Utama

Isran Noor IDI Kaltim COVID-19 Nataniel Tandirogang 

Prediksi Isran Maret Corona Reda Meleset, IDI Kaltim: Ini Pertarungan Jangka Panjang



Upaya pencegahan penyebaran Covid-19 dengan menyemprotkan cairan disinfektan. Foto: Humas Polri
Upaya pencegahan penyebaran Covid-19 dengan menyemprotkan cairan disinfektan. Foto: Humas Polri

SELASAR.CO, Samarinda – Jumlah pasien positif virus corona terus mengalami peningkatan di Kaltim. Data terakhir yang dihimpun SELASAR, per hari Selasa (31/3/2020) tercatat 20 orang dinyatakan positif virus corona di Kaltim. Sementara untuk jumlah pasien positif di Indonesia ada 1.528 kasus. Dari jumlah itu, korban meninggal mencapai 136 orang, dengan jumlah yang sembuh 81 orang. Lalu, kapan kira-kira wabah virus corona mereda di Indonesia?

Gubernur kaltim Isran Noor sempat memperkirakan wabah virus ini akan berakhir pada akhir Maret 2020. "Ndak apa-apa itu, nanti paling-paling akhir Maret ini selesai, reda cerita corona. Itungan saya, ya. Itungan saya nanti akhir Maret ini soal corona selesai,” kata Gubernur pada satu kesempatan.

Hal itu ditegaskannya kembali pada saat konferensi pers pada 18 Maret 2020 lalu. “Ini akan berkembang terus, tapi hitungan saya itu akhir Maret sudah selesai," ujar Isran. Namun, tampaknya prediksi itu meleset. Hingga hari Selasa, penambahan kasus baru positif virus corona masih terus terjadi.

Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Kaltim, Nataniel Tandirogang menerangkan, upaya melawan virus corona adalah pertarungan jangka panjang. Semua itu bergantung bagaimana cara kita memutus penularannya. Jika tiap hari penularan virus ini masih berlangsung, wabah ini pun akan berkepanjangan.

Dia mengambil contoh penanganan virus corona di China, yang meski telah tiga bulan berlalu, masih muncul adanya kasus-kasus baru.

"Ya, kalau kita tidak disiplin, pasti lebih panjang (daripada China). Kalau lihat China saja, yang masyarakatnya disiplin karena negara dengan pemerintahan otoriter itu, sedikit panjang masa recovery-nya, apalagi negara yang sifatnya demokratis. Tapi sistem pemerintahan juga tidak menjamin sepenuhnya," terang Nata.

Masyarakat di Indonesia, disebutkannya, memang memiliki kebiasaan bersosial yang tinggi. Sehingga, dengan aturan physical distancing yang tiba-tiba diterapkan, masyarakat belum terbiasa terhadap perubahan tersebut.

"Kita harus akui budaya kita suka berkumpul. Jadi tiba-tiba dilarang untuk berkumpul rasanya ada yang aneh. Dengan adanya physical distancing yang diperluas dengan aturan ketat dan melibatkan aparat, saya kira mudah-mudahan ini bisa berjalan dengan efektif,” tambah doktor lulusan Universitas Gadjah Mada ini.

Meski begitu, pihaknya mengaku belum pernah melakukan perhitungan, terkait kapan wabah ini akan hilang sepenuhnya. Namun, Nata mengatakan bahwa menurut beberapa ahli, puncak wabah virus corona di Indonesia akan terjadi pada pertengahan April hingga awal Mei 2020.

“Wabah itu ketika mencapai puncaknya, baru bisa menurun. Untuk hilang 100 persen itu kan lama, bahkan bisa saja sudah menjadi endemis. Misalnya H1N1 (Influenza A) yang kadang-kadang muncul setiap tahun. Bisa saja tidak hilang full, tapi karena sistem imun masyarakat sudah tinggi, yang kita sebut sehat imun sudah terbentuk di masyarakat, nanti sudah mulai turun kasusnya ke masyarakat yang tidak imun,” terang pengajar mikrobiologi di Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman ini.

Meski begitu, Nata beranggapan mestinya para ahli epidemiologi yang dimiliki pemerintah, bisa menghitung kapan sebenarnya wabah ini dapat berakhir, berdasarkan kebijakan yang telah diambil. Perkiraan ini meliputi kapan kira-kira puncaknya, seberapa besar risiko yang muncul, kemudian resource (sumber daya) seperti apa dan dimana kita akan berakhir kira-kira. 

“Kalau begini kita masih buta, berapa lama kita dikarantina kan tidak tahu sampai kapan. Sehingga peraturan peraturan-peraturan terkait berdiam diri di rumah biasanya dinyatakan sampai batas waktu yang belum ditentukan. Itu karena tidak ada prediksi,” tuturnya.

Proses prediksi ini juga bukan tanpa kendala. Dirinya menjelaskan untuk patokan dasar dalam pemantauan virus corona adalah masa inkubasi selama 14 hari.

“Dalam satu wilayah ketika tidak ada kasus infeksi dalam jangka waktu itu, maka kita anggap tidak ada penularan. Cuma persoalannya, arus masuk ini tidak bisa kita prediksi, artinya bahwa tempat kita clear setelah 14 hari, tiba-tiba di ujung-ujung muncul kasus kiriman. Kalau begitu akan dimulai lagi kita 14 hari. Jadi akan bertambah terus. Ini persoalannya,” paparnya.

Hal ini jugalah yang terjadi di Amerika Serikat. Selama kurang lebih 28 hari, tenang seolah tidak ada kasus. Namun tiba-tiba hari ke 29 angka kasusnya melompat, bahkan melebihi kasus di China.

“Saya khawatir juga dengan kita sebenarnya, kita saat ini kan datar yah (grafis kasusnya). Kaltim ini kan statis datar. Sementara lalu lintas orang dari Jakarta ini kan jalan terus setiap harinya,” kata Nata.

Oleh karena itu, dia pun berharap dengan langkah-langkah progresif yang diambil beberapa pemerintah kabupaten-kota di Kaltim, seperti melakukan penutupan beberapa jalan utama dalam kota dan pembatasan akses jalan antar-kota, dapat menghambat penyebaran virus ini.

“Kalau dari Samarinda sendiri kan masih kasus dari luar, kecuali Balikpapan yang sudah zona merah karena ada transmisi lokalnya. Memang kalau ada penyebaran skala lokal itu harus dijaga betul pergerakan masyarakat dalam daerah itu,” pungkas Nata.

Penulis: Yoghy Irfan
Editor: Awan

Berita Lainnya