Kolom
Wali Kota Samarinda andi harun Rusmadi Wongso Andi Harun Rusmadi Wongso  AH-Rusmadi  Samarinda Kota Pusat Peradaban 
Kesan Pertama Begitu Menggoda, Selanjutnya Terserah Wali Kota
Usai dilantik 26 Februari 2021, pasangan pemimpin baru Samarinda, Andi Harun (AH)-Rusmadi Wongso langsung tancap gas. Pasar dirapikan, pedagang kaki lima (PKL) ditertibkan, sampah dilokalisasi. Peradaban Samarinda tampaknya akan semakin maju. Eh, tapi tunggu dulu…
OLEH: ACHMAD RIDWAN
Mengenakan kaos oblong berwarna putih dipadu jins, tentu pula bermasker, Wali Kota Samarinda Andi Harun berpose khas bapack-bapack. Pertama mengepalkan tangan. Selanjutnya memamerkan jempol. Dalam hal ini AH perlu menambah referensi aneka gaya saat berfoto, wkwkk.
Berita Terkait
Sementara itu, emak-emak berjilbab peach yang berjalan di dekat AH memperhatikan seksama dengan mimik bertanya-tanya. Mungkin di batinnya: “Kayak pernah liat wajah bapak ini, tapi dimana, ya?” Pertanyaan itu bisa saja menggelayut sampai ke rumahnya.
AH saat itu sedang blusukan ke Pasar Pagi dan Pasar Sungai Dama. Parkir tidak boleh menjadi sebab macet. Begitu judul postingan di akun Facebook Andi Harun 11 Maret 2021. AH pun menjelaskan upaya pembenahan, salah satunya menyiapkan sistem e-parking.
Performa AH-Rusmadi sebagai wali kota-wakil wali kota Samarinda memang cukup ciamik. Setidaknya dalam kurun menuju sebulan kepemimpinan mereka. Kesan yang ditampilkan jauh berbeda dari pemimpin-pemimpin Samarinda sebelumnya. AH-Rusmadi lebih terbuka.
Pada era pemerintahan sebelumnya, cenderung lebih sunyi dari pemberitaan dan media sosial. Lebih banyak diam, dalam aksi maupun bicara. Sekalinya bicara, yang keluar: “Ikam hanyarkah di Samarinda?”
Lewat corong website Diskominfo maupun akun-akun media sosial dengan follower besar, apa-apa kini yang dikerjakan AH-Rusmadi diamplifikasi. Tengok pula akun media sosial milik AH dan Rusmadi. Dua-duanya aktif membagi informasi, layaknya pemimpin kekinian. Padahal sebelumnya mereka juga tidak aktif-aktif amat di jagad medsos.
Program 100 hari kerja AH-Rusmadi sepertinya dijadikan pijakan untuk melangkah ke hari-hari berikutnya. Dikejar agar terlaksana. Beberapa prioritas 100 hari pertama itu adalah penanggulangan Covid-19, penanganan sampah, penataan parkir sekaligus pedagang kaki lama (PKL), hingga persoalan banjir. Tentu bukan berarti 100 hari selesai semua masalahnya, kata Rusmadi pada suatu waktu.
Banjir salah satu pekerjaan rumah AH-Rusmadi.
Kita semua berharap performa awal yang menggairahkan ini bisa terus bertahan hingga akhir periode jabatan AH-Rusmadi. Waktu belaka yang akan membuktikan. Namun, melihat intelektualitas dan kapabilitas keduanya, masa iya tak bisa bikin Samarinda lebih baik? Dua-duanya doktor, berpengalaman di legislatif dan eksekutif puluhan tahun, dukungan di parlemen juga tak sedikit. Komplet lah untuk membawa Samarinda jadi pusat peradaban modern.
Salah satu yang mungkin bisa menghalangi kesuksesan AH-Rusmadi memimpin Samarinda adalah jika mereka tidak bisa mengendalikan kepentingan-kepentingan “you know who are they”.
Sudah bukan rahasia, setiap ada pemimpin baru terpilih, segerbong pemimpin bayangan pun berbondong-bondong berupaya menikmati bancakan kekuasaan. Mending kalau antre, tertib. Seringnya berebutan posisi terdepan. Sikut-sikutan dan bikin suasana tidak kondusif untuk melaksanakan pembangunan yang betul-betul atas dasar kepentingan umum/masyarakat.
“You know who are they” itu sebut saja Bubuhan Sebagai (meminjam istilah seorang kawan). Ada yang merasa berjasa sebagai pemodal saat kampanye sehingga merasa boleh ikut mengatur-atur proyek pembangunan. Ada yang merasa sebagai pihak yang mengkondisikan dukungan di kalangan tertentu sehingga merasa boleh ikut mengatur mutasi dan promosi pegawai. Ada yang merasa bekerja keras sebagai petarung di gelanggang media sehingga merasa boleh ikut mengatur kontrak-kontrak untuk media. Dan sebagai-sebagai lainnya.
Jika AH dan Rusmadi takluk pada kepentingan-kepentingan Bubuhan Sebagai itu dengan mengesampingkan kepentingan masyarakat, berarti keduanya hanya pemimpin boneka. Sia-sia performa awal yang menggoda. Tapi rasanya tidak lah...mana ada boneka setampan dan secerdas mereka berdua.
Akhirnya, sebagai rakyat, saya senang tampaknya menjelang Lebaran ini, di atas meja kita disuguhi menu baru. Bukan lagi kaleng Khong Guan. Dan semoga saja, pas dibuka isinya benar-benar bukan rengginang lagi, rengginang lagi. Percuma kalengnya berbeda kalau isinya rengginang jua. Sumpah, puluhan tahun mengunyah rengginang itu nggak enak, Pak.
Penulis adalah pemimpin redaksi selasar.co