Kolom
Syafril Teha Noer 
Para Sejawat Jibril
PARA SEJAWAT JIBRIL
Oleh: Syafril Teha Noer*
DI sebuah kota di Eropa, kata berita, orang-orang menaruh macam-macam bahan makanan di median jalan, di banyak tempat, untuk mereka yang sedang disusahkan pandemi dan ketakberdayaan ekonomi. Tanpa hura-hura upacara.
Entah di mana, ujar gambar bergerak, seorang laki-laki mendatangi gedung, di mana wabah sedang diperangi. Sebuah kardus besar diletakkannya di meja petugas, berisi masker dan cairan pembunuh virus. Lalu bergegas pergi. Begitu saja.
Dua petugas memanggil-manggil sampai mengejarnya. Mungkin demi sedikit tindakan administrasi. Atau, sekurangnya, untuk tahu siapa dia, dan berterima kasih. Tapi tak terpanggil dan tak terkejar. Orang itu menghilang ke balik gerbang. Keduanya lantas ambil sikap sempurna. Menghormat gaya tentara ke arahnya. Tanpa dia tahu, apalagi membalasnya.
Pun entah di mana, dua perempuan berbuat serupa, dengan dua tas plastik berisi alat perlindungan bagi pasien atau petugas medis. Menaruhnya di meja petugas, kemudian berlalu. Tanpa kata-kata. Tanpa apa pun jejak pada botol-botol hand sanitizer yang mereka tinggalkan.
Di Jogja, lapor saya kemarin malam, seorang pengusaha kecil angkringan menggratiskan wedang empon-empon. Bagi siapa saja yang mendatanginya. Membeli atau tidak membeli penganan yang dijajakannya. Membeli atau tidak, kaya atau miskin, siapa pun, baginya punya peluang sama untuk terpapar celaka. Dus, pun punya hak yang sama untuk ditolong.
Di media sosial, dokter, tenaga medis dan relawan ambil inisiatif mengabarkan jalan selamat cara mandiri, dari wabah yang hari-hari ini menciutkan nyali. Meluruskan cara-cara bengkok, seraya menyerukan langkah-langkah swadaya. Saya menduga, mereka lakukan di sela jeda kerepotan dan kelelahan di garis terdepan penanggulangan. InsyaAllah, tanpa insentif tambahan.
Orang-orang membagi-bagikan masker dan hand sanitizer, di jalanan. Orang-orang menyemprot-nyemprotkan cairan disinfektan, di bangunan-bangunan. Orang-orang membagi sembako, karena pagebluk menjadikan rumah-rumah penduduk negeri bagai bui tanpa sipir. Orang-orang berdoa, orang-orang mematuhi anjuran, orang-orang menabur budi, di banyak tempat, di mana pun negeri, tanpa dikenali, malah menolak dikenali.
Datang, memberi, dan bersembunyi atau ngacir pergi. Seakan mereka berkata, "Biarkan kami ambil bagian, menolong sesama. Itu saja. Kami bekerja untuk Allah, thok. Selebihnya, samasekali tak penting. Biarlah popularitas dan citra baik jatuh kepada sesiapa yang memerlukannya saja".
Orang-orang itu tak meminta-minta apa pun dari siapa pun untuk diecer-ecer, dibagi-bagikan. Apatah lagi sekadar gaji atau imbalan. Orang-orang itu memberikan apa yang mereka punya, apa yang mereka bisa. Orang-orang itu, agaknya, 'hanya' tengah konsisten dengan ajaran - "Rahasiakan kebaikan di tangan kananmu dari tangan kirimu".
Di depan bergunung-gunung masalah yang tak kunjung rampung, budi baik begini, boleh jadi kelewat kecil, kelewat sebiji zarah. Namun alangkah besar di tengah kebaikan dan kebenaran yang cuma dipertengkarkan, dipamer-pamerkan, digincu-gincukan, didalih-dalihkan, dipidato-pidatokan. Di tengah pengabaian atau pencibiran atas contoh-contoh kebaikan, akibat racun politik yang mencincang akal sehat dan kemurnian nurani.
Orang-orang itu. Mereka yang berkelebat-kelebat, datang entah dari mana, pergi entah ke mana, menebar-nebar budi baik sambil ngumpet dari bidik jutaan mata itu, seolah para sejawat Jibril yang sedang ditugasi Tuhan.
Orang-orang itu...Ambooi! Betapa bikin iri dan cemburu!
Jogja, 27 Maret 2020, pukul 02.47.
*) Budayawan