Kutai Timur
Kejaksaan Negeri Kutim Kejari Kutim  Korupsi Solar Cell Program Solar Cell DPMPTSP Kutim Program Solar Cell DPMPTSP Kutim 
Terkait Korupsi PLTS, Penyidik Kejaksaan Temukan Lebih dari 10 CV Fiktif
SELASAR.CO, Sangatta – Jaksa Penyidik Kejaksaan Negeri (Kejari) Kutai Timur (Kutim) kembali menemukan kejanggalan, usai memeriksa ratusan saksi dalam kasus tindak pidana korupsi dalam kegiatan pengadaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Solar Cell Home System di Dinas Penanaman Modal Perizinan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP).
Jika sebelumnya ditemukan fakta ada pengadaan solar cell yang anggarannya muncul karena ada ASN “superior” yang mampu menggunakan kedekatannya dengan pejabat teras Pemkab Kutim khususnya Tim Anggaran pemerintah Daerah (TAPD), kini muncul fakta lain. Bahwa dalam pengadaan solar cell tersebut, dari 110 CV yang jadi kontraktornya, ada lebih dari 10 CV, yang diduga fiktif atau menggunakan alamat palsu.
“Sepanjang pemeriksaan yang kami lakukan terhadap para kontraktor, kami telah menemukan sepuluh lebih CV selaku kontraktor, yang patut diduga fiktif. Fiktif, karena alamatnya tidak jelas,” jelas Kasi Intelijen Kejari Kutim, Yudo Adiananto, pada wartawan beberapa hari lalu di ruang kerjanya.
Karena pemeriksaan terhadap 110 kontraktor belum selesai, kemungkinan CV fiktif masih akan bertambah. Masih adanya kontraktor yang belum diperiksa, selain karena berhalangan, juga ada yang tidak kooperatif dan ada yang di luar kota.
Berita Terkait
Meskipun fiktif, namun Yudo mengatakan pemanggilan saksi, khususnya pemilik CV fiktif tersebut tetap akan dilakukan. Pertama, bisa minta bantuan RT. Kalau memang tidak ditemukan, dimasukkan sebagai daftar pencarian orang (DPO).
Yudo mengakui, kasus ini memang jadi temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun anggaran 2020. Hanya saja, temuan BPK, lebih kecil, yakni sekitar Rp30 miliar lebih dibanding dengan dugaan kerugian yang ditemukan penyidik. Sebab dari data yang dihimpun selama pemeriksaan saksi ditemukan indikasi kerugian negara sekitar Rp60 miliar dari anggaran Rp90,7 miliar.
“Indikasinya, temuan BPK lebih kecil karena pemeriksaan dilakukan secara sampling atau tidak menyeluruh. Sementara yang dilakukan penyidik itu secara menyeluruh. Makanya kerugian lebih banyak,” jelas Yudo.
Namun, untuk memastikan kerugian sebenarnya, pihaknya akan melakukan ekspose kasus itu di BPK. Meskipun telah melakukan koordinasi secara virtual, tapi setelah PPKM, akan dilakukan ekspose lagi.
Penulis: Bonar
Editor: Awan