Utama

Koalisi Masyarakat Sipil Kaltim  UU ITE Revisi UU ITE  Undang-undang ITE 

Revisi Tertutup, Koalisi Masyarakat Sipil Kaltim Minta Pengesahan UU ITE Dihentikan



Ilustrasi.
Ilustrasi.

SELASAR.CO, Samarinda - Sejumlah organisasi masyarakat sipil di Kalimantan Timur (Kaltim) menolak revisi kedua Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang sedang dibahas oleh DPR RI. Mereka menilai revisi tersebut tidak transparan, tidak partisipatif, dan tidak menyeluruh.

Dalam siaran pers yang diterima redaksi Selasar, Kamis (13/7/2023), Koalisi Masyarakat Sipil Kaltim Tolak Pengesahan Revisi UU ITE menyebutkan bahwa UU ITE telah menjadi alat kriminalisasi terhadap masyarakat yang menggunakan media sosial untuk menyampaikan pendapat atau kritik.

"Sejak disahkan pada 2008 hingga kini jelang revisi kedua, UU ITE telah memakan banyak korban akibat muatan pasal bermasalah di dalamnya yang bisa menjerat siapa saja. Meminjam data dari Safenet, pada 2020 tercatat ada 84 kasus pemidanaan terhadap warga net, dan 64 di antaranya menggunakan UU ITE," ujar Perwakilan dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Samarinda, Rasid Ripamole.

Ia menambahkan, lembaga terpisah seperti Amnesty International Indonesia juga memberikan catatan sejak 2019-2022, setidaknya ada 332 orang dituduh melanggar pasal-pasal bermasalah yang multitafsir dalam UU ITE. Korban tidak hanya berasal dari kalangan aktivis dan pejabat publik, tetapi juga warga biasa.

"Korban tidak hanya berasal dari kalangan aktivis dan pejabat publik, tetapi juga warga biasa. Bahkan, dari total 332 korban itu, mayoritas adalah warga biasa. Ironisnya lagi, dari data kasus 2008-2020 yang dikumpulkan Southeast Asia Freedom of Expression Network/SAFEnet 70 persen dari pelapor adalah pejabat publik," tuturnya.

Menurut Rasid, revisi UU ITE begitu diperlukan agar ruang bebas berekspresi atau memberikan pendapat tidak terkekang. Sejauh ini sejumlah pasal yang mendapat sorotan adalah, Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 28 ayat (2) tentang pencemaran nama dan hasutan kebencian, serta Pasal 45 dan Pasal 45A tentang pemidanaan.

"Tak hanya itu, keberadaan pasal baru yang diusulkan, yakni Pasal 28A tentang keonaran juga dinilai berpotensi menjadi instrumen pembungkaman masyarakat sipil. Karena itu, pembahasan perubahan regulasi terkait informasi dan transaksi elektronik ini harus bisa menjadi momentum untuk melakukan revisi menyeluruh UU ITE," tegasnya.

Rizky mengkritik proses revisi UU ITE yang dilakukan oleh Panitia Kerja (Panja) Komisi 1 DPR RI bersama Pemerintah. Ia mengatakan bahwa proses tersebut tidak melibatkan publik secara bermakna dan bahkan dipercepat tanpa mempertimbangkan masukan dari berbagai pihak.

"Sayangnya, dalam proses revisi publik tak dilibatkan alias tidak transparan. Berdasarkan catatan Indonesian Parliamentary Center (IPC) hingga 7 Juli 2023 yang dihimpun dari pemberitaan media dan risalah rapat, setidaknya Panja Komisi 1 telah menggelar 12 rapat terkait revisi kedua UU ITE. Dari jumlah tersebut ternyata hanya 5 rapat yang diumumkan secara resmi di website DPR. Itu pun hanya mencantumkan siapa saja yang hadir tanpa menyertakan isi pembahasan," ungkapnya.

Ia menambahkan, Komisi 1 hanya menggelar dua kali Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama perwakilan masyarakat sipil. RDPU tersebut tanpa penjelasan lebih lanjut, sejauh mana masukan masyarakat sipil diakomodasi dalam revisi kedua UU ITE.

"Tertutupnya pembahasan revisi kedua UU ITE menyalahi prinsip negara demokrasi yang seharusnya membuka partisipasi bermakna bagi publik, sebuah prinsip dimana seharusnya masyarakat memiliki hak untuk didengarkan, hak untuk mendapatkan informasi, hak untuk dipertimbangkan masukkannya, hak untuk mendapatkan penjelasan, serta hak untuk mengajukan komplain," katanya.

Oleh karena itu, koalisi ini menuntut agar DPR RI menghentikan pengesahan revisi UU ITE yang saat ini sedang berlangsung. Mereka juga menuntut agar pasal-pasal bermasalah dihapus dari UU ITE dan proses revisi melibatkan masyarakat sipil secara komprehensif.

"Kami dari Koalisi Masyarakat Sipil Kaltim Tolak Pengesahan Revisi UU ITE menuntut: 1. Hentikan pengesahan revisi UU ITE yang saat ini sedang berlangsung di DPR RI. Sebab dalam prosesnya, masyarakat tak dilibatkan hingga tuntas. 2. Cabut atau hapus pasal-pasal bermasalah dari UU ITE seperti, Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 28 ayat (2), serta Pasal 45 dan Pasal 45A yang rentan mengkriminalkan banyak orang, mencederai alam demokrasi dan kelompok rentan. 3. Proses revisi UU ITE kedua di DPR RI harus melibatkan masyarakat sipil. Dengan demikian ada ruang pembahasan yang bermakna dan partisipatif," pungkasnya.

Penulis: Yoghy Irfan
Editor: Awan

Berita Lainnya