Utama

PDP Negatif Covid-19 Rapid test 

Curahan Hati Orangtua PDP Negatif Corona yang Dijauhi Warga



Jalan Rukun, Samarinda Seberang
Jalan Rukun, Samarinda Seberang

SELASAR.CO, Samarinda - Pada 8 Mei 2020 lalu, Tim Surveilance Pusat Karantina Covid-19 Samarinda menyampaikan, ada anak berusia 8 tahun yang dinyatakan sebagai pasien dalam pengawasan (PDP) Covid-19 berdasarkan hasil rapid test. Pasien juga memiliki riwayat perjalanan dari Jawa Timur dan salah satu orangtuanya bekerja di Balikpapan.

Belakangan, hasil uji swab yang dilakukan kepada anak tersebut menunjukkan negatif Covid-19. Tim Surveilance Pusat Karantina Covid-19 Samarinda, dr Ery Wardhana mengatakan, memang tidak semua yang hasil rapid test-nya reaktif akan positif Covid-19.

Rapid test merupakan cara skrining awal untuk mengetahui seseorang terpapar virus atau tidak. Selama ini uji swab-lah yang digunakan sebagai dasar menentukan seseorang positif atau tidak.

“Orang yang hasil rapid testnya reaktif itu ada dua kemungkinan, bisa positif dan negatif. Jadi kepada yang rapidnya reaktif mau tidak mau harus social distancing, sampai memang ada bukti bahwa dia negatif. Baru bisa dia kembali semula ke masyarakat. Masyarakat tidak perlu takut dengan mereka yang hasil swabnya telah negatif. Jadi bisa beraktivitas seperti semula, tidak perlu mengucilkan,” ujarnya.

STIGMA NEGATIF DARI TETANGGA

Meski sudah dinyatakan dua kali negatif Covid-19 berdasarkan uji swab, tidak membuat kehidupan keluarga pasien ini kembali normal. SELASAR pun melakukan wawancara khusus dengan Lisna yang merupakan ibu dari PDP negatif Covid-19 tersebut. Media ini bertandang ke kediaman Lisna di kawasan Jalan Rukun, Samarinda Seberang, Jumat (29/5/2020) malam.

“Seperti saat ini anak saya sudah terbukti negatif setelah dua kali test swab, namun pandangan dari masyarakat terus berbeda kepada kami. Hal ini tentu sangat berdampak bagi kami, selain psikologi, dampak ekonomi juga saya rasakan karena memiliki usaha di rumah,” ujar Lisna.

Ia mengatakan, untuk masyarakat dengan latar belakang pendidikan yang baik, sebagian besar dapat memahami situasi yang ia alami. Namun, masyarakat lainnya yang kurang begitu paham dengan sistem yang dilaksanakan Dinas Kesehatan Kota (DKK) Samarinda, menganggap seluruh PDP yang reaktif saat rapid test adalah pasien virus corona. Tanpa melihat fakta bahwa anaknya sudah dinyatakan negatif Covid-19.

Dirinya pun menyampaikan kekecewaannya kepada pihak Rumah Sakit Pusat Karantina Covid-19 Samarinda, karena telah mengumumkan kepada publik terkait riwayat perjalanan dan lokasi pekerjaan orang tua pasien, meski belum terbukti positif Covid-19. Menurutnya, hal ini bisa digunakan masyarakat untuk menebak-nebak siapa pasien dimaksud.

“Meski yang diumumkan hanya riwayat perjalanan, beserta pekerjaan suami saya, itu bisa membuat warga sekitar sudah menghakimi anak saya. Kalau sudah begini seharusnya Dinas Kesehatan memberi pernyataan terbuka terkait PDP yang hasilnya negatif, agar orang-orang seperti kami bisa kembali bersih namanya,” pinta Lisna.

RS Karantina Bapelkes Samarinda

KRONOLOGI HINGGA DITETAPKAN SEBAGAI PDP

Lisna menuturkan, sebelum akhirnya sang anak dinyatakan sebagai PDP oleh DKK Samarinda, pada hari ke-14 bulan Ramadan, anaknya yang berumur 11 tahun dan 8 tahun diserang panas tinggi. Ia membawa kedua anaknya tersebut ke salah satu rumah sakit swasta di Samarinda untuk mendapatkan pengobatan.

Kedua buah hati Lisna saat itu harus dirawat inap di sana. Saat itu, dirinya berpikir sang anak terjangkit DBD (demam berdarah), melihat gejala yang ditunjukkan ialah demam dan penurunan trombosit.

Setelah menjalani tiga hari opname di rumah sakit, ia mendapat kabar dari DKK Samarinda, bahwa anaknya dicurigai terpapar virus Covid-19. Sehingga, dirinya beserta sang anak dan satu lagi yang anggota keluarganya mendapat informasi akan dipindahkan ke Bapelkes Kaltim. Dirinya pun tidak mengetahui bagaimana cara Dinkes Samarinda mendapatkan sampel darah anaknya untuk rapid test. Meski tidak yakin, ia menduga pihak rumah sakitlah yang memberikan sampel darah tanpa meminta langsung kepada dirinya.

“Saya dengar ada salah satu orang Dinkes minta ke rumah sakit untuk meminta sampel darah anak saya. Jadi mereka minta ke rumah sakit, bukan ke saya langsung. Saat itu dari hasil rapid test, saya dan anak saya (11 tahun) dan satu orang lainnya non-reaktif. Sementara anak saya yang 8 tahun dinyatakan reaktif,” jabarnya.

Pihak Dinkes pun memasukkan riwayat perjalanannya ke Jawa Timur, sebagai salah satu petimbangan penetapan sang anak sebagai PDP. Padahal Lisna mengaku perjalanan tersebut sudah dua bulan berlalu. Dirinya pun sudah melapor ke 112, dan melakukan karantina selama 14 hari di rumah.

“Kecurigaan mereka itu timbul karena saya punya riwayat perjalanan ke Jawa Timur dua bulan lalu, jadi mereka ambil patokan itu bahwa anak saya dicurigai Covid. Padahal sepulang dari sana, saya sudah lapor Dinas Kesehatan di 112, dan melakukan karantina 14 hari dan aman-aman saja,” paparnya.

Sesaat sebelum anaknya akan dipindah ke Rumah Sakit Bapelkes, Lisna sudah diyakinkan bahwa fasilitas kesehatan di tempat itu memadai untuk merawat anaknya. Namun, setibanya di Rumah Sakit Bapelkes, Lisna mengaku anak tidak menerima perawatan. "Infusnya juga tidak diurus, sementara anak saya drop dan badannya panas. Saya protes saat itu, sehingga mereka rujuk anak saya ke AWS dengan alasan mereka tidak bisa handle. Saya sempat di Bapelkes dari jam tiga siang sampai jam sembilan malam, dalam rentang waktu itu anak saya tidak menerima perawatan atau tindakan apapun," ungkapnya.

Setelah berjam-jam menunggu di Bapelkes, akhirnya sekitar pukul 10 malam, anaknya dipindahkan ke RSUD AWS. Setiba di sana, anaknya pun tidak bisa langsung masuk ke dalam ruang perawatan. Hal ini karena pihak RSUD AWS belum menerima surat rujukan pasien dari Dinas Kesehatan. Sehingga dirinya harus kembali menunggu surat rujukan itu dikirim.

"Jadi sempat tertahan dulu. Saya tiba sekitar pukul 10 malam di RSUD AWS, baru bisa masuk ruangan perawatan itu sekitar jam 12 tengah malam. Karena itu tadi menunggu surat konfirmasi dari pihak Dinas Kesehatan. Saya sudah panik sekali saat itu, bayangkan saja trombosit anak saya turun sampai 20. Hingga sempat keluar darah di hidung," ungkapnya.

Penulis: Yoghy Irfan
Editor: Awan

Berita Lainnya