Utama

Tolak Tarif STS Tarif STS KSOP Kelas I Samarinda   PT. Pelabuhan Tiga Bersaudara 

Tolak Tarif STS, 75 % Aktivitas Pengangkutan Batu Bara di Kaltim Bisa Terganggu



SELASAR.CO, Samarinda - Puluhan orang dari berbagai Perusahaan Batu Bara dan Perkapalan pengguna STS (Ship-to-ship) Muara Berau menolak tarif yang ditetapkan oleh PT. Pelabuhan Tiga Bersaudara (PTB). Perwakilan-perwakilan perusahaan ini pun mendatangi KSOP Kelas I Samarinda pada hari ini Rabu (4/10/2023) untuk menyampaikan aspirasinya.

Sebagai informasi, Aktivitas STS adalah singkatan dari Ship to Ship, yaitu kegiatan bongkar muat barang antara dua kapal yang berada di perairan. Aktfitas ini biasanya dilakukan untuk menghemat biaya dan waktu, serta mengurangi risiko kerusakan barang. Aktfitas STS juga memungkinkan kapal-kapal yang berukuran besar untuk mengangkut barang tanpa harus bersandar di pelabuhan.

Salah satu lokasi aktfitas STS di Indonesia adalah di perairan Muara Berau, Kalimantan Timur. Di sini, banyak perusahaan batu bara yang melakukan bongkar muat batu bara dari kapal ke kapal untuk dikirim ke pasar domestik maupun internasional. PT. Pelabuhan Tiga Bersaudara (PTB) adalah Badan Usaha Pelabuhan (BUP) yang ditunjuk oleh Kementerian Perhubungan sebagai pelaksana kegiatan pengusahaan jasa kepelabuhanan di Terminal STS Muara Berau. PTB bertanggung jawab untuk memberikan pelayanan, menetapkan tarif, dan menyetor pendapatan konsesi kepada negara.

Parwoto, Koordinator Tim Perusahaan Perkapalan dan Pertambangan, mengatakan bahwa mereka menolak aturan tarif yang diberlakukan oleh PTB karena dianggap tidak sesuai dengan ketentuan dan tidak adanya kejelasan hukum.

“Kami menolak aturan tarif yang diberlakukan oleh PT. Pelabuhan Tiga Bersaudara. Dari KSOP Samarinda ini kan perihal suratnya adalah himbauan, kami sudah bilang kalau hitam di atas putih beri surat kepastian. Karena ini surat himbauan sehingga kita menganggap ini masih tidak wajib. Kami tidak berkenan untuk mengikuti atau meregister sesuai dengan ketentuan yang ada di surat ini. Untuk itu tadi kami minta mereka keluarkan surat yang sifatnya kewajiban, kalau mereka benar kenapa harus abu-abu,” ujar Parwoto.

“Namun di surat ini ada yang kami anggap sebagai ancaman jika tidak mengikuti ini kami tidak diberikan pelayanan, padahal di sini adalah himbauan,” tambahnya.

Parwoto juga mempertanyakan proses penetapan tarif yang dilakukan oleh PTB. Ia menunjukkan adanya perbedaan antara surat rekomendasi dari Kementerian Perhubungan dengan surat keputusan dari PTB. Pasalnya dalam surat keputusan direksi PTB, menyebut bahwa surat Rekomendasi dari Kementerian Perhubungan bernomor PR.202/1/18 PHB 2023 sebagai Surat Keputusan (SK). 

“Surat pertama dari Kementerian Perhubungan dengan prihal Rekomendasi Persetujuan Penetapan Tarif Awal Jasa Kepelabuhanan Pada Terminal Ship to Ship Perairan Muara Berau Kalimantan Timur, yang dikeluarkan pada 24 Juli 2023, padahal membalas surat permohonan PT Tiga Bersaudara yang dikirim pada 6 Mei 2021. Tapi disini (Surat Keputusan Direksi PT Pelabuhan Tiga Bersaudara) sudah menjadi surat keputusan,” paparnya.
 

Ganggu Suplai Batu Bara Domestik untuk PLN

Parwoto juga mengungkapkan dampak negatif dari penerapan tarif baru tersebut bagi perusahaan-perusahaan perkapalan dan batu bara. Ia mengatakan bahwa ada beberapa kapal yang terhambat pelayanannya usai menolak aturan tersebut. Ia khawatir hal ini akan mengganggu ekspor dan suplai batu bara domestik.

“Saat ini ada beberapa teman yang terhambat pelayanannya usai kesepakatan kami menolak dan tidak melakukan pendaftaran. Pelayanan untuk kami seperti alih muat, izin gerak, dan lain-lain kami tidak dilakukan. Sehingga beberapa kapal pun terhambat pergerakannya. Ini berpotensi membuat banyak kapal tidak berjalan. Berarti ekspor kita terhambat dan suplai batu bara domestik untuk kebutuhan PLTU PLN berpotensi juga bisa terhambat,” tuturnya.

Parwoto menjelaskan bahwa perusahaan-perusahaan perkapalan yang hadir di sini berkontribusi 75 persen dari total pengangkutan batu bara yang melalui Muara Berau atau sekitar 3 juta ton perbulan. Ia berharap agar otoritas dapat mencari solusi tanpa harus menimbulkan stagnasi.

“Mudah-mudahan yang kita minta kepada otoritas agar jangan terjadi stagnasi, sembari mencari solusi. Karena upaya-upaya dari kami juga ada, seperti mengirim surat kepada Menteri Perhubungan, ESDM, dan Menko Marves,” pungkasnya.

Parwoto juga menegaskan bahwa mereka tidak menolak tarif eksisting yang sudah berlaku sebelumnya. Ia menyebutkan bahwa tarif tersebut adalah Rp. 17.507 per ton untuk pelayanan domestik bongkar muat dengan crane kapal dan USD 1,2 untuk pelayanan ekspor impor bongkar muat dengan crane kapal.

“Sebenarnya untuk tarif eksisting yang kita sudah lakukan itu ada yaitu, pelayanan domestik bongkar muat dengan crane kapal (Geared Vessel) Rp. 17.507 per ton dan pelayanan ekspor impor (Internasional) bongkar muat dengan crane kapal (Geared Vessel) USD 1,2,” katanya.

Ia menambahkan bahwa tarif kedua yang ditetapkan oleh PTB adalah Rp11.825 per ton untuk pelayanan domestik bongkar muat dengan alat tambahan berupa floating crane dan USD 0,82 untuk pelayanan ekspor impor bongkar muat dengan alat tambahan berupa floating crane. Ia menganggap tarif ini sebagai pungutan yang tidak wajar.

“Sebenarnya ketentuan yang namanya Badan Usaha Pelabuhan (BUP) itu kan ada ketentuannya, mana infrastrukturnya. Misalnya bicara yang tarif kedua ini kenapa mereka tidak beli Floating Crane. Mangkanya kami tanyakan dimana infrastrukturnya,” tandasnya.

Tak Mendaftar ke Sistem Pelayanan Dihentikan?

Sementara itu terpisah Kepala Seksi Lalu Lintas Angkutan Laut dan Usaha Kepelabuhanan, KSOP Kelas I Samarinda, Zulqadri Edy mengatakan akan menampung dahulu aspirasi yang disampaikan oleh para perusahaan. Nantinya aspirasi ini kemudian akan disampaikan ke Kementerian Perhubungan.

“Ya kami tampung untuk kemudian akan kami sampaikan ke kantor pusat untuk bagaimana solusi-solusi yang bisa diambil,” terangnya.

Saat ditanya lebih lanjut terkait apakah KSOP masih akan memberikan pelayanan kepada perusahaan yang belum melakukan pendaftaran di sistem Orbit, Zulqadri hanya menyebutkan bahwa kegiatan harus dicatatkan di sistem

“Bukan persoalan sudah mendaftar atau belum mendaftar, kegiatan itu kan harus tercatatkan di sistem. Kalau dia tidak mau dicatat itu yang repot,” pungkasnya.

Sebagai informasi untuk pembaca, Pasca diterbitkannya rekomendasi tarif awal jasa kepelabuhan tersebut, pada tanggal 26 September 2023, PIt Kepala Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) Kelas I Samarinda mengeluarkan surat No. AL. 307/L/309/KSOP.SMD-2023 yang pada intinya menyebutkan bahwa pelayanan kepelabuhanan hanya akan diberikan bagi perusahaan yang telah melakukan penyesuaian dalam sistem ORBIT yang dibuat PTB. Artinya perusahaan penyewaan floating crane (FC) dan floating loading facility (FLF) yang tidak melakukan registrasi/penyesuaian ke sistem ORBIT tidak akan mendapatkan pelayanan oleh KSOP Kelas I Samarinda.

Penulis: Yoghy Irfan
Editor: Awan

Berita Lainnya