Nasional

Lockdown Lockdown Indonesia Virus Corona COVID-19 presiden jokowi 

Pak Jokowi, Duit Bisa Dicari, Jangan Takut Lockdown!



Ilustrasi
Ilustrasi

SELASAR.CO, Jakarta – DKI Jakarta masih menjadi provinsi tertinggi jumlah pasien positif terinfeksi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19). Data yang disampaikan Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19, Achmad Yurianto hari ini (30/3/2020), menyebutkan pasien positif corona di ibu kota sudah 698 orang. Total kasus positif di Indonesia 1.414.

Akses keluar masuk DKI Jakarta ke daerah lain, dan sebaliknya, belum ditutup sehingga mengakibatkan persebaran Covid-19 makin meluas. Banyak pasien dari daerah-daerah lain di Indonesia pun, diketahui memiliki riwayat perjalanan ke Jakarta. Hal ini menyebabkan seruan lockdown bermunculan.

Herdiansyah Hamzah pengamat hukum dari Universitas Mulawarman menjelaskan, dalam ketentuan peraturan perundang-undangan, tidak dikenal istilah "lockdown". Namun, maksud dan tujuan lockdown dapat dipadankan dengan istilah karantina kesehatan, sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarintanaan Kesehatan.

Dalam Pasal 1 angka 1 UU tersebut, dijelaskan, "Karantina kesehatan adalah upaya mencegah dan menangkal keluar atau masuknya penyakit dan/atau faktor risiko kesehatan masyarakat yang berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat."

Namun, penetapan status darurat kesehatan masyarakat ini, adalah kewenangan pemerintah pusat. Sebenarnya, saat ini karantina kesehatan sudah dilakukan dengan skala terbatas, semisal dengan penerapan belajar dan bekerja di rumah. Mengingat kondisi wilayah yang tingkat penyebaran Covid-19 yang cukup massif dan meluas seperti Jakarta, pemerintah pusat sebenarnya sudah harus mempertimbangkan opsi karantina kesehatan tersebut.

"Mengingat tingkat penyebaran Covid-19 yang masif dan meluas, Jakarta sudah memenuhi syarat untuk penerapan karantina wilayah, bahkan jauh hari sebelumnya. Apalagi Jakarta menjadi pintu keluar masuk ribuan manusia setiap hari," terangnya.

Tetapi, tentu saja karantina kesehatan juga harus dibarengi kebijakan lainnya, terutama aspek ekonomi menyangkut lalu lintas ketersediaan pangan masyarakat. Ini belum termasuk aspek keamanan, sosial, dan budaya.

Anggota Komisi V dari Fraksi Partai Demokrat (PD) Irwan turut mendorong Presiden Jokowi untuk segera menerapkan kebijakan karantina wilayah alih-alih menerapkan darurat sipil. Diketahui, Presiden Jokowi menyatakan saat ini pembatasan sosial skala besar (PSSB) terkait wabah virus corona perlu diterapkan. Maka, kebijakan darurat sipil perlu dijalankan.

“Yang dibutuhkan rakyat adalah UU Kekarantinaan Kesehatan dengan status Darurat Kesehatan Masyarakat, kemudian diikuti putusan Karantina Wilayah dari pemerintah pusat,” tegas Irwan.

Status darurat sipil, kata dia, sebenarnya tidak akan pernah mengatasi masalah corona. Malah, status darurat sipil bisa dilihat sebagai upaya pemerintah membungkam dan menutupi kelemahan. Kewajiban minim, di sisi lain kekuasaan bertambah.

“Pemerintah tidak perlu takut untuk putuskan karantina wilayah, pada pembukaan sidang paripurna DPR RI hari ini, semua fraksi di DPR RI sepakat mendukung pemerintah dengan menyetujui realokasi APBN untuk penanganan Covid-19,” jelas Irwan.

Politisi muda dari Kalimantan Timur ini menilai, pemerintah melalui Gugus Tugas gagap dalam menangani virus corona di Indonesia. Indikatornya, pasien positif Covid-19 terus bertambah. Belum lagi persentase korban jiwa juga tinggi. Dia menganggap pemerintah sejak awal tidak fokus menghadapi wabah dari Wuhan, Tiongkok ini.

"Terlihat dari penetapan pemerintah terhadap corona ini menggunakan UU No 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Bukan UU No 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, dimana diatur tentang Karantina Wilayah atau lockdown," terangnya.

"Tentu rakyat wajar menduga dari awal pemerintah lebih memperhitungkan dampak ekonomi dibanding keselamatan warga. Jika menggunakan UU Kekarantinaan Kesehatan, maka selama dalam Karantina Wilayah, kebutuhan hidup dasar orang dan makanan hewan ternak yang berada di wilayah karantina menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat. Ini yang dihindari pemerintah," tambah Irwan.

Dia lantas menyinggung pasal 55 UU 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Wilayah, di mana aturan itu menyebutkan pemerintah pusat harus menjamin keutuhan hidup masyarakat. Menurut Irwan seharusnya pasal itu tak jadi hambatan.

"Karena pemerintah bisa melakukan realokasi anggaran. Seharusnya sejak awal di Januari-Februari karantina wilayah sudah bisa dilakukan. Daripada seperti sekarang ini korban terus berjatuhan dan penanganan dari pusat sampai daerah sangat buruk koordinasinya," imbuhnya.

Dia menambahkan, pemerintah juga harus terbuka untuk meminta bantuan dan kerja sama dari negara-negara yang sudah berhasil menangani pandemi corona, di antaranya Korsel dan Singapura. "Kebijakan demikian bisa membawa akibat baik pada psikologi publik karena mengetahui Indonesia tidak sendirian dalam menghadapi pandemi Covid-19 ini," kata Irwan.

DAMPAK LOCKDOWN

Jika kebijakan lockdown (karantina wilayah) diberlakukan, bagaimana dampaknya? Kepala Perwakilan Bank Indonesia (BI) Kaltim, Tutuk SH Cahyono, menjelaskan bahwa kondisi ekonomi ditentukan beberapa variabel, seperti konsumsi, investasi, pengeluaran pemerintah, ekspor dan impor.

“Yang jelas, kalau ada karantina wilayah, semua berdiam di rumah, artinya konsumsi menurun. Investasi juga tidak banyak gerak,” jelasnya. “Untuk pengeluaran pemerintah, mestinya digenjot untuk alkes, subsidi untuk kaum marginal (yang memiliki kemampuan ekonomi rendah),” tambah Tutuk.

Dalam cakupan yang lebih besar, kebijakan lockdown ini pun juga dapat mempengaruhi perekonomian provinsi Kaltim. Ekspor Kaltim saat ini sangat tergantung dunia luar. “Sampai saat ini didominasi batu bara. Tapi kalau kelamaan dunia seperti saat ini atau lebih buruk, bisa terpengaruh juga. Dari sisi lapangan usaha, yang paling kena PHR (perdagangan, hotel, dan restoran). Jadi dari sisi ekonomi, kalau ada karantina, konsumsi dan investasi yang paling kena duluan,” ujar Tutuk.

Meski begitu, dirinya menilai, tidak membutuhkan waktu lama bagi Kaltim untuk melakukan pemulihan ekonomi jika kebijakan lockdown benar-benar dilakukan.

“Kan infrastruktur dan kapasitas produksi dan lain-lain tidak terganggu. Seperti mobil yang mati, tinggal di-starter lagi. Yang perlu dicermati bagaimana kondisi globalnya, karena ekonomi Kaltim sangat tergantung kondisi di negara-negara tujuan ekspor. China Alhamdulillah mulai membaik, Korea oke. Yang lain masih berusaha dan belum tahu apakah masih terus memburuk,” terangnya.

Terpisah, Slamet Brotosiswoyo Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Kaltim, mengaku tak keberatan dengan kebijakan apapun yang diambil pemerintah. Termasuk lockdown.

“Tapi tidak semua orang memiliki kemampuan menyimpan dana. Lalu daya belinya bagaimana? Sekarang kita pikirkan pekerja harian lepas atau pengusaha UKM, itu kan hari ini menjual, hari ini ada untung, hari ini dipakai,” imbuhnya.

Slamet mengaku setuju saja dengan kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah dalam mencegah penularan virus corona. Karena dikhawatirkan, jika pemerintah tidak mengambil langkah tegas, bisa jadi makin berkepanjangan karena penyebarannya yang semakin luas.

Meski begitu, ia menyarankan sebelum kebijakan itu benar-benar diberlakukan, pemerintah harus dapat menjamin kebutuhan-kebutuhan dasar masyarakat pekerja harian lepas itu.

“Bisa dikatakan untuk Kaltim saja mungkin sekitar 60 persen adalah pekerja harian lepas, yang pekerja tetap paling seberapa saja. Yang bekerja di tambang juga tidak banyak, tetapi yang 60 persen ini yang harus dipikirkan terutama di daerah perkotaan,” jelasnya.

“Pemerintah seharusnya bekerja sama dengan RT dan Kelurahan mensubsidi apa yang disebut bantuan langsung itu. Kebutuhan pokok bagi yang memang betul-betul tidak mampu,” tutup Slamet.

Penulis: Yoghy Irfan
Editor: Awan

Berita Lainnya