Utama
batu bara Negara Maju Pembangkit Listrik Tenaga Uap  Bank Indonesia 
BI Prediksi Batu Bara Semakin Ditinggalkan Negara Maju, Bagaimana Nasib Kaltim?
SELASAR.CO, Samarinda – Dunia semakin berkomitmen untuk melakukan dekarbonisasi dengan melakukan transisi ke sumber energi baru terbarukan (EBT) yang lebih bersih dan ramah lingkungan. Pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang berbahan batu bara akan menjadi fokus transisi karena menyumbang sekitar 30% dari emisi karbon global. Salah satu dampak dari transisi ini adalah turunnya permintaan batu bara, yang akhirnya diprediksi akan menekan laju pertumbuhan ekonomi di daerah-daerah penghasil emas hitam seperti Kalimantan Timur (Kaltim).
Dikutip dari Diseminasi Laporan Perekonomian Provinsi Triwulan III 2021 yang disusun oleh Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Kaltim, disebutkan bahwa volume ekspor batu bara Kaltim triwulan III 2021 tercatat tumbuh sebesar 19,56% (yoy) lebih tinggi dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang tumbuh sebesar 11,45%(yoy). Tumbuhnya volume ekspor batu bara Kaltim tersebut disebabkan oleh peningkatan volume ekspor batu bara ke Tiongkok dan ASEAN yang tercatat masing-masing tumbuh sebesar 135,87% (yoy) dan 4,05% (yoy). Saat ini lebih dari 85 persen produksi batu bara Kaltim diekspor ke Tiongkok, negara ASEAN, India, dan lain sebagainya. Sementara sisanya untuk kepentingan domestik yang mayoritasnya adalah PLN dan industri.
“Jangankan menengah panjang, batu bara itu semakin lama semakin sedikit dibutuhkan dunia. Karena dunia itu mau menggenjot yang namanya energi baru terbarukan (EBT),” ujar Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia (BI) Provinsi Kaltim, Tutuk SH Cahyono.
Ketergantungan ekonomi Kaltim terhadap batu bara dihadapkan pada sejumlah tantangan. Di antaranya yaitu ekonomi Kaltim tumbuh relatif rendah, tidak stabil dan tidak berkesinambungan, bergantung dinamika harga batu bara internasional dan cadangan batu bara.
Berita Terkait
Di satu sisi, permintaan batu bara dunia semakin berkurang sejalan upaya pengurangan emisi karbon untuk menahan laju global warming. Permintaan Amerika Utara dan Eropa diperkirakan akan semakin berkurang hingga 2040. Permintaan Asia Pasifik juga diperkirakan stagnan sejak 2035 di tengah upaya pengembangan EBT yang ramah lingkungan semakin meningkat.
“Jadi keberhasilan dunia untuk mengurangi konsumsi batu bara tergantung seberapa cepat negara-negara masuk menguasai teknologi penggunaan EBT,” ungkapnya.
Sektor pariwisata diprediksi akan menjadi yang paling potensial ke depan. Selain ramah lingkungan, ekonomi model ini memiliki dampak yang lebih signifikan dibandingkan terhadap pertambangan. Jika dilihat dari sisi PDRB Kaltim, berdasarkan hasil simulasi model CGE (Computable General Equilibrium) yang dihitung oleh BI Kaltim, didapatkan bahwa adanya skenario penambahan investasi sebesar 1 triliun di sektor pariwisata lebih memiliki dampak yang tinggi dan sustain dibandingkan kepada sektor pertambangan yang pada jangka panjang dampaknya terus mengalami penurunan. Lebih lanjut adanya investasi tersebut di sektor pariwisata bisa meningkatkan PDRB Kaltim, hal tersebut dikarenakan rambatan keekonomian pariwisata yang luas.
Hal serupa jika dilihat dari sudut tenaga kerja. Berdasarkan hasil simulasi model CGE, didapatkan bahwa jika pemerintah menjadikan pariwisata sebagai fokus utama terhadap arah pembangunan wilayah maka efek penyerapan tenaga kerja akan jauh lebih tinggi dibandingkan menjadikan sektor pertambangan sebagai fokus utama.
“Pariwisata itu sekali investasi dampaknya terus menerus mulai dari meningkatnya PDRB dan kesempatan pekerja baru,” tegasnya.
Penulis: Yoghy Irfan
Editor: Awan