Feature

Ironi Stadion Palaran 

Ironi Stadion Palaran: Rp 800 Miliar yang Hanya Jadi Kubangan Kerbau



Kondisi tribun penonton Stadion Utama Palaran
Kondisi tribun penonton Stadion Utama Palaran

Pada suatu gerimis, 5 Juli 2008. Hamparan rumput Zoysia Matrella – standard bagi stadion bertaraf internasional, dan sekitar 67.000 single seat di tribune menjadi saksi. Alfons T Lung, atlet taekwondo berprestasi asal Kalimantan Timur, berlari menggenggam obor, lalu menyulut api di cauldron. Ritual itu menjadi penanda pesta telah dibuka. Riuh rendah puluhan ribu manusia pun menegakkan bulu kuduk.

YOGHI IRFAN, SELASAR.CO

Saya turut menyaksikan megahnya Stadion Palaran, Samarinda, kala itu. Tepatnya, pada pembukaan Pekan Olahraga Nasional (PON) XVII, yang diampu langsung oleh Presiden RI Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Tahun demi tahun berlalu. Hingga hari ini, lebih dari satu dasawarsa setelah gebyar sesaat tersebut, kemegahan bersalin rupa menjadi ironi. Stadion yang dibangun dengan dana Rp 800 miliar itu tampak menua dan menunggu mati.

Hampir seluruh pintu lorong di stadion berisi ruang ganti pemain, dalam keadaan terkunci. Namun, terlihat jelas dari pintu berbahan kaca itu, debu tebal menutupi permukaan lantai, lantaran bertahun-tahun tak dipakai. Toilet di lantai dasar kondisinya sama. Jaring laba-laba memenuhi sudut ruang buang hajat itu. Pun diperparah dengan kondisi gelap akibat lampu yang tak lagi berfungsi.

Untuk masuk ke tribune, saya harus naik ke lantai tiga bangunan. Dari sana terlihat jelas sisa-sisa kemegahan Stadion Palaran. Cauldron penampung obor abadi perhelatan PON XVII duduk termangu, tampak kesepian. Hamparan rumput lapangan utama sudah tak seirama. Warna hijaunya menjadi minoritas, tergerus dominasi tanah.

Kemalangan tak berhenti di situ. Tanah di sekitar lapangan utama juga mengalami penurunan. Hal itu dapat dilihat dari retaknya beton yang dibangun untuk memisahkan antara tribune dengan lapangan sepak bola.

Puluhan ribu single seat di tribune pun muram, tak secerah dulu. Banyak dari mereka diduduki rumput-rumput dan tanaman liar, juga lumut yang mengering. Lantainya tak sedikit yang retak. Sampah berbagai jenis ada di sana. Mulai plastik bekas minuman kemasan, hingga bungkus mi instan.

Stadion Palaran sama sekali tidak menarik lagi sebagai fasilitas olahraga. Wajar jika warga Samarinda lebih memilih beraktivitas sore hari di kawasan Stadion Madya Sempaja maupun Stadion Segiri. Menjadi masuk akal pula, bila Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) tak melirik stadion ini untuk perhelatan akbar Piala Dunia U-20, 2021 kelak.

Seperti diketahui, menyisihkan dua pesaingnya, Peru dan Brasil, Indonesia dipastikan akan menjadi tuan rumah penyelenggaraan Piala Dunia U-20 pada 2021 oleh Federasi Sepak Bola Internasional (FIFA). PSSI juga telah mengajukan 10 stadion kepada FIFA, untuk kemudian dipilih enam terbaik.

Kesepuluh stadion yang disebut PSSI adalah Stadion Utama Gelora Bung Karno Jakarta, Stadion Pakansari Kabupaten Bogor, Stadion Manahan Solo, Stadion Mandala Krida Yogyakarta, Stadion Kapten I Wayan Dipta Gianyar. Berikutnya, Stadion Patriot Candrabhaga Bekasi, Stadion Wibawa Mukti Kabupaten Bekasi, Stadion Si Jalak Harupat Kabupaten Bandung, Stadion Gelora Bung Tomo Surabaya, dan Stadion Gelora Sriwijaya Palembang.

Dari daftar tersebut, tidak ada satu pun stadion asal Kalimantan Timur, khususnya Samarinda. Padahal, kota ini memiliki stadion berstandard internasional, yaitu Stadion Utama Palaran. Pada masa lalu.


Lapangan Sepak Bola Stadion Utama Palaran


KUBANGAN KERBAU BERBIAYA MAHAL

Saat ditanya terkait banyaknya fasilitas stadion yang rusak, Husein Sadly, Kepala UPTD Pengelola Prasarana Olahraga Dispora Kaltim mengatakan, keterbatasan anggaran perawatan hingga saat ini masih menjadi kendala utama. Anggaran sebesar Rp 1,5 miliar ia sebut kurang, karena harus dibagi untuk kebutuhan perawatan Stadion Madya Sempaja.

“Kita telah semaksimal mungkin memelihara stadion, namun dengan anggaran yang ada, kita masih lakukan apa adanya. Jika ditanya kurang, pasti kurang. Jadi semoga ke depan diberikan anggaran lebih,” harapnya.

Kendala lain yang mereka hadapi adalah banyaknya item yang harus dirawat, ditambah luasnya kompleks stadion yang mencapai 88 hektare. Hal itu dianggap menyulitkan, karena selama ini Stadion Palaran telah jarang digunakan untuk perhelatan berskala nasional.

“Karena yang dipelihara ini bukan bangunan saja, rumput lapangan kita pelihara. Bayangkan bangunan stadion ini, ada toiletnya, ada lampu yang jumlahnya ribuan. Keramik juga semakin hari makin rusak, jadi ratusan (item) yang kami pelihara di sini,” paparnya.

Ditemui di tempat yang sama, Hasbar, Kepala Seksi Stadion Utama mengungkapkan, stadion yang diresmikan Presiden SBY ini, terakhir mendapatkan perbaikan pada 2008, saat perhelatan Piala Gubernur. Anggarannya dari dana taktis Dinas Pekerjaan Umum (PU) Kaltim.

“Persoalannya itu anggaran. Ada pihak ketiga yang menghitung kebutuhan biaya untuk perawatan stadion sebesar Rp 160 miliar. Itu sudah termasuk rehabilitasi sedang dan berat, perbaikan pagar, dan kelengkapan fasilitas olahraga lainnya,” jelas Hasbar.

Pihaknya pun saat ini telah mengusulkan kepada Dinas PU, untuk mengaudit bangunan stadion. Hal ini akan menjadi dasar dari pengajuan anggaran perawatan seluruh venue yang ada.

Dimintai tanggapannya mengenai hal ini, Yunus Nusi, Ketua PSSI Kaltim mengatakan, Stadion Utama Palaran sebenarnya layak untuk diajukan dalam perhelatan sekelas Piala Dunia, jika dilihat dari segi kapasitas yang mampu menampung 67.075 penonton. Namun, banyaknya kerusakan, membuatnya tertinggal dari stadion-stadion lain di Indonesia yang dikelola dengan baik.

“Layak kalau dilihat dari kapasitas penonton. Posisinya juga dari bandara hanya 30 menit, kalau jalan tol (Balikpapan-Samarinda) sudah selesai. Tapi kalau kita lihat, kondisinya sekarang (rusak) begitu. Kenapa rusak? Karena tidak diberi kepercayaan kepada ahlinya. Yang ahli mengurus sepak bola siapa? Masa yang ngurus sarjana agama, kan repot jadinya,” sungut Yunus.

Exco PSSI ini pun menuturkan, Pemprov Riau bersama anggota dewannya saat ini telah menghadap Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora). Mereka meminta Riau ditunjuk menjadi salah satu tuan rumah karena stadion yang representatif. Usulan itu pun telah disetujui oleh pihak Kementerian, dan akan segera ditinjau kondisinya oleh pemerintah pusat.

“Kaltim apa yang diandalkan kalau mau dibawa ke Kementerian? Sedangkan Stadion Palaran seperti kubangan kerbau begitu,” ketus Yunus.


Dia menambahkan, anggaran perawatan stadion sepak bola yang jumlahnya lebih dari satu miliar itu sebenarnya cukup jika dikelola dengan benar. “Terus itu disewakan. Sekali main Rp 2,5 juta. Silakan disewakan. Tapi begini, itu ada ahlinya, kalau tiap hari dipakai, kita ibaratkan sama dengan manusia, dia susah bernapas, rumputnya pasti rusak. Palaran dan Sempaja itu tiap hari dipakai, enggak ada istirahatnya,” imbuh Yunus.

Oleh karena itu, dia pun berpesan, ke depannya setiap pengelolaan stadion, harus diserahkan kepada tangan-tangan profesional.

Penulis: Yoghy Irfan
Editor: Awan

Berita Lainnya