Opini
Banjir Sumatra Opini Publik Kalimantan timur Banjir Kalimantan Timur Deforestasi Kaltim Isu Perubahan Iklim 
Belajar Dari Banjir di Sumatera dan Aceh, Saatnya Kalimantan Timur Lebih Serius Jaga Lingkungan
Oleh: Bella Widiamarshanda Husna
Banjir besar yang melanda beberapa daerah di Sumatera dan Aceh dalam beberapa minggu terakhir kembali mengingatkan kita bahwa isu perubahan iklim dan masalah lingkungan sudah menjadi masalah yang dekat dengan kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia. Setiap tahun, kita melihat pola yang sama yakni hujan yang ekstrem, daerah yang tidak siap, dan ribuan orang yang terpaksa mengungsi. Namun, di balik bencana tersebut, ada pesan penting bagi daerah lain, termasuk Kalimantan Timur, bahwa tindakan mitigasi terhadap lingkungan tidak bisa ditunda lagi.
Kalimantan Timur mungkin tidak mengalami banjir sebesar di Sumatera dan Aceh, tetapi kita tahu bahwa beberapa kota disini seperti Samarinda, Kukar, dan Bontang sering tergenang hanya karena hujan beberapa jam saja, ancaman yang serupa sebenarnya adalah hal yang nyata. Kita berada dalam kawasan yang tengah menghadapi perubahan besar: ekspansi industri ekstraktif yang telah berlangsung lama, pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN), serta pertumbuhan penduduk dan ekonomi yang semakin pesat. Di tengah perubahan tersebut, pertanyaan kuncinya adalah: apakah Kalimantan Timur benar-benar siap menghadapi risiko lingkungan yang semakin rumit?
Banjir di Sumatera dan Aceh tidak hanya terkait dengan hujan deras. Banyak ahli mengaitkan hal ini dengan kerusakan daerah aliran sungai (DAS), berkurangnya area hutan, dan tata kelola ruang yang tidak efektif. Ini penting untuk dicatat karena kejadian serupa bisa terjadi di Kalimantan Timur. Dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah wilayah di Kalimantan Timur, seperti Samarinda, Kutai Kartanegara, Berau, dan Bontang, juga mengalami banjir. Ketika hujan hanya turun beberapa jam, beberapa kelurahan langsung tergenang.
Berita Terkait
Ini menunjukkan bahwa kita berada dalam kondisi yang rentan. Apa yang kita saksikan di Sumatera dan Aceh dapat menjadi cermin masa depan Kalimantan Timur jika pengelolaan lingkungan tidak diperkuat. Kita tidak perlu menunggu terjadinya bencana besar untuk menyadari bahwa pencegahan jauh lebih efisien dan lebih manusiawi dibandingkan dengan penanganan setelah bencana terjadi.
Sebagai provinsi yang kaya akan sumber daya alam, Kalimantan Timur telah lama menjadi pusat industri batu bara, perkebunan, dan migas. Kegiatan ini membawa kontribusi ekonomi yang besar, tetapi juga menimbulkan dampak lingkungan yang serius, mulai dari pergeseran lanskap, sedimentasi sungai, hingga hilangnya beberapa area resapan air. Dengan adanya pembangunan IKN, kebutuhan akan lahan, energi, dan infrastruktur akan semakin meningkat. Pembangunan memang memberikan peluang baru, tetapi juga memerlukan perhatian serius untuk menjamin keberlanjutan lingkungan. Jika tidak dikelola dengan baik, risiko terhadap banjir, longsor, dan bencana ekologis lainnya bisa meningkat.
Belajar dari banjir di Sumatera dan Aceh, pesan yang bisa kita ambil adalah jelas: pembangunan yang tidak disertai mitigasi lingkungan yang kuat akan menciptakan kerentanan jangka panjang. Isu banjir sering kali dianggap hanya sebagai masalah teknis atau tanggung jawab pemerintah semata. Padahal, penyelesaiannya memerlukan kerjasama dari semua pihak.
Pemerintah daerah harus berperan aktif dalam meningkatkan pengawasan tata ruang, memperbaiki kapasitas sistem drainase di kota, dan memastikan pengelolaan kawasan hutan serta sungai itu baik. Namun, masyarakat juga memegang peranan penting, terutama dalam menjaga lingkungan sekitar dan membangun kesadaran akan pentingnya menjaga sungai.
Sebagai mahasiswa di bidang ilmu pemerintahan, saya melihat masalah ini tidak hanya berkaitan dengan lingkungan, tetapi juga dengan cara pengelolaan. Banjir terjadi akibat keputusan kebijakan yang tidak selaras, lemahnya evaluasi, dan kurangnya penerapan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Oleh karena itu, generasi muda, terutama mahasiswa, perlu menjadi suara yang kritis dan kreatif dalam mendorong perubahan.
Gerakan komunitas yang peduli terhadap sungai, kegiatan menanam pohon, kampanye pendidikan lingkungan, serta penelitian dari perguruan tinggi, bisa menjadi kekuatan tambahan untuk mendorong pergeseran menuju pembangunan yang lebih berkelanjutan.
Bencana yang terjadi di Sumatera dan Aceh menunjukkan bahwa Indonesia masih perlu memperkuat sistem mitigasi bencana dan pengaturan ruang. Kalimantan Timur dapat mengambil pelajaran dari situasi ini untuk mulai mempersiapkan diri mulai sekarang.
Ada beberapa langkah yang dapat difokuskan. Pertama, perlu ada perbaikan dalam pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan area resapan air, perlindungan hutan, serta pengelolaan sungai yang harus dilakukan secara lebih konsisten agar tidak terjadi genangan air berlebih.
Kedua, lakukan audit infrastruktur drainase di kabupaten/kota Kaltim, karena banyak daerah tergenang akibat drainase yang tidak cukup untuk menampung intensitas hujan yang semakin tinggi.
Ketiga, terapkan tata ruang yang berbasis pada risiko bencana: setiap izin pembangunan harus mempertimbangkan dampak ekologis jangka panjang.
Keempat, tingkatkan pemahaman lingkungan bagi masyarakat dan generasi muda. Kelima, perkuat kerjasama antara pemerintah, perguruan tinggi, dan komunitas.
Banjir yang melanda Sumatera dan Aceh bukan hanya bencana bagi daerah itu, tetapi juga menjadi peringatan untuk daerah lain, termasuk Kalimantan Timur. Di tengah perubahan iklim global dan transformasi pembangunan yang cepat, kita tidak bisa lagi memisahkan pembangunan dari perlindungan lingkungan.
Kalimantan Timur memiliki potensi besar untuk menjadi contoh pembangunan berkelanjutan di Indonesia. Namun, potensi ini hanya dapat terwujud jika kita belajar dari bencana di daerah lain dan memperkuat komitmen bersama untuk melindungi lingkungan. Karena, pada akhirnya, melestarikan lingkungan bukan hanya soal mencegah banjir saat ini, tetapi juga tentang memastikan masa depan yang lebih aman dan layak untuk generasi yang akan datang.

