Feature
Paguyuban Singo Joyo Mulyo  Singo Joyo Mulyo Pelestari Reog  Singo Barong Budaya Jawa Paguyuban  Reog Tari Reog 
Singo Joyo Mulyo, Pelestari Reog di Tanah Rantau Samarinda
SUARA terompet pertunjukan khas Kabupaten Ponorogo Jawa Tengah itu, mulai terdengar. Penonton yang hadir pun bergegas mendekati asal suara. Pertunjukan akan segera dimulai.
YOGHY IRFAN, Samarinda
Dua orang penari yang menjadi Singo Barong, yakni sosok berwujud kepala singa berhias bulu merak yang dirangkai dalam ukuran raksasa, berputar-putar dengan luwes. Terkadang asesoris yang terbuat dari ratusan hingga ribuan bulu merak itu seperti dikibas-kibaskan. Di sekitarnya juga ada sepasukan prajurit (jathil) yang sedang mempertunjukkan ketangkasan berkuda.
Dalam pertunjukan itu, juga ditampilkan Bujang Ganong atau Patih Pujangga Anom. Ia adalah salah satu tokoh yang energik, sekaligus mempunyai keahlian dalam seni bela diri yang diperagakan oleh 2 orang pemuda. Topeng Bujang Ganong berwarna merah menyala dengan khas mata melotot, hidung besar, dan gigi yang menonjol. Di sekeliling Topeng Bujang Ganong juga terdapat bulu panjang yang menjuntai hingga ke bahu berwarna coklat gelap hingga coklat keputih-putihan.
Begitulah gambaran pertunjukan seni yang ditampilkan sanggar tari Singo Joyo Mulyo, saat diundang untuk mengisi sebuah acara di Gedung Aula Education Center di Jalan PM Noor, Kelurahan Sempaja Selatan, Samarinda Utara, belum lama ini.
PAGUYUBAN SINGO JOYO MULYO DIDIRIKAN SEJAK 1995
Sosok pendiri paguyuban Singo Joyo Mulyo adalah Sarjimun. Media ini pun berkesempatan untuk berbincang dengan pria kelahiran Kabupaten Magetan, Jawa Timur tersebut. Ia berkisah bahwa 27 tahun yang lalu, dirinya memutuskan untuk merantau dari kota kelahirannya ke Samarinda. Tujuannya merantau tidak lain untuk mencari peruntungan di Kota Tepian.
“Awal mulanya saya merantau dari Jawa ke sini itu sekitar tahun 1995. Kedatangan saya ke Samarinda tidak lain untuk mengubah nasib,” ujarnya.
Meski telah tinggal di perantauan, Sarjimun mengaku tidak bisa menghilangkan jiwa seni yang telah lama ia geluti selama tinggal di kampung halaman. Hal ini pulalah yang membuat dirinya ingin mendirikan sebuah paguyuban yang tujuannya melestarikan kesenian Jawa.
“Saya sewaktu tinggal di Jawa juga aktif di bidang kesenian. Jadi tujuan kami mendirikan paguyuban ini tidak lain untuk ikut melestarikan kebudayaan-kebudayaan tradisional Jawa khususnya Reog. Makanya saat saya tiba di Samarinda, saya cari dan kumpulkan teman-teman yang juga datang Jawa untuk membentuk paguyuban ini,” jelasnya.
Saat pertama kali didirikan, paguyuban ini sudah memiliki 60 orang anggota. Sumbangan yang dikumpulkan dari para anggota kemudian yang digunakan untuk membeli perlengkapan kesenian pertunjukan Reog. Segala perlengkapan didatangkan langsung dari Jawa.
“Kami membeli perlengkapan pertunjukan seni Reog itu patungan. Berjalan dari tahun ke tahun kita juga sempat ikut festival nasional di Ponorogo berhasil peringkat 8 dari seluruh peserta di Indonesia,” ungkapnya.
BERHARAP ADA PERHATIAN DARI PEMERINTAH
Paguyuban Singo Joyo Mulyo masih rajin berlatih. Pada awal berdirinya dulu, Sarjimun bahkan mendatangkan pelatih khusus dari Jawa. Proses pelatihan saat itu berlangsung hingga 3 bulan lamanya.
“Paguyuban kami ini sifatnya terbuka. Penari-penari kami pun tidak hanya datang dari suku Jawa, namun ada pula Banjar, Bugis, hingga Kutai. Jadi yang mau ikut monggo, kami tidak pilih-pilih khusus orang Jawa saja. Jadi yang tertarik bisa datang langsung ke lokasi sanggar di Jalan Cendana, Gang 3,” tuturnya.
Meski begitu, dirinya berharap ada uluran tangan pemerintah ke paguyuban-paguyuban yang ada di Samarinda. Ia pun menceritakan bahwa saat ini telah banyak perlengkapan-perlengkapan keseniannya yang telah rusak. Salah satunya Barong yang digunakan dalam petujukannya kali ini saja usianya sudah 13 tahun lamanya. Dengan alasan keterbatasan biaya, sehingga kerusakan yang ada hanya diperbaiki yang sifatnya sementara.
“Jadi kerusakan yang ada sementara kami tambal sulam saja. Karena untuk beli yang baru, untuk reog yang komplit itu harganya tidak murah, yaitu sekitar Rp35-45 juta tergantung kualitasnya,” imbuhnya.
Penulis: Yoghy Irfan
Editor: Awan