Kutai Timur

Korupsi KPK ott-bupati-kutim lelang proyek kutim ott kpk di kutim korupsi pejabat kutim politik dinasti kutim cara memenangkan lelang proyek 

Di Balik OTT Bupati Kutim, Begini Cara Menangkan Tender Proyek



Ruang kerja yang disegel KPK
Ruang kerja yang disegel KPK

Sudah jadi rahasia umum, jika ingin mendapatkan proyek pemerintahan, pengusaha harus menyiapkan “jatah” bagi oknum pejabat yang berkepentingan.

MUHAMMAD RIDHUAN, Balikpapan

BAU tengik proses lelang dan penunjukan langsung proyek-proyek di pemerintahan terkuak. Operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait suap yang melibatkan Bupati Kutim Ismunandar dan Ketua DPRD Kutim Encek Firgasih beberapa waktu lalu, seolah membuka mata.

Kaltim Post belum lama ini berusaha mencari informasi kepada sejumlah pengusaha yang diketahui mengikuti lelang di kabupaten yang pernah dipimpin Gubernur Kaltim Isran Noor itu. Sayang, dari sejumlah nama yang disebut-sebut pernah memenangkan lelang, enggan diwawancara awak media.

Hingga pada Jumat (10/7/2020) pekan lalu, melalui seorang kenalan, awak media berhasil menemui seorang pengusaha asal Balikpapan yang baru saja selesai menggarap proyek penunjukan langsung di salah satu instansi. Kepada Kaltim Post, pria bertubuh gemuk itu minta identitasnya tidak dipublikasikan. “Saya kebetulan baru terjun di bisnis ini (mengikuti lelang atau penunjukan langsung di proyek pemerintahan),” akunya.

Dia menyebut, sudah jadi rahasia umum, jika ingin mendapatkan proyek di Kutim harus dekat dengan oknum pejabat tertentu. Sumber itu menyebut secara detail ke mana dan siapa saja yang bisa ditemui jika ingin mendapatkan proyek-proyek tertentu. “Tapi saya enggak mungkin sebut instansi atau nama lembaga. Apalagi orangnya. Bisa habis saya,” katanya.

Informasi banyak diperolehnya dari salah seorang anak buahnya yang sudah lama berada di Kutim, yang dekat dengan banyak pejabat, baik di eksekutif maupun legislatif. Lewat orang kepercayaannya itu, dia bisa bertemu seorang oknum pejabat yang bisa mengawalnya mendapatkan proyek yang diinginkan. Posisi tawar jadi lebih kuat. “Ya harus dikawal pejabat (kalau mau dapat proyek),” sebutnya.

“Dikawal” artinya, melalui oknum pejabat tersebut, nama perusahaannya akan masuk dalam pertimbangan instansi yang memegang anggaran proyek. Dalam kasus itu yang dimaksud adalah penunjukan langsung. Artinya proyek pengadaan barang/konstruksi/jasa berada di bawah Rp 200 juta. “Jadi, satu pejabat biasa kawal satu perusahaan untuk bisa masuk ke satu pengadaan. Jadi, bukan saya sendiri yang “main”. Banyak,” ujarnya.

Dia mengaku, sebelum bisa mendapatkan proyek, ada deal dengan pejabat tersebut. Tidak perlu memakai kontrak hitam di atas putih. Apalagi membawa saksi dari masing-masing pihak. Cukup dirinya, oknum pejabat, dan penghubung. “Ini sistem kepercayaan. Penghubung termasuk penting dan harus dipercaya oleh masing-masing pihak,” tuturnya.

Dalam deal tersebut, oknum pejabat akan menyebut nilai proyek. Lalu berapa nominal yang harus dikutip dari jasanya. Misal, untuk satu pengadaan dengan nilai proyek Rp 150 juta, maka pengusaha diminta menyiapkan dana Rp 200 juta untuk bisa ditunjuk sebagai penerima proyek. “Lalu ada deal di muka. Saya harus memberikan, misal Rp 30 juta,” ucapnya.

Setelah ada kesepakatan, dia mengaku harus mengeluarkan uang. Itu sebagai dana operasional. Membayar sejumlah oknum yang biasa mengurus berkas-berkas proyek ke instansi pengguna anggaran. “Ya, japrem (jatah preman). Jadi kita terima beres,” jelasnya.

Sayang, dia menolak nama proyek yang digarap untuk ditulis. Yang jelas, saat ini dirinya khawatir. Pasalnya, setelah OTT KPK yang menyeret tujuh tersangka termasuk Ismunandar dan Encek Firgasih, Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kutim Musyaffa, Kepala Dinas Pekerjaan Umum (PU) Aswandini, Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Suriansyah, pembayaran pengadaan barang yang sudah diselesaikannya pada Mei lalu terancam tak dibayar dalam waktu dekat.

“Harusnya cair Juni lalu tapi ditunda karena pandemi. Terus ada kabar cair lagi Juli ini. Tapi baru dua hari saya dapat kabar hendak cair, pejabat yang berwenang mencairkan ditangkap KPK,” keluhnya.

Meski tidak setuju, dia memaklumi, bila setiap tender atau proyek penunjukan langsung mesti dapat pengawalan oknum pejabat. Dia menyebut, oknum tersebut memang berstatus pejabat publik. Artinya dipilih dari pemilihan umum (pemilu). “Pasti buat balik modal lah pas jor-joran di pemilu,” ungkapnya.

BIAYA POLITIK

Pengamat politik dari Universitas Mulawarman (Unmul) di Samarinda, Lutfi Wahyudi menyebut, terjadinya kasus suap dari pengusaha kepada oknum pejabat publik merupakan sebuah akibat dari mahalnya biaya politik dalam pemilu.

Meski dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) yang dijadwalkan Desember 2020 nanti berlangsung di tengah pandemi Covid-19. “Pandemi atau tidak pandemi, sistem electoral kita itu high cost. Dan itu berlaku pula kepada setiap kontestan pilkada,” tutur Lutfi.

Apalagi saat pandemi, potensi biaya politik membengkak sangat mungkin terjadi. Itu karena kondisi di masyarakat yang secara ekonomi turun, sehingga memerlukan figur yang bisa memberikan mereka dana instan untuk meringankan beban hidup. “Dan kontestan pasti akan melakukan money politic. Karena merasa belum berbuat baik kepada pemilih. Dan curiga lawan politik juga melakukan hal yang sama,” katanya.

Tak hanya kepada masyarakat, kontestan juga memerlukan modal untuk partai politik (parpol). Sebab, parpol menjadi salah satu instrumen penting untuk memberikan tiket maju dalam pemilu. Karena bagaimana pun parpol memerlukan anggaran untuk bertahan.

“Mungkin saja, bukan mahar yang diminta parpol. Tak perlu cash and carry. Tapi ada ‘utang’ jika terpilih nanti berupa kebijakan yang menguntungkan parpol. Bentuknya apa, saya tak tahu. ini harus dilakukan penelitian juga,” bebernya.

Di sisi lain, lingkaran produk demokrasi yang melupakan nilai substansial juga menjadi sebab. Selama ini pemilu, sebut dia, hanya prosedural. Jadi, tidak menutup pada mereka yang terpilih memiliki kepentingan satu sama lain.

Apalagi ketika kekuasaan dipegang mereka yang satu keluarga. Seperti yang terjadi di Kutim. Ketika suami dan istri menduduki posisi strategis dalam setiap pengambil kebijakan anggaran. Suami, yang seorang kepala daerah dan istri yang seorang ketua DPRD adalah kombinasi yang sangat punya potensi kepentingan. “Dengan status petahana, maka aset politik selama menjabat akan menjadi modal politik. Yang paling vulgar ya money politic,” ujarnya.

Kepala daerah khususnya yang akan mencalonkan diri untuk periode keduanya, akan menggunakan instrumen kebijakan yang korup. Wujudnya yang paling mudah diidentifikasi adalah memberikan janji kepada pemodal, sehingga bisa mendapatkan proyek-proyek yang berada di ranah APBD kabupaten/kota. “Akhirnya, dengan kewenangannya melakukan intervensi kepada proyek. Dan itu terjadi. Bukan isapan jempol belaka,” katanya.

Asumsi kebijakan perlu dipandang multi-dimensional dan multi-aktor. Artinya, tidak mungkin kepala daerah akan mampu memengaruhi kebijakan tanpa keterlibatan pihak lain. Di mana dalam kasus di Kutim, ketua DPRD ikut berperan.

“Tidak mungkin dalam pengambil kebijakan anggaran, eksekutif tidak melibatkan legislatif sebagai untuk fungsi pengawasan dan budgeting. Celakanya pimpinan DPRD merupakan istrinya,” ujarnya.

Meski dari partai yang berbeda, keduanya dari ranjang yang sama. Artinya, bagaimana pun keputusan yang dibuat tidak akan lepas dari kepentingan satu ranjang. Itu sebabnya, secara logika, idealnya lembaga yang punya fungsi berbeda tidak boleh dijabat oleh orang yang menimbulkan konflik kepentingan. “Itu suami istri konflik kepentingannya besar sekali,” sebutnya. (rom/k16)

Berita ini telah terbit di surat kabar harian Kaltim Post, juga di prokal.co dengan judul Melihat Tender Proyek di Balik OTT Bupati Kutim, Di-Backing Oknum Penjabat, Peluang Menang Makin Kuat

Editor: Awan

Berita Lainnya