Utama

Rapid-test Surat-edaran 

Rumah Sakit Ogah Turunkan Tarif Rapid Test, Surat Edaran Kemenkes Dianggap Tak Rasional



Ilustrasi Rapid test
Ilustrasi Rapid test

SELASAR.CO, Balikpapan – Kebijakan pusat menuai penolakan di daerah. Pemicunya adalah Surat Edaran (SE) Nomor HK. 02.02/I/2875/2020 dari Direktorat Jenderal (Dirjen) Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) tentang Batasan Tarif Tertinggi Pemeriksaan Rapid Test Antibodi. SE menginstruksikan kepada fasilitas kesehatan untuk mengikuti batasan tarif tertinggi Rp150 ribu per rapid test.

Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Kaltim menyambut dingin surat edaran itu. Ketua Persi Kaltim Edy Iskandar menyebut, SE yang ditandatangani pada 6 Juli lalu oleh Dirjen Pelayanan Kesehatan sangat tidak rasional. Harga alat rapid test Covid-19 dari distributor sudah berkisar Rp200.000-250.000 per sekali pemeriksaan.

"Belum lagi rumah sakit memiliki biaya operasional. Termasuk membiayai jasa analisis dan dokter. Sehingga muncul tarif rapid test di rumah sakit antara Rp 300 ribu ke atas," jelas Edy, Rabu (8/9/2020).

Pemerintah, khususnya Kemenkes dianggap tidak konsisten. Sejak awal tidak ada aturan soal berapa sebenarnya tarif yang bisa dibebankan kepada masyarakat yang akan menjalani rapid test secara mandiri. Begitu pula soal biaya rapid test yang bisa diperoleh rumah sakit. "Kalau dari awal ditentukan alat rapid test itu Rp 50 ribu misalnya. Nah, itu masuk akal, kalau tarifnya nanti di bawah Rp150 ribu," katanya.

Sejak munculnya SE itu, Edy menyebut semua rumah sakit mengeluh dan tidak berniat untuk mengikuti. Pun jika Pemerintah ingin mengatur tarif, maka sejak awal harus diatur soal harga jualnya. "Sejak awal kan mengikuti mekanisme pasar," katanya.

Berdasarkan mekanisme pasar, rumah sakit yang selama ini membeli alat rapid test dari swasta pun akhirnya menimbang. Jika SE yang menginstruksikan kepada fasilitas kesehatan untuk mengikuti batasan tarif tertinggi Rp150 ribu hanya sekedar imbauan. "SE ini tidak mengikat. Tidak pula ada sanksi jika rumah sakit melanggar. Karena sejak awal tidak dikendalikan pemerintah," sebutnya.

Kalau benar, ada alat rapid test yang lebih murah, Edy meminta kepada pemerintah untuk segera memberikan informasi, agar rumah sakit bisa mengikuti surat edaran tersebut. Namun, hingga kini, dirinya belum mendapatkan informasi apapun.

"Alat apa yang direkomendasikan? Yang dikeluarkan itu rapid test yang mana? Kalau ada yang murah, terjamin tidak kualitasnya?" kata Edy mempertanyakan dasar penetapan batasan tarif tertinggi.

Jika SE itu dipaksakan, maka pihak rumah sakit akan merugi. Apalagi udah rumah sakit swasta, yang disebutnya memiliki biaya operasional lebih tinggi dibandingkan rumah sakit pemerintah.

"Jadi SE ini tidak dikaji secara bijak. Menkes tidak mengatur sejak awal soal rapid test, tapi ujungnya mengatur soal tarif," ujarnya.


Direktur RSUD Kanujoso, Edy Iskandar

Selaku Direktur RSUD dr Kanujoso Djatiwibowo Balikpapan, Edy memastikan rumah sakit yang dipimpinnya tidak akan mengubah tarif. Baginya, selama pemerintah belum bisa menjamin harga rapid test berada di bawah batasan tarif tinggi. "Sama seperti BBM (bahan bakar premium) premium. Itu bisa diatur karena ada subsidi, ada kendali dari pemerintah. Ini 'kan tidak," ujarnya.

Sementara itu, Dinas Kesehatan Kota (DKK) Balikpapan Andi Sri Juliarty menjelaskan, sejak awal seluruh fasilitas kesehatan, baik rumah sakit maupun klinik yang memberikan pelayanan rapid test harus membuat surat pemberitahuan kepada pihaknya." Setelah itu tim kami akan mengecek," kata Dio, biasa ia disapa.

Tim akan memeriksa merek, jenis, dan kelayakan lain dalam pelaksanaan rapid test sesuai rekomendasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Kemenkes. Termasuk bukti pembelian alat rapid test. "Jadi, dari 30 fasilitas kesehatan yang mendapatkan rekomendasi, tidak ada satu pun yang membeli alat rapid test di bawah harga Rp150 ribu," ungkapnya.

Terkait beredarnya SE dari Dirjen Pelayanan Kesehatan, Dio menegaskan telah melakukan pengecekan langsung ke pihak distributor alat rapid test yang selama ini dijual di Balikpapan. Tidak ada informasi tersedia alat rapid test dengan harga yang banyak diisukan sebesar Rp30 ribu.

"Yang kami peroleh informasinya, bahwa Kemenkes tengah melakukan penelitian membuat rapid test buatan dalam negeri bernama RI-GHA yang akan dijual Rp 75 ribu. Namun, hingga kini belum beredar di pasaran," beber Dio.

Diketahui, pada 6 Juli lalu, melalui Dirjen Pelayanan Kesehatan Kemenkes mengeluarkan surat edaran mengatur batasan tarif tertinggi untuk pemeriksaan rapid test antibodi. Yang berlaku hanya kepada masyarakat yang melakukan pemeriksaan mandiri. Penetapan itu dilakukan karena harga pemeriksaan uji rapid test di lapangan bervariasi. Sebagian mematok harga yang mahal, sehingga memberatkan masyarakat.

"Harga yang bervariasi untuk melakukan pemeriksaan rapid test menimbulkan kebingungan di masyarakat. Maka Kemenkes telah menetapkan batasan tarif tertinggi pemeriksaan rapid test," kata Direktur Jenderal pelayanan Kesehatan dr Bambang Wibowo, dalam keterangan tertulis, Selasa (7/7/2020).

Kemenkes pun tidak mengirimkan surat edaran kepada seluruh kepala dinas kesehatan kabupaten, kota, dan provinsi, serta ketua organisasi bidang kesehatan di seluruh Indonesia mengenai batasan tarif tertinggi pemeriksaan rapid test. Dalam surat edaran tersebut, diinstruksikan kepada fasilitas pelayanan kesehatan yang melaksanakan pemeriksaan rapid test untuk membatasi tarif pemeriksaan maksimal Rp150 ribu. (rdh/rom/k15)

Berita ini telah terbit di harian Kaltim Post dengan judul: Terancam Merugi, RS Ogah Turunkan Tarif; Modal Rapid Test Rp 200 Ribu, Disuruh "Jual" Rp 150 Ribu

Penulis: Redaksi Selasar
Editor: Awan

Berita Lainnya