Ragam

Wacana Larangan Aparatur Bercadar 

Wacana Larangan Aparatur Bercadar, Ini Pandangan NU dan Muhammadiyah Kaltim



PNS becadar di Aceh
PNS becadar di Aceh

SELASAR.CO, Samarinda – Usulan Menteri Agama Fachrul Razi terkait larangan pemakaian cadar dan celana cingkrang bagi aparatur negara, baik sipil maupun militer, menuai polemik. Menurut Menag yang pernah menjabat Dandim 0901/Samarinda pada 1987-1988, wacana tersebut merupakan upaya untuk menangkal radikalisme dalam beragama.


Tak ayal, usulan tersebut mendapat respons pro dan kontra dari banyak pihak. Termasuk dari organisasi keislaman yang ada di Bumi Etam, Kalimantan Timur.


Ketua Pengurus Wilayah Muhammadiyah Kaltim, H Suyatman tidak setuju jika cadar dan celana cingkrang diidentikkan dengan radikalisme. Dia menilai wajar jika wacana tersebut menimbulkan pro-kontra. Seharusnya, sebelum melontarkan wacana, Menteri Agama meminta pendapat terlebih dahulu dari ulama-ulama yang berkompeten terkait masalah ini.


“Semestinya dimusyawarahkan dulu. Ketemu dengan tokoh-tokoh Islam dari berbagai ormas, seperti NU, Muhammadiyah, Persis dan lainnya. Kan ada Majelis Ulama juga, coba minta pertimbangan dari MUI,” kata Suyatman kepada Selasar, Rabu (6/11/2019).


Mengenai penggunaan cadar, Suyatman menuturkan, Muhammadiyah melalui Majelis Tarjih dan Tajdid pernah mengurai masalah itu pada tahun 2009. Pada intinya, tidak ada dasar hukum di Alquran atau Hadis soal penggunaan cadar.


“Pendapat ulama kita netral, tidak menyuruh maupun melarang penggunaan cadar dan celana cingkrang,” tegas Suyatman.


Senada dengan Muhammadiyah, NU Kaltim juga tidak setuju jika penggunaan cadar dan celana cingkrang diidentikkan dengan radikalisme. Sekalipun dalam banyak kasus terorisme di Indonesia, para pelaku berpakaian seperti itu.


Namun, mengenai wacana pelarangan penggunaan cadar dan celana cingkrang di lingkungan pemerintahan, NU Kaltim menilai sah-sah saja jika pemerintah ingin menerapkan. Dan menjadi kewajiban bagi para abdi negara untuk mematuhinya.


“Kalau mencari dalilnya, pesan nabi taatlah pada pemimpinmu walaupun itu bekas budak, bahasanya begitu,” ungkap Wakil Rais Syuriah PW NU Kaltim, KH Muhammad Rasyid.

KH Muhammad Rasyid, Wakil Rais Syuriah PW NU Kaltim


Mengenai cara berpakaian, NU Kaltim menilai ada dua aturan hukum di dalamnya, yakni sunnah syar’i dan sunnah urfi. Rasyid menjelaskan, sunnah syar’i merupakan aturan mutlak yang tidak dapat diganggu gugat oleh pemeluk agama Islam. Sedangkan untuk sunnah urfi merupakan aturan yang dibuat oleh masyarakat tertentu dan menjadi budaya.


Lantas, aturan syariat yang tidak dapat diganggu gugat dalam perkara berpakaian adalah pakaian yang dikenakan harus menutup seluruh bagian yang menjadi aurat. Aurat merupakan bagian tubuh yang tidak boleh diperlihatkan dalam hukum Islam.


Untuk laki-laki auratnya adalah dari lutut sampai pusar, sedangkan untuk perempuan adalah seluruh bagian tubuh kecuali wajah dan telapak tangan. “Artinya (wajah) boleh dibuka bahkan dalam ibadah haji haram ditutup, yang menentukan itu kan nabi,” imbuh Rasyid.


Penggunaan cadar bagi wanita, menurut Rasyid adalah sunnah urfi yang berdasarkan kenyamanan. Dia menilai cadar adalah pakaian orang Arab, sehingga bukan kewajiban yang harus diikuti oleh umat Islam.


“Cadar itu pakaian Arab, tapi kalau dipakai ya boleh, tidak dipakai tidak merusak keislaman,” tegas Rasyid.


Dia juga menambahkan, menjadi aparatur negara pastinya akan berinteraksi dengan banyak orang. Bagaimana bisa terjalin komunikasi yang baik, jika tidak diketahui siapa yang menjadi lawan bicaranya di instansi pemerintahan itu.


“Jadi saya rasa bisa menerima kebijakan ini, karena saya menganggap tidak akan berdosa orang yang melepas (cadar),” pungkas Rasyid.

 

 

Penulis: Fathur
Editor: Awan

Berita Lainnya