Ragam
BKKBN  BKKBN Kaltim sosialisasi Hari Pertama Kehidupan Hari Pertama Kehidupan Perkawinan Usia Anak 
Sosialisasi 1.000 HPK Risiko Stanting, BKKBN Imbau Hindari Perkawinan Usia Anak
SELASAR.CO, Samarinda - Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Kalimantan Timur menggelar sosialisasi penyampaian materi pengasuhan 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK). Sosialisasi disampaikan di depan awak media di salah satu hotel kawasan Jalan Untung Surapati, Sungai Kunjang, pada Kamis (17/12/2020).
Penyampaian materi 1.000 HPK ini untuk mengambil peran dalam penurunan angka stunting. Stunting adalah kekurangan gizi pada balita yang berlangsung lama, sejak konsepsi kehamilan hingga usia 24 bulan dan menyebabkan terhambatnya perkembangan otak tumbuh kembang anak. Pola hidup Ibu yang tidak bersih, kurangnya stimulasi dan pola asuh terhadap anak yang kurang baik, juga menjadi faktor utama anak mengalami stunting.
Stunting dan permasalahan gizi dapat mempengaruhi status kesehatan dan kecerdasan anak. Pada tingkat individu, stunting berdampak terhambatnya perkembangan otak dan fisik, rentan terhadap penyakit, serta sulit berprestasi sehingga daya saing individu serta sikap kompetitif rendah.
Di tingkat masyarakat dan negara, stunting menghambat pertumbuhan laju ekonomi, meningkatkan angka kemiskinan dan kesakitan yang membuat beban negara yang menjadi meningkat. Sehingga BKKBN, melalui sosialisasinya ingin menyampaikan pesan edukasi bahayanya stunting ke masyarakat melalui peran media.
Berita Terkait
Edi Muin, Kepala Perwakilan BKKBN Provinsi Kalimantan Timur menyebutkan, BKKBN mengambil peran dalam penurunan angka stunting pada porsi preventif, dengan menularkan peran BKKBN kepada pers. Dirinya menjelaskan bahwa dalam menyampaikan edukasi tentang stunting ke masyarakat tidak dapat dilakukan sendiri, penyampaiannya harus secara kolektif.
“Karena kami pasti tidak bisa bekerja sendiri. Kekuatan kami ada pada media untuk bisa menyampaikan. Kita harus sampaikan ke masyarakat tentang stunting. Dalam edukasi ini semua orang berperan,” ujarnya.
Edi juga mengimbau agar supaya tidak terjadi perkawinan di usia anak. Hal tersebut dinilai berisiko melahirkan bayi stunting. Diketahui Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010 menunjukkan terdapat 23,2 persen kehamilan di usia 10-19 tahun. Perkawinan dan kehamilan di usia tersebut terbukti memiliki risiko sangat besar melahirkan bayi stunting. Ibu yang menikah di usia 15-19 tahun saja memiliki 42,2 persen di antaranya melahirkan balita pendek atau kerdil, semakin muda usia perkawinan semakin besar risiko kemungkinan melahirkan bayi mengalami stunting.
“Peluang untuk melahirkan anak stunting lahir dari rahim ibu yang terlalu muda. Kami ada beberapa contoh kasus tentang itu. Berikutnya kami mengharapkan supaya mereka yang telah berkeluarga bisa mengatur jarak kelahirannya agar jangan terlalu rapat dan dekat, karena hal tersebut berpotensi melahirkan anak stunting,” tambahnya.
Dalam mengatasinya, Edi menyampaikan bahwa hidup harus dengan perencanaan yang terstrukur dan baik. Seperti kesiapan di usia berapa ingin melangsungkan perkawinan, ingin memiliki berapa banyak anak dan berapa pastikan jarak ideal kelahiran anak. Pencegahan juga dilakukan dengan mendorong Pendewasaan Usia Perkawinan (PUP) agar dapat ideal melangsungkan perkawinan di usia yang dianjurkan seperti 21 tahun bagi wanita dan 25 tahun bagi pria.
“Jadi anjuran itu selalu kami sampaikan bahwa hiduplah dengan perencanaan yang baik. Kepada anak remaja kita sampaikan coba sikapi dari sekarang untuk kalian melakukan perencanaan keluarga kedepan, seperti umur berapa menikah, berapa banyak anak, lalu berapa jarak kelahirannya,” jelasnya.
Diketahui juga, daerah Kalimantan Timur juga terdapat lokus stunting yang menjadi proyek prioritas nasional. Di antaranya Kutai Timur, Kutai Kartanegara dan Kutai Barat. Oleh karena itu, pihaknya akan terus menyebarkan edukasi stunting ini. “Kita harapkan bagaimana caranya bisa menyikapi hal ini dengan bijak. Masih ada lagi peluang di tempat lain, oleh karena itu penyebaran informasinya harus massif dan kolektif,” tegas Edi.
Penulis: Bekti
Editor: Awan