Kutai Timur

Bappeda Kutim RTRW di Kutim perkebunan sawit di Kutim 

Alih Fungsi Lahan dan Pindah Kewenangan Jadi Penyebab Perubahan RTRW di Kutim



Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kutai Timur, Edward Azran
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kutai Timur, Edward Azran

SELASAR.CO, Kutai Timur - Pertumbuhan penduduk dan pengembangan wilayah menyebabkan terjadinya perubahan fungsi dan tata ruang pada sebuah daerah. Lahan-lahan produktif yang sedianya adalah untuk pertanian dan pengembangan sektor pangan namun berubah fungsi dan wujud menjadi area perkebunan, pertambangan, kawasan industri dan juga pemukiman penduduk.

Tidak heran, jika sepanjang 20 tahun perjalanan rencana pembangunan jangka panjang sebuah daerah, terjadi 2-3 kali review dan revisi tata ruang wilayah sebuah daerah. Demikian diungkapkan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kutai Timur (Kutim), Edward Azran saat ditemui awak media di ruang kerjanya, belum lama ini.

Menurut Edward Azran penggunaan ruang wilayah sangat cepat prosesnya setiap tahun. Contohnya saja kondisi perkebunan sawit yang ada di Kutim. Di saat rencana tata ruang wilayah (RTRW) Kutim disusun, jumlah area kebun sawit di Kutim kurang lebih hanya 150.000 hektare. Namun saat ini perkebunan sawit di Kutim luasannya sudah mencapai 300.000 hektare.

“Belum lagi dengan adanya pertambangan dan pemukiman penduduk yang semakin pesat berkembang. Mau tidak mau, pemerintah harus kembali melakukan penyesuaian tata ruang wilayah. Wajar saja jika dalam waktu 20 tahun perjalanan RPJP (Rencana Pembangunan Jangka Panjang, red) wilayah akan ada dua hingga tiga kali review dan revisi tata ruang wilayah," sebut Edward.

Menurutnya, pemerintah sebenarnya memiliki komitmen untuk tidak merubah atau mengalihfungsikan lahan-lahan yang bersifat produktif dan memang sudah diatur dalam Undang-undang. Namun kenyataannya di lapangan, alih fungsi lahan tersebut tetap terjadi dan kerap mengantarkan pejabat publik yang memiliki kewenangan dalam mengubah fungsi lahan tersebut, akhirnya berhadapan dengan penegak hukum.

“Padahal, jika merujuk pada aturan perundang-undangan, maka pemerintah diminta berkomitmen untuk tidak merubah fungsi lahan-lahan yang bersifat produktif, seperti lahan pertanian dan pengembangan pangan. Namun pada kenyataannya di lapangan, banyak yang berubah,” jelasnya.

Selain itu permasalahan overlapping izin lahan, karena adanya penarikan kewenangan pemerintah daerah ke tingkat pemerintah provinsi, juga turut menambah  permasalahan. Dengan adanya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, mencabut sebagian kewenangan strategis yang semula dimiliki oleh pemerintah daerah, beralih dikendalikan oleh pemerintah provinsi.

“Hal ini (penarikan kewenangan, red) juga menjadi permasalahan serius bagi Pemda. Karena sebagian besar yang terkait perizinan strategis, harus diselaraskan oleh provinsi, termasuk RTRW. Karenanya, jika KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi, red) protes bahwa izin yang dikeluarkan melebihi luasan pulau yang ada, maka wajar saja. Karena yang dikelola lahannya ada yang di bawah tanah, ada yang di atas tanah dan ada yang di tengah-tengah tanah. Mungkin hanya yang di udara saja yang tidak diberikan izinnya,” pungkas Edward.

Penulis: Bonar
Editor: Fathur

Berita Lainnya