Kutai Timur

Black Campaign Ijazah palsu Mahyunadi Pilbub Kutim 

Beredarnya Isu Ijazah Palsu Mahyunadi Menjurus Black Campaign



Pengamat Politik dari Universitas Mulawarman Samarinda Lutfi Wahyudi. (Istimewa)
Pengamat Politik dari Universitas Mulawarman Samarinda Lutfi Wahyudi. (Istimewa)

SELASAR.CO, Sangatta – Beredarnya isu penggunaan ijazah palsu oleh Mahyunadi sebagai syarat pendaftaran bakal calon bupati Kutai Timur (Kutim) belakangan ini, dianggap sebagai bagian dari black campaign. Sebabnya, isu tersebut mendadak diembuskan di tengah proses pembukaan pendaftaran di Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Di sisi lain, Mahyunadi sendiri bukan orang baru di kancah politik Kutim dan Kaltim. Sejak 2004 lalu, dia telah terjun ke dunia politik dengan terpilih menjadi anggota DPRD Kutim dan berlanjut pada 2008 dan 2014. Dia terpilih secara berturut-turut dalam 3 kali pemilihan legislatif.

Kemudian, terbaru, Mahyunadi terpilih sebagai anggota DPRD Kaltim pada pemilihan legislatif tahun 2019. Dalam rentan waktu itu, tidak ada persoalan dengan ijazah Mahyunadi. Sehingga, wajar jika kemudian muncul isu ijazah palsu yang digunakan Mahyunadi dianggap bagian dari black campaign di masa Pilkada Kutim.

“Hal yang tidak wajar dan tidak selayaknya dilakukan,” kata Pengamat Politik dari Universitas Mulawarman Samarinda, Lutfi Wahyudi.

Dia mengingatkan, isu seperti itu hal yang kerap dilakukan oleh oknum-oknum tertentu di masa Pilkada seperti saat ini. Hal demikian biasa dimunculkan, meski belum tentu benar adanya, sebagai bagian dari strategi politik.

“Saya menilai tidak wajar, dari sisi etika dan moralitas. Tetapi sesuatu yang lumrah dilakukan, walaupun belum tentu benar,” katanya.

Seperti isu ijazah palsu Mahyunadi, menurut Lufti, bisa dikatakan sebagai bagian dari black campaign bila itu tidak benar adanya. Tetapi jika itu bertujuan mengeksplorasi dan mengeksploitasi kelemahan lawan, maka itu termasuk dalam negative campaign atau mencari-cari kelemahan lawan.

“Dikatakan black campaign, mana kala itu fitnah. Sesuatu yang tidak ada, kemudian diada-adakan. Dan black campaign itu cenderung fitnah. Sesuatu itu tidak benar adanya, tetapi diada-adakan,” tuturnya.

Lutfi sendiri tidak ingin mengomentari lebih jauh soal keabsahan atau tidaknya ijazah yang digunakan Mahyunadi. Menurutnya, itu menjadi ranah Dinas Pendidikan atau kepolisian. Namun yang pasti, apabila ijazah yang digunakan Mahyunadi adalah asli, maka isu yang dihembuskan saat ini adalah bagian dari black campaign.

“Dalam persaingan politik, politik cenderung menganut politik Harold Lasswell, who gets what, when and how. Siapa memperoleh apa, kapan dan bagaimana. Bagaimananya itu, kemudian ditafsir oleh sebagian orang bisa menggunakan segala cara, salah satunya black campaign,” jelasnya.

Hal terpenting yang harus dicatat menurut Lufti, seperti halnya isu ijazah palsu yang dilakukan bakal calon bupati Kutim Mahyunadi, bisa jadi adalah langkah yang diambil pasangan calon (paslon) tertentu karena merasa mulai kehabisan isu positif untuk diangkat.

“Dalam proses pertarungan, seluruh sumber daya akan dikerahkan. Nah, ketika sumber daya yang positif sudah mulai habis, maka kemungkinan memunculkan yang negatif, bahkan sumber daya yang nol atau tidak ada (itu bisa dilakukan). Dan ini biasa dilakukan, namun tidak wajar,” paparnya.

Namun demikian, Lutfi meyakini, bahwa isu-isu black campaign atau negative campaign di masa-masa pilkada sudah menjadi konsumsi biasa. Masyarakat saat ini menurutnya sudah jauh lebih melek politik dan banyak memahami isu-isu black campaign.

“Sebagian masyarakat sudah terbiasa dengan isu-isu seperti itu dan mulai memahami, kalau cara yang demikian biasa dilakukan menjelang kompetisi politik,” sebutnya.

Terakhir, Lufti mengingatkan, kalau persaingan di level pilkada ini sangat kompetitif. Karena pesertanya terbatas. Pemilahan masyarakat lebih kelihatan. Sehingga isu-isu black campaign biasanya dimunculkan untuk menjegal lawan.

“Cara-cara seperti itu sebenarnya sudah tidak terlalu efektif (jika ingin menjegal lawan). Masyarakat sudah bisa berpikir secara cerdas. Masyarakat mulai meningkat kecerdasan politiknya,” tandasnya. (*)

Penulis: Gunawan
Editor: Awan

Berita Lainnya