Lingkungan

uu minerba jatam 

Sempat Ditunda, Akankah Pembahasan Revisi UU Minerba Berlanjut?



Merah Johansyah, saat mengisi diskusi publik tentang bahaya revisi uu minerba
Merah Johansyah, saat mengisi diskusi publik tentang bahaya revisi uu minerba

SELASAR.CO, Samarinda - Beberapa waktu lalu mahasiswa dari berbagai daerah di Indonesia termasuk Kalimantan Timur, menggelar aksi unjuk rasa. Salah satu tuntutan yaitu penolakan revisi Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba), serta beberapa revisi undang-undang lainnya. DPR akhirnya memutuskan untuk menunda sementara pengesahan revisi undang-undang tersebut.

Meski pembahasan revisi Undang-Undang Minerba, Nomor 4 Tahun 2009 ditunda oleh DPR RI Periode 2014-2019, bukan berarti ancaman terhadap rakyat dan lingkungan di seluruh pulau Indonesia otomatis hilang. Sebaliknya, ancaman itu justru semakin parah, mengingat komposisi anggota DPR RI Periode 2019-2024 diisi oleh mayoritas dari kalangan pebisnis. Hal itu disampaikan Merah Johansyah, Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) saat ditemui di Aula Fakultas Hukum Universitas Mulawarman saat mengisi diskusi publik tentang bahaya revisi uu minerba, Jumat (25/10/2019).

“Potensinya besar kenapa? Sebanyak 48 persen dari 500 lebih anggota DPR RI yang terpilih merupakan pebisnis. Jadi legislasi kita ditentukan oleh pengusaha,” jelasnya.

Merah menambahkan, kemungkinan dilanjutkannya pembahasan UU Minerba ini semakin besar setelah disahkannya revisi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP) oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Pasal baru itu menyatakan, dalam hal pembahasan rancangan undang-undang belum selesai pada periode masa keanggotaan DPR saat ini, hasil pembahasan rancangan undang-undang tersebut disampaikan pada DPR periode berikutnya dan berdasarkan kesepakatan DPR, Presiden dan/atau DPD, rancangan undang-undang tersebut dapat dimasukkan kembali ke dalam daftar Prolegnas Jangka Menengah dan/atau Prolegnas Prioritas Tahunan.

“Jadi anggota parlemen yang baru, tidak perlu lagi mengulang pembahasan undang-undang tersebut dari nol rancangan undang-undang yang ditunda. Sehingga potensi disahkan semakin cepat, masih terbuka lebar,” terangnya.

Dirinya mengungkapkan belum lama ini juga beredar surat undangan yang dikeluarkan Kementerian ESDM: Dirjen Minerba mengundang ratusan perusahaan tambang pada 9 Oktober 2019, tanpa melibatkan masyarakat.

“Padahal stakeholder yang akan menerima dampak dari revisi undang-undang ini bukan hanya pengusaha, tapi juga masyarakat yang sekitar wilayah tambang. Jadi tidak ada ruang yang difasilitasi untuk masyarakat mengatakan tidak,” tambahnya.

Jatam menilai terdapat indikasi hampir 90 persen pasal yang sedang digodok, tidak mengedepankan kepentingan masyarakat, khususnya di Kaltim. Salah satu pasal bermasalah dari draf RUU Minerba ialah mengenai bagian penjelasan tentang lubang bekas tambang yang boleh dijadikan kawasan irigasi dan tempat wisata, yang digadang akan menjadi alasan legal bagi perusahaan tambang untuk tidak menutup lubang tambang sisa eksploitasi batu bara.

“Lubang tambang ini bukan air biasa yang dikandung di dalamnya, tapi memiliki kandungan bahan beracun seperti logam berat,” imbuhnya.

Selain pembolehan kawasan eks lubang tambang di jadikan kawasan irigasi dan tempat wisata berikut poin-poin revisi undang-undang minerba yang dianggap janggal oleh Jatam:

1. Mempermudah pengusaha pertambangan menguasai lahan lebih lama
2. Mengobral mineral tanah jarang dan radioaktif
3. Perpanjangan otomatis perusahaan raksasa (KK dan PKP2B)
4. Pasal pidana terhadap pejabat yang mengeluarkan izin bermasalah dihilangkan
5. Penambahan izin jenis baru
6. Membuka ruang bagi penambangan di sungai
7. Definisi baru “wilayah hukum pertambangan”
8. Menutup hak veto rakyat
9. Kriminalisasi warga penolak tambang
10. Lubang tambang boleh sebagai irigasi dan tempat wisata

 

 

Penulis: Yoghy Irfan
Editor: Er Riyadi

Berita Lainnya