Islam Nusantara, Islam Kritis, Islam Transformatif, Fikih Sosial hingga kajian Interfaith Dialogue yang mendorong kehidupan beragama yang inklusif dan plural.
Dominasi pusat pengetahuan tersebut sering membuat wilayah—seperti Kaltim berada pada posisi “penerima” atau sekadar wilayah implementasi gagasan. Kita tak bisa menutup mata terhadap fakta selama puluhan tahun, pusat keilmuan Islam di Indonesia bertumbuh dengan infrastruktur, jaringan akademik, dan dukungan riset yang lebih mapan di Pulau Jawa. Dominasi ini membuat arah penelitian, wacana, bahkan paradigma keilmuan Islam sering mengikuti pola-pola yang dikembangkan di kampus Islam di Jawa.
Akibatnya, banyak mahasiswa dan dosen dari luar Jawa—termasuk Kaltim yang mengharuskan untuk “hijrah akademik” ke Jawa untuk memperoleh pembinaan riset atau akses pustaka yang lebih lengkap. Di satu sisi, hal tersebut memperkaya pengalaman; di sisi lain, membuat daerah seperti Kaltim kehilangan kesempatan untuk membangun ekosistem riset Islam yang tumbuh dari konteks lokalnya sendiri.
Padahal, kondisi sosial di Kaltim mempunyai kekhasan yang kaya untuk menjadi basis pengembangan teori dan pendekatan keislaman baru. Misalnya, Kaltim adalah rumah bagi masyarakat heterogen yang majemuk—hadirnya suku Bugis, Banjar, Dayak, Jawa, Kutai, Tionghoa, dan lain-lain hidup berdampingan bersama komunitas agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan kepercayaan lokal. Ia mengalami transformasi sosial cepat akibat pembangunan, industri, dan migrasi.
Situasi seperti ini berpeluang memposisikan Kaltim sebagai laboratorium sosial yang ideal dengan potensi luar biasa untuk memperhebat riset studi Islam berbasis realitas masyarakat multikultural dan ekologis, relevan dengan konteks lokal sekaligus memberi warna baru bagi khazanah keilmuan nasional, hingga menghasilkan suatu karya akademik monumental. Semua itu merupakan sumber data dan inspirasi yang tak ternilai bagi pengembangan studi Islam yang rahmatan lil alamin—Islam yang menghadirkan kedamaian, keadilan, dan kebermanfaatan bagi semua.
Masa Depan Kaltim sebagai Islamic Knowledge Ecosystem
Sejarah mencatat, Islam bukan hanya agama ritual, melainkan kultural dan intelektual yang membentuk peradaban Nusantara. Islam sudah lama hidup di Kaltim, seperti di pesisir Kutai hingga Samarinda, jejaknya terlihat dalam tradisi masyarakat—dari shalawat di langgar-langgar kampung hingga pendidikan Islam semacam pesantren mengakar di tengah kota. Islam datang bukan dengan pedang, melainkan dengan hikmah, dagang, dan budaya.
Saat Kaltim dipersiapkan menjadi pusat peradaban baru melalui IKN, mestinya studi Islam tampil sebagai kekuatan etik dan kultural yang membimbing pembangunan. Jika IKN dimaknai sebatas proyek infrastruktur, maka yang lahir hanya kota megah tanpa jiwa. Namun bila disertai dengan riset dan refleksi keislaman yang kuat—menggali nilai keadilan sosial, kemandirian ekonomi, dan harmoni alam, maka IKN bisa tumbuh sebagai pusat peradaban yang berkarakter Nusantara dan berakar spiritualitas Islam Indonesia.
Sebagai daerah yang akan menjadi episentrum pemerintahan dan pengetahuan, Kaltim harus berani membangun Islamic Knowledge Ecosystem—menghadirkan ekosistem pengetahuan Islam yang hidup, kritis, dan produktif. Artinya, riset studi Islam tidak boleh terkungkung dalam ruang normatif semata, melainkan harus terhubung dengan isu-isu strategis.
Pertama, Ekologi dan Teologi Lingkungan, bagaimana Islam memandang tanggung jawab manusia terhadap hutan, air, dan tanah yang menjadi isu vital di Kaltim; Kedua, Ekonomi Syariah dan Kemandirian Lokal, bagaimana konsep ekonomi kerakyatan dan ekonomi Islam dapat diterapkan pada UMKM, petani maupun nelayan di Kaltim; Ketiga, Moderasi Beragama dan Kebhinekaan, ditengah arus migrasi besar ke Kaltim, riset tentang harmoni antarumat beragama menjadi penting; Keempat, Digitalisasi Dakwah dan Literasi Islam, anak muda Kaltim hidup di era media sosial, maka riset tentang Islam digital perlu diperkuat.
Universitas Islam di Kaltim dapat mengambil peran sebagai think tank—rumah gagasan yang menjembatani antara nalar akademik dan kebutuhan sosial. Bila riset diarahkan untuk menjawab problem kemanusiaan, maka studi islam bukan sebagai wacana lama yang beku, melainkan energi moral untuk membangun bangsa. Riset tidak bisa dilepaskan dari karakter penelitinya.
Langkah awal menguatkan tradisi riset Islam di Kaltim; Pertama, membangun ekosistem literasi ilmiah. Tradisi membaca dan menulis di kalangan mahasiswa, dosen, dan komunitas Islam perlu digairahkan kembali. Perpustakaan kampus dan pesantren harus menjadi pusat diskusi, bukan hanya sebatas tempat menyimpan buku. Diskusi ilmiah antar kampus di Samarinda, Balikpapan, Kutai Kartanegara hingga Bontang bisa menjadi laboratorium gagasan.
Kedua, perguruan tinggi di Kaltim perlu memperkuat kolaborasi lintas disiplin. Studi Islam tak bisa berdiri sendiri tanpa menyentuh ilmu sosial dan politik, ekonomi, lingkungan dan budaya. Misalnya, riset fikih lingkungan di daerah pertambangan, etika Islam terhadap pengelolaan sumber daya alam, atau kajian pendidikan Islam di komunitas multikultural. Kolaborasi semacam ini akan memperkaya metode dan keluasan cara pandang para peneliti.
Ketiga, membangun jejaring riset antar daerah. Perguruan tinggi Islam di Kaltim bisa menjalin kemitraan dengan UIN di Jawa—tidak sebagai sub-ordinasi, melainkan mitra sejajar yang membawa perspektif baru. Misalnya, riset bersama tentang pluralisme Islam di daerah non-Jawa atau kajian ekonomi Islam berbasis masyarakat pesisir. Dengan begitu, suara Kaltim akan turut terdengar dalam wacana keislaman nasional.
Keempat, memperbanyak publikasi ilmiah dan forum akademik. Jurnal lokal harus dihidupkan dengan manajemen profesional. Seminar dan konferensi studi Islam tingkat regional bisa menjadi ruang berbagi gagasan antar peneliti muda. Di era digital, riset yang tidak dipublikasikan sama saja belum berkontribusi bagi umat dan bangsa.
Cendekiawan Muslim yang Membumi
Kaltim membutuhkan generasi cendekiawan muslim yang membumi dan reflektif—bukan hanya ahli kitab, melainkan ahli kehidupan. Mereka yang meneliti bukan untuk menonjolkan ego akademik, melainkan menjawab persoalan kemanusiaan: bagaimana Islam bisa hadir di tengah keberagaman, bagaimana ajaran rahmat lil alamin menjadi praksis sosial, dan bagaimana nilai-nilai Islam dapat mendorong masyarakat hidup berdampingan dalam damai.
Akademisi Islam di Kaltim perlu menumbuhkan etos ijtihad, keberanian berpikir, dan kejujuran ilmiah. Islam selalui menghargai ilmu dan akal sehat, sebagaimana firman Allah SWT: “Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” (QS. Az-Zumar: 9) Etos riset bukan karena proyek atau angka kredit, melainkan panggilan untuk mencari kebenaran. Akademisi Islam bukan sekadar pengajar, melainkan peneliti yang membangun peradaban.
Cendekiawan muslim semacam ini harus hadir dalam realitas kehidupan. Mereka lahir dari masyarakat, menulis tentang apa yang mereka alami, dan berbicara dengan bahasa yang dipahami publik. Di Kaltim, banyaknya figur potensial dari kalangan akademisi muda, guru, aktivis, maupun santri yang haus pengetahuan. Mereka hanya perlu dukungan, bimbingan, dan ruang tumbuh untuk menjelma menjadi peneliti dan penulis yang tangguh. Sehingga Kaltim mempunyai peluang besar untuk menjadi pusat riset Islam yang menawarkan paradigma baru, yakni Islam yang kontekstual dan koeksistensi damai (peaceful coexistence).
Dari bumi yang kaya sumber daya ini, kita bisa mengembangkan kajian Islam yang menekankan harmoni sosial dan ekologi. Misalnya, riset tentang etika Islam terhadap alam dan lingkungan, tentang kearifan Islam dalam menghadapi perubahan sosial akibat industrialisasi, atau tentang kontribusi Islam terhadap kebudayaan lokal. Riset Islam yang berorientasi pada rahmat lil alamin, berarti riset yang menebarkan manfaat. Ia bukan hanya menghasilkan teori, melainkan juga menawarkan solusi. Ia tidak berhenti di ruang seminar, melainkan hadir di tengah masyarakat: dalam pendidikan, dakwah, kebijakan publik hingga perilaku sosial.
Karena sejatinya, kemajuan riset Islam bukan diukur dari berapa banyak kutipan akademik yang kita hasilkan, melainkan sejauh mana riset membuat manusia hidup lebih adil, berpengetahuan, dan lebih berperadaban.
Penulis: Aji Cahyono
Editor: Awan

