Utama

RUU Ciptaker buruh RUU Irwan 

Senada dengan Demokrat, Buruh di Kaltim Tolak RUU Cipta Kerja dan Minta DPR Sadar



Aksi penolakan RUU Cipta Kerja di Kaltim beberapa waktu lalu.
Aksi penolakan RUU Cipta Kerja di Kaltim beberapa waktu lalu.

SELASAR.CO, Samarinda - Rapat kerja Badan Legislasi (Baleg) DPR dengan pemerintah telah menyepakati Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja untuk disetujui menjadi Undang-Undang (UU) dalam Rapat Paripurna. Tujuh fraksi menyetujui yaitu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Golkar, Partai Gerindra, Partai Nasdem, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Amanat Nasional dan Partai Persatuan Pembangunan. Hanya dua fraksi menyatakan menolak RUU ini, yaitu Partai Demokrat dan PKS. 

Dikonfirmasi terkait keputusan ini, politisi Demokrat, Irwan, menilai pemerintah terlalu memaksakan kehendak. "Sikap pemerintah memaksakan lolosnya RUU Cipta Kerja ini sekaligus menasbihkan bahwa pemerintah telah mengabaikan akal sehat. Demi alasan mendorong investasi dan menggerakkan perekonomian nasional, maka, rela mengorbankan dan meminggirkan hak-hak pekerja yang merupakan rakyatnya sendiri," tegas Irwan.

Senada dengan itu, Sultan Loren Nana Sukarna, Sekretaris DPD Serikat Buruh Seluruh Indonesia (SBSI) 1992 Provinsi Kaltim, dengan tegas menolak RUU tersebut. 

"Pembahasan RUU Cipataker ini seperti dipaksakan, agar hak-hak buruh dikebiri," ujarnya, Minggu (4/10/2020). 

Dia menambahkan, jika RUU ini benar-benar disahkan, dapat menjadi celah bagi Tenaga Kerja Asing (TKA) untuk masuk dan bekerja di Indonesia. Hal ini karena RUU Ciptaker juga memberikan kemudahan dan kelonggaran yang berlebihan bagi perusahaan untuk mempekerjakan tenaga kerja asing.

"Sekarang saja dengan undang-undang yang ada dengan masih membatasi TKA masuk, tapi kenyataannya sudah bebas mereka masuk. Apalagi kalau ini sudah disahkan," tambahnya. 

Sultan pun membantah argumen pemerintah, mengenai keputusan memasukkan TKA ke indonesia demi mengisi posisi tenaga ahli yang tidak ada di Indonesia. "Kalau mau diperiksa, sebetulnya kita punya tenaga ahli itu, namun mereka bekerja di luar negeri. Jadi saya yakin tenaga lokal kita mampu bersaing," ungkapnya.

RUU Ciptaker ini pun ia sebut sangat mencederai dan menyakiti para pekerja, buruh, dan keluarganya. Hal ini terjadi karena aturan ”no work no pay” oleh pengusaha, dimana upah dibayar berdasarkan satuan waktu kerja per jam.

"Katakanlah kebijakan ini diterapkan kepada seorang operator di tambang batu bara, dia masuk bekerja pagi pukul 07.00 dan baru bekerja satu jam, kemudian turun hujan. Itu hanya akan dibayar satu jam. Maka dengan ini betul-betul hanya pengusaha saja yang dilindungi, berbeda dengan undang-undang sebelumnya yang mencakupi kedua-duanya," tambah Sultan.

Dia pun menduga pemerintah sengaja mengebut pembahasan RUU ini dalam kondisi pandemi karena pengerahan massa buruh sangat terbatas dalam melakukan aksi penolakan. Meski saat ini ada dua Fraksi yaitu Demokrat dan PKS yang menolak RUU, itu akan sangat sulit menghambat RUU ini dari jalur parlemen.

"Teman-teman di Jakarta akan melakukan aksi terkait keputusan ini, karena dengan segala pembatasan, kami pun tidak bisa bergabung. Mudah-mudahan dengan aksi itu, anggota DPR di Jakarta sana bisa sadar dan tidak jadi mengesahkan RUU Ciptakerja itu," pungkasnya. 

Pendapat senada juga dilontarkan Samsul, perwakilan dari Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) Kaltim. Dia menganggap RUU Ciptaker tidak mengakomodir kepentingan para buruh. Undang-undang tersebut justru condong menguntungkan investor dan pengusaha. 

"Kalau kami membaca omnibus law klaster cipta kerja (RUU Ciptaker) hampir semua poin itu tidak lagi mengakomodir kepentingan buruh, dan hanya mengarah pada kepentingan pengusaha," sebut Samsul. 

"Isunya kan dari dulu untuk mempermudah investasi, tapi fokusnya kami lebih kepada bagaimana proteksi terhadap tenaga kerja itu meningkat dari setiap pengambilan kebijakan pemerintah. Namun yang terjadi sekarang justru kemunduran," tandasnya. 

Ia pun mengutarakan harapannya agar RUU Ciptaker ini dapat dihentikan pembahasannya. 

"Meski menurut saya hal itu agak sulit terwujud, karena sebagian besar di parlemen itu partai pendukung pemerintah. Kita lihat dari 9 fraksi, sebagian besar sudah setuju, hanya dua yang menolak yaitu Demokrat dan PKS. Jika akhirnya voting pasti kalah," tuturnya.

Penulis: Yoghy Irfan
Editor: Awan

Berita Lainnya