Ragam

SKK Migas Kalsul   Penghasil Minyak dan Gas  Praktisi Migas Nasional 

Setelah Jatim dan Riau, Kaltim Jadi Penghasil Migas Terbesar ke-3 di Indonesia



Praktisi Migas Nasional, Rudi Rubiandini.
Praktisi Migas Nasional, Rudi Rubiandini.

SELASAR.CO, Samarinda - Provinsi Kalimantan Timur saat ini masuk dalam 3 besar penghasil minyak dan gas (migas) terbesar di Indonesia. Hal ini diungkapkan oleh praktisi migas nasional, Rudi Rubiandini, saat melakukan presentasi dalam agenda temu media yang digelar SKK Migas Kalsul (Kalimantan Sulawesi) dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) di Hotel Aston Samarinda, Rabu (13/10/2021).

Dalam kesempatan itu, Rudi menyebutkan, untuk minyak bumi, Kaltim berkontribusi sebesar 19 persen dari total produksi nasional. Sementara untuk produksi gas bumi, Kaltim berkontribusi 21 persen dari total produksi nasional. Meski begitu, Kaltim masih kalah dengan dua daerah lainnya yaitu Jawa Timur (Jatim) dan Riau.

Jatim merupakan penyumbang terbesar produksi migas nasional. Provinsi yang berbatasan langsung dengan pulau Bali ini diketahui memiliki kemampuan produksi sebesar 32 persen minyak dan 10 persen gas bumi dari total produksi nasional. Sedangkan nomor dua yaitu provinsi Riau yang mampu memproduksi 29 persen minyak bumi dan 8 persen gas bumi dari total produksi nasional.

“Jadi di Jatim itu sama seperti Sangasanga asalnya (kedalaman pengeboran) cuma 300 meteran, dan sudah bekas Belanda. Tapi ada investor datang untuk eksplorasi terus ngebor hingga 2.000 meter dan dapat sumber yang gede,” ujar Rudi.

Dirinya menyebutkan, sebenarnya Kaltim masih memiliki potensi besar dalam produksi minyak dan gas bumi. Namun, memerlukan investasi besar untuk proses eksplorasi.

“Pertanyaannya sekarang, adakah yang berani datang ke daerah Sangasanga yang pompa angguknya sudah 100 tahun dan berani investasi untuk eksplorasi. Bukan hanya ke samping tapi juga ke bawah, dan jika ditemukan sumber lebih besar tentu bisa saja Kaltim lebih besar dari Blok Cepu (Jatim). Walaupun ada kemungkinan juga tidak ditemukan,” jabarnya.

Selain persoalan biaya eksplorasi yang mahal, ketidakpastian hukum/aturan yang ada juga menjadi pertimbangan bagi investor untuk melakukan eksplorasi di suatu wilayah. Oleh karena itu menurutnya penting dalam menjaga kondusivitas tidak hanya dari segi sosial namun juga pada aturan.

“Kalau sekarang setiap lahan yang dipakai industri migas harus dipajaki PBB. Lalu persoalan aksesibilitas harus bayar pajak jalan, dulu itu tidak ada. Dan itu bagi pengusaha adalah ketidakpastian, karena banyak investor yang sudah melakukan penghitungan biaya dengan peraturan yang ada sekarang. Tapi di tengah jalan tiba-tiba ada perubahan aturan baik dari pusat atau daerah, itu kan membuat tambahan nilai ekonomis,” pungkasnya.

Penulis: Yoghy Irfan
Editor: Awan

Berita Lainnya