Utama

OTT KPK ott-kutim OTT Bupati Bupati Kutai Timur Castro Herdiansyah Hamzah Pengamat Politik 

OTT Bupati Kutim Jadi Bukti Politik Dinasti Rawan Korupsi!



Para tersangka OTT Bupati Kutim saat press rilis KPK malam tadi. Foto: Twitter/Febri Diansyah
Para tersangka OTT Bupati Kutim saat press rilis KPK malam tadi. Foto: Twitter/Febri Diansyah

SELASAR.CO, Samarinda – Pusat Studi Anti Korupsi (SAKSI) Fakultas Hukum Universitas Mulawarman menyatakan operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Kabupaten Kutai Timur, menambah daftar panjang kepala daerah yang terjerat kasus korupsi di Indonesia.

KPK telah menetapkan Bupati Kutai Timur ISN dan istrinya, EU, yang juga menjabat sebagai Ketua DPRD Kutai Timur, beserta 3 orang kepala OPD dan pihak swasta, sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi dalam pengadaan barang dan jasa. Dugaan korupsi dalam kasus ini, ditengarai berhubungan erat dengan kepentingan Pilkada di Kutai Timur, yang sedianya akan digelar akhir 2020 ini.

Sekretaris SAKSI FH Unmul, Herdiansyah Hamzah mencatat beberapa hal krusial penyebab perilaku korupsi yang menjerat Bupati Kutim. Yang pertama adalah biaya politik yang tinggi dapat mendorong kepala daerah untuk berperilaku korup.

Kendati bukan satu-satunya faktor, namun biaya politik yang tinggilah yang memaksa para kandidat calon terkhusus petahana untuk menghalalkan segala cara. Seturut kajian Litbang Kemendagri menunjukkan untuk menjadi wali kota/bupati dibutuhkan biaya mencapai Rp 20-30 miliar, sementara untuk menjadi gubernur berkisar Rp 20-100 miliar.

“Ongkos yang harus mereka keluarkan ini, tentu saja tidak sepadan dengan gaji yang bakal diterima oleh seorang kepala daerah,” ujarnya dalam press rilis yang diterima SELASAR, Sabtu (4/7/2020).

Menjadi pertanda masih mengakarnya politik transaksional, dimana ada upeti yang harus diberikan kepada pemegang kekuasaan sebagai tiket untuk memenangkan tender barang dan jasa. Tradisi ini secara otomatis melanggengkan perilaku korup, kepala daerah cenderung menggunakan pengaruhnya (trading in influence) untuk mengatur lalu lintas pemenang tender barang dan jasa, demi mendapatkan keuntungan pribadi dan kelompoknya.

Pasangan suami-istri yang memimpin lembaga eksekutif dan legislatif menandakan politik dinasti telah memberi jalan lapang merampok uang negara.

“Politik dinasti telah melumpuhkan check and balances system antara Pemerintah dan DPRD. Sebab kendali pengawasan berada di tangan satu keluarga, jadi mustahil akan ada kontrol yang kuat dan memadai di bawah kuasa politik dinasti,” jelas pria yang akrab disapa Castro ini.

Lebih lanjut, akademisi Unmul ini menilai keterlibatan 3 unsur organisasi perangkat daerah (OPD) dalam kasus OTT ini, yakni Badan Pendapatan Daerah (Bapenda), Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD), dan Dinas Pekerjaan Umum (PU), menandakan OPD-OPD telah menjadi sapi perah kepala daerah. Dimana instansi pemerintahan dijadikan bancakan untuk memperkaya pundi-pundi modal politiknya jelang Pilkada.

“Tentu saja ada proses tawar menawar atau transaksi saling menguntungkan di antara keduanya, termasuk dalam proses seleksi atau keterpilihan kepala-kepala OPD tersebut. Hal ini tentu saja merusak desain merit system manajemen lembaga pemerintahan kita, sebab telah terjadi spoil system yang memberikan dampak merugikan terhadap kualitas layanan publik,” jelasnya lagi.

Untuk itu SAKSI mendukung langkah KPK untuk menuntaskan kasus ini. Sekaligus, mendorong agar dilakukan proses dan upaya yang sama di wilayah lain, baik di tingkat provinsi maupun di tingkat kabupaten/kota. Hal ini perlu dilakukan menjadi perhatian serius demi mengembalikan kepercayaan publik kepada lembaga antirasuah yang sempat memudar.

Mereka juga meminta KPK dan aparat penegak hukum lainnnya, untuk memperketat pengawasan terhadap daerah-daerah yang sarat dengan praktik politik dinasti. Sebab di bawah kendali politik kekerabatan tersebut, potensi tindak pidana korupsi akan jauh lebih mudah terjadi.

“Persekongkolan jahat yang mengarah kepada perampokan uang negara, akan jauh lebih efektif dan berlangsung lebih cepat di bawah kendali politik dinasti ini,” beber Castro.

Herdiansyah Hamzah, Sekretaris SAKSI FH Unmul

Meminta kepada seluruh kepala-kepala daerah, khususnya yang ada di Kalimantan Timur menjadikan kasus OTT ini sebagai terapi kejut (shock therapy) agar tidak bermain-main dengan jabatannya untuk memperkaya diri sendiri dan kelompok. Meminta kepada lembaga-lembaga pengawasan, baik internal maupun eksternal, termasuk seluruh lapisan masyarakat, untuk memperketat pengawasan terhadap proses lalu lintas pengadaan barang dan jasa.

“Jika menemukan kejanggalan atau indikasi perbuatan melawan hukum, silahkan segera laporkan kepada aparat penegak hukum. Hal ini juga berlaku kepada perusahan dan kontraktor, jika menemukan indikasi pemerasan atau permintaan fee tertentu dari pejabat dalam upaya menjanjikan pemenangan tender,” jelas Castro.

Lebih lanjut, ia mendorong partai politik melakukan pendidikan politik kepada masyarakat secara serius, agar dapat melahirkan pemilih yang rasional. Dengan demikian, politik berbiaya tinggi dalam Pilkada dapat kita tekan.

“Upaya pendidikan politik ini, termasuk pula perbaikan pola rekrutmen dan kaderisasi, menjadi jalan untuk membatasi eksistensi politik dinasti, yang secara nyata telah merusak sistem politik kita sekaligus melapangkan jalan korupsi,” pungkas Castro

Penulis: Fathur
Editor: Awan

Berita Lainnya