Feature
Tim Pemakam Jenazah Covid-19 BPBD Samarinda penanganan corona Protokol penanganan COVID-19 Pemakaman pasien positif Corona Petugas pemakaman pasien positif Corona 
Simak Pengorbanan Tim Pemakam Jenazah Covid-19 di Samarinda Ini
Lima bulan sudah Hanafiah jarang bertemu keluarga. Bahkan tiga bulan terakhir, ayah dua orang putri ini hanya tiga kali melepas rindu dengan anak dan istrinya. Pulang ke rumah baginya berarti membawa risiko belaka. Dia adalah satu dari sekian anggota Tim Pemakam jenazah Covid-19 di Samarinda.
YOGHY IRFAN ARYA NEGARA, selasar.co
SEJAK pandemi corona atau Covid-19 melanda Indonesia dan sejumlah orang di Samarinda dinyatakan positif terinfeksi virus tersebut, Hanafiah berada di barisan depan, selain para tenaga medis yang berjibaku di rumah sakit menangani pasien.
Pria yang akrab disapa Aloes ini tergabung dalam Tim E Satgas Covid-19 Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Samarinda. Tugasnya harus memisahkan sementara Aloes dari keluarga. Rindu yang dia rasakan, akhirnya lebih sering dituntaskan melalui sambungan telepon pada malam hari ketika senggang.
Berita Terkait
"Memang waktu awal bulan April itu saya diperintahkan oleh pak Ifran (komando tim E, Kabid Kedaruratan dan Logistik BPBD Samarinda) untuk masuk dalam tim. Awalnya kami ini kan tim penyemprotan dan evakuasi, jadi beliau menawarkan apakah mau jadi tim pemakaman. Saya sempat kaget karena risikonya besar sekali," ujar Hanafiah.
Tidak ingin mengambil keputusan seorang diri, ia pun berdiskusi dengan keluarga, termasuk sang istri. "Memang keluarga awalnya terkejut juga. Tapi setelah dijelaskan alasannya bahwa ada faktor kemanusiaan juga, akhirnya keluarga memberi dukungan. Karena kami rata-rata sebelum di BPBD kan dasarnya relawan semua. Jadi ketika mendapatkan tawaran ini berdasarkan sisi kemanusiaan, saya terima," ucapnya.
Sementara itu, Ifran menjelaskan, jumlah anggota timnya memang terbatas, yaitu hanya 10 orang. Personelnya pun tidak pernah mengalami pergantian sejak awal dibentuk. "Menghindari potensi jumlah orang terpapar karena risikonya sangat tinggi. Karena itu disepakati dengan tim yang kecil tapi mobile bergerak 24 jam," jelas Ifran.
SEBULAN PENUH BERPUASA TANPA KELUARGA
Menghabiskan bulan Ramadan tanpa kumpul keluarga menjadi pengalaman pertama bagi Hanafiah. Jika biasanya waktu berbuka puasa selalu dilakukan bersama istri dan anak, hal itu tidak dapat ia lakukan tahun ini.
Menjalankan ibadah puasa pun terasa lebih berat, karena rasa lapar haus harus dijalankan di dalam baju alat pelindung diri (APD) yang berlapis-lapis.
"Sejauh ini pengalaman yang tidak akan saya lupa itu waktu harus menjalankan tugas pemakaman di bulan Ramadan. Saat itu kan kami pakai APD berlapis, di saat yang sama saya dan beberapa teman lainnya juga menjalankan ibadah puasa. Karena udara yang tidak bisa masuk saat mengenakan APD itu panasnya luar biasa sekali, pernah sampai mau pingsan rasanya karena begitu panasnya," tutur Hanafiah.
TIDUR DI KAMAR TERPISAH SAAT DI RUMAH
Meski saat ini Hanafiah sudah bisa pulang ke rumah melepas rindu dengan keluarga, dirinya mengaku masih takut untuk sekadar memeluk anaknya. Meski selama bekerja sudah menerapkan protokol dengan ketat.
"Itu pun saat tidur di rumah saya posisinya terpisah dengan keluarga, walaupun hitungannya sudah satu minggu tidak ada proses pemakaman, tetap saya jaga jarak dengan keluarga di rumah," ungkapnya.
Dia pun memilih menginap di kantor beberapa hari jika hari itu dia baru saja melakukan proses pemakaman jenazah dengan status positif Covid-19.
"Kadang kalau memang lagi kangen sekali, itu biasanya pulang ke rumah sebentar untuk melihat anak-anak dan istri namun tetap jaga jarak. Setelah itu saya langsung kembali ke kantor. Karena dalam seperti saat ini, saya untuk menyentuh anak saja tidak berani, karena kasihan anak-anak saya nanti," imbuh Hanafiah.
BANYAK OKNUM WARGA PERCAYA TEORI KONSPIRASI
Meski sudah banyak memakan korban jiwa, mirisnya, hingga saat ini masih banyak orang yang lebih percaya teori konspirasi bahwa virus corona tidak benar adanya. Teori-teori semacam ini banyak tersebar di media sosial hingga membuat masyarakat acuh dengan protokol kesehatan.
Tim-E Satgas Covid-19 Samarinda ternyata juga pernah bersinggungan secara tidak langsung dengan oknum-oknum tersebut. Jika lewat media sosial biasanya dalam bentuk komentar dalam postingan akun BPBD Samarinda.
"Kalau bully itu sudah sering kami terima, utamanya melalui media sosial," ujar Hanafiah.
Ujaran tidak menyenangkan juga pernah ia dengar bersama anggota lainnya saat membawa jenazah pasien Covid-19.
"Pernah dalam satu kesempatan saat kami lewat permukiman warga bawa jenazah, ada oknum warga yang teriak nyeletuk bahwa virus corona tidak ada, tapi kami diamkan saja. Biasanya paling saya hanya membaca istigfar dalam hati," ungkapnya.
Meski sakit hati, dirinya pun mencoba memahami latar belakang sikap yang ditunjukkan para oknum masyarakat itu.
"Mungkin hal itu bisa terjadi karena stres dampak ekonomi yang diakibatkan pandemi. Selain itu, mungkin karena mereka belum pernah mengalami langsung dampak yang diakibatkan virus ini. Dan juga termakan teori-teori konspirasi yang beredar di media sosial," tuturnya.
Meski begitu, dirinya pribadi mengaku bangga bisa bergabung dalam tim-E, sehingga bisa membantu warga Samarinda yang sedang kesusahan.
"Tugas ini kalau bukan kami yang melaksanakan, siapa lagi orang yang bisa mau mengerjakan. Karena saya sejujurnya dibayar berapa pun untuk melakukan tugas ini, tidak ada harganya bagi kami, karena pengorbanan kami kepada keluarga itu yang tidak bisa dinilai dengan uang," ujarnya.
Dia pun berpesan kepada oknum warga yang masih teguh dengan pendiriannya dengan tidak percaya adanya Covid-19, agar tidak egois memikirkan diri sendiri. Karena dengan tidak mengenakan masker dan menjalankan protokol kesehatan, orang tersebut dapat membawa virus dan menularkan kepada orang lain, termasuk keluarganya di rumah. Oleh karena itu, penting bagi seluruh masyarakat bekerja sama untuk menang melawan virus ini.
Penulis: Yoghy Irfan
Editor: Awan