Feature

Jamaah Anshar Daulah ISIS Islamic State of Iraq and ash-Sham bom molotov di Gereja Oikumene Gereja Oikumene Alvaro Aurelius Tristan Sinaga Trinity Hutahaean 

Di Tengah Wacana Pemulangan ISIS, Apa Kabar Korban Bom Samarinda?



Alvaro Aurelius Tristan Sinaga dan Trinity Hutahaean
Alvaro Aurelius Tristan Sinaga dan Trinity Hutahaean

Dengan segenap kepengecutannya, pria itu, Juhanda alias Joh alias Muhammad bin Aceng melempar molotov ke halaman Gereja Oikumene, Samarinda, pada pagi yang kelabu 13 November 2016. Seorang anak berusia 2,5 tahun, Intan Olivia, tewas. Tiga anak lainnya mengalami luka serius.

Juhanda adalah anggota Jamaah Anshar Daulah (JAD) yang berafiliasi dengan ISIS (Islamic State of Iraq and ash-Sham). Sebelumnya, pria asal Jawa Barat ini pernah dipenjara 3,5 tahun untuk kasus serupa, yakni bom buku pada 15 Maret 2011 di Tangerang. Ia kemudian bebas bersyarat setelah mendapat remisi Idulfitri 28 Juli 2014. Bukan bertobat, Juhanda malah merencanakan aksi keji di Samarinda. Kini ia divonis penjara seumur hidup. Namun, itu tidak akan menggantikan tawa ceria anak-anak yang menjadi korban kegilaannya.

Selain Intan yang kehilangan nyawa, ada tiga anak lain yang hingga kini berjuang untuk hidup mereka yang lebih baik pasca-bom. Mereka adalah Trinity Hutahaean, Alvaro Aurelius Tristan Sinaga, dan Anita Kristobel.

Ditemui Selasar hari ini, Senin (10/2/2020) Novita Sagala, ibunda Alvaro mengaku masih trauma mengingat kejadian tersebut. Di tempat kerjanya di Polresta Samarinda, Jalan Slamet Riyadi, dengan mata berkaca-kaca, Novita berkisah tentang perjuangan panjang dirinya, demi mengobati luka bakar yang dialami sang anak.

Selama hampir satu tahun, Alvaro menjalani serangkaian operasi. Termasuk, tutur Novita, penanaman sel di bawah jaringan kulit kepala untuk menumbuhkan rambut anaknya yang rusak. Kepala Alvaro sempat membesar seperti balon di bagian atas belakang.

“Pemasangan balon itu karena anak saya sel rambutnya rusak, mengakibatkan rambut tidak tumbuh, jadi oleh dokter di sana disarankan dilakukan operasi. Anak saya menjalani proses pengobatan di Kuala Lumpur selama 11 bulan. Dari 2 Januari 2017 sampai 30 November 2018,” jelas Novita.

Biaya tidak sedikit juga harus dikeluarkan untuk membayar rumah sakit selama di Kuala Lumpur. Sedikitnya Rp 1 miliar habis untuk membiayai segala treatment yang dilakukan. Jumlah ini belum termasuk biaya hidup dan tiket pesawat pulang pergi Indonesia-Malaysia.

“Untuk biaya kami selama di Malaysia tidak ada sama sekali bantuan dari pemerintah, itu yang saya sayangkan. Padahal itu sudah kami buka juga di sosial media, tapi tutup mata atau bagaimana saya juga kurang paham. Jadi selama di Kuala Lumpur itu hasil donasi masyarakat di sosial media,” ungkapnya.

Kondisi Alfaro saat ini sehat, hampir 80 persen kondisi fisiknya kembali seperti semula. Namun, Novita menjelaskan bekas jahitan operasi di bagian kepala terus melebar, seiring bertambahnya usia Alvaro. Sehingga perlu kembali dilakukan proses perawatan. Selain itu, bocah kelahiran 19 Agustus 2012 ini masih membutuhkan penanganan psikis.

“Kalau sekarang kondisi fisiknya, wajahnya hingga bagian kepala masih terlihat bekas luka bakar. Lalu bagian tangan juga. Karena akibat luka bakar di tangan, dia sulit memegang pulpen, dan cepat lelah kalau menulis. Jadi dia sering ketinggalan dibandingkan temannya yang lain di sekolah,” tambahnya.

Novita mengaku bersyukur bahwa sifat ceria dan percaya diri anaknya tidak hilang meski dengan kondisinya saat ini. Alvaro saat ini sudah kembali bersekolah, ia saat ini duduk di kelas 1 sekolah dasar (SD). Meski begitu dirinya tak bisa berhenti mengkhawatirkan masa depan anaknya, karena dengan kondisi fisik anaknya saat ini, ke depan dikhawatirkan akan sulit memperoleh pekerjaan. Oleh karena itu, ia meminta kepada pemerintah untuk turun tangan.

“Harapan saya untuk pemerintah tolong diperhatikan anak-anak korban Bom Samarinda. Untuk masalah pendidikannya, masalah ke depannya dalam mencari pekerjaan. Contohnya jika dia (Alvaro) ingin menjadi polisi, itu dari segi fisiknya sudah tidak memenuhi syarat. Jadi saya memohon ada kebijakan dari pemerintah, tolong perhatikan masa depan mereka (korban bom),” harapnya.

Sementara itu, korban bom lainnya, Trinity Hutahaean hingga saat ini masih menjalani proses pengobatan di Guangzhou, Tiongkok. Dihubungi Selasar via Whatsapp, ibu Trinity, Sarina Gultom menjelaskan kondisi terkini putrinya. Trinity sebelumnya mengalami luka bakar 57,6 persen. Hal ini mengakibatkan kedua tangan Trinity kaku seperti kayu. Pengobatan terus dilakukan sejak gadis kecil kelahiran 21 Agustus 2013 ini terkena lemparan bom molotov.

“Dia sampai meninggalkan sekolahnya, gara-gara perbuatan teroris biadab yang telah melempar bom di Gereja  Sengkotek tiga tahun lalu. Entah berapa kali lagi operasi untuk mengembalikan fungsi tangan dan jarinya. Jari tangan kanan-kiri semuanya harus dioperasi entah berapa kali lagi,” sebutnya.

Sarina menjelaskan, jari tangan kanan anaknya tidak bisa dibuka dengan normal, karena kulitnya rusak terbakar. Jari kelingking sebelah kanan masih tertekuk tidak bisa lurus, dan itu juga masih perlu tindakan operasi.

“Dan jemari tangan kirinya sudah enam kali dioperasi di Tiongkok, itu pun juga belum bisa berfungsi normal. Tangan kirinya tidak punya kekuatan karena fungsi saraf tangannya menjadi lemah,” jelas Sarina.

Lebih lanjut dirinya menyebut, jari tangan kiri anaknya masih perlu dioperasi beberapa kali, itu pun hanya bisa maksimal kembali 85 persen dari kondisi awal.

“Sebenarnya saya tidak ingin menuliskan kondisi gadis kecilku ini, karena membuatku berurai air mata. Belum lagi pemerintah yang tidak mau peduli dan tidak mau membantu biaya pengobatan sejak berobat di China. Untunglah ada  banyak orang-orang yang bermurah hati yang menjadi Malaikat penolong bagi Trinity,” ucapnya.

Hampir serupa dengan harapan ibu Alvaro, dirinya meminta adanya jaminan pendidikan dan pekerjaan bagi anaknya jika sudah beranjak dewasa. “Saya minta anak kami bisa sampai dioperasi plastik, dulu pemerintah janji akan dibiayai,” terangnya.

Menolak Wacana Pemerintah Pulangkan Kombatan ISIS

Pemerintah saat ini sedang mengkaji rencana pemulangan 600 bekas anggota ISIS dari Suriah ke Indonesia. Wacana pemulangan ini ditolak keras oleh orang tua korban pelemparan bom molotov di Gereja Oikumene, Samarinda.

“Hal inilah yang membuat hati saya marah dan dongkol mendengar rencana pemulangan kombatan ISIS ke Indonesia,” ujar Sarina Gultom.

Hal senada juga disampaikan Novita Sagala, ia mengaku sangat tidak setuju dengan wacana tersebut.

“Saya mengingat apa yang sudah terjadi pada saya dan anak saya, itu sangat menyakitkan. Setelah kami menerima musibah seperti ini, dari pemerintah juga tidak ada yang menanggung masa depan anak saya. Sehingga rasanya sangat sulit menerima hal itu, jangan sampai dikembalikan,” tuturnya. 

“Memulangkan mereka juga risikonya pasti sangat besar. Seperti pelaku terhadap aksi terorisme di Samarinda ini, menurut informasi kan dia juga pernah melakukan aksi serupa sebelumnya, dan dia kembali melakukan hal yang sama. Jadi tolong dipertimbangkan rencana mengembalikan mereka ke Indonesia. Mengembalikan mereka membutuhkan biaya sangat banyak, sementara kami korban tidak ada sama sekali diberi bantuan,” pungkasnya.

Penulis: Yoghy Irfan
Editor: Awan

Berita Lainnya