Pendidikan
SMA 10 Samarinda Asrama SMA 10 Samarinda Disdikbud Kaltim Pemprov kaltim 
Penyamaan Sistem SMA 10 Samarinda: Kemajuan atau Kemunduran Dunia Pendidikan?
SELASAR.CO, Samarinda - SMA Negeri 10 Samarinda, yang dikenal dengan program percepatan belajar dan fasilitas asrama, kini menghadapi dilema besar terkait kebijakan zonasi yang diterapkan oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kalimantan Timur. Kebijakan ini, yang menetapkan zonasi daerah untuk setiap SMA, telah memicu pertanyaan serius tentang masa depan pendidikan khusus dan pengelolaan asrama di sekolah ini.
Menurut Insan Kamil, Ketua Komite SMA Negeri 10 Samarinda, asrama sekolah saat ini 100% dihuni oleh siswa dari luar zonasi, dengan lebih dari 50% berasal dari luar Samarinda. “Kebijakan PPDB yang sedang diberlakukan akan berdampak besar pada asrama, yang pengelolaannya dipercayakan kepada komite,” ujar Insan Kamil.
Sejarah SMA Negeri 10 Samarinda dimulai dengan SK Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional Nomor: 391/C.C6/KEP/MN/2001, yang menetapkan sekolah ini sebagai salah satu dari tujuh sekolah di Indonesia yang menyelenggarakan program percepatan belajar. SK ini belum dicabut hingga hari ini, menurut Insan Kamil, yang menegaskan bahwa sekolah tersebut masih memiliki mandat untuk menyediakan pendidikan khusus.
PP 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan, dalam Pasal 21 ayat 2, menegaskan bahwa Gubernur harus menjamin akses pendidikan bagi peserta didik yang tidak mampu, pendidikan khusus, dan/atau peserta didik di daerah khusus. Pasal 127 dan 130 juga mendukung penyelenggaraan pendidikan khusus, yang merupakan ciri khas dari SMA Negeri 10 Samarinda.
Namun, dengan kebijakan zonasi baru, sekolah ini diwajibkan beroperasi seperti SMA umum lainnya, menghilangkan proses seleksi khusus yang melibatkan wawancara dan tes. “Kami khawatir tidak akan ada lagi yang berasrama karena jarak tempat tinggal yang dekat,” kata Insan Kamil, menambahkan bahwa kebijakan ini akan berdampak pada pengelola asrama yang berjumlah 33 orang dan telah menggantungkan hidupnya pada pekerjaan ini selama bertahun-tahun.
Dengan perubahan ini, SMA Negeri 10 Samarinda berada di persimpangan jalan. Apakah kebijakan zonasi ini akan membawa kemajuan atau justru kemunduran bagi dunia pendidikan, khususnya dalam konteks pendidikan khusus dan pengelolaan asrama? Pertanyaan ini tetap terbuka, menunggu jawaban dari waktu dan kebijakan pendidikan yang akan datang.
Penulis: Yoghy Irfan
Editor: Awan