Politik

Bupati Kutai Timur Ismunandar KPK Pilkada 2020 Pilbub 2020 Pilbub Kutim Pengamat Hukum Castro 

Korupsi karena Biaya Politik Tinggi, Bisakah Menyeret Parpol di OTT Bupati Kutim?



Pengamat Hukum Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah
Pengamat Hukum Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah

SELASAR.CO, Samarinda – Bupati Kutai Timur (Kutim) Ismunandar menambah deretan kepala daerah yang terseret kasus korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Ismu dan sang istri yang juga Ketua DPRD Kutim, beserta tiga orang kepala dinas dan dua orang rekanan sebagai tersangka kasus gratifikasi sejumlah proyek di Kutai Timur.

Ismu diamankan dengan barang bukti uang tunai Rp 170 juta, beberapa buku tabungan dengan saldo Rp 4,8 miliar, sertifikat deposito sebesar Rp 1,2 Miliar pada Kamis (2/7/2020) lalu. Diduga dana hasil rasuah yang dia lakukan akan digunakan untuk keperluan Pilkada 2020 mendatang.

Pengamat Hukum Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda, Herdiansyah Hamzah mengungkapkan ongkos politik yang tinggi adalah salah satu faktor yang mendorong petahana melakukan kejahatan korupsi. Berdasarkan penelitian Kemendagri pada 2015, di tingkat kabupaten/kota seorang kepala daerah membutuhkan biaya politik sekitar Rp 20-30 Miliar dalam satu pilkada. Jika dilihat dari  gaji yang diterima oleh bupati/wali kota tentu tidak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan.

“Logikanya dia harus mengembalikan modal politik, bagaimana dia mengembalikan modal politik, ya dengan segala cara.  Salah satunya menggunakan jabatannya untuk mengeruk keuntungan atau memperkaya diri sendiri alias korupsi,” ujar pria yang akrab disapa Castro ini, Senin (6/7/2020).

Jika ditilik dari kebutuhan biaya politik bukan hanya pada saat hari pemilihan, namun dimulai dari awal meraih dukungan partai politik di level pusat. Proses panjang hingga hari pencalonan sangat menguras energi dan biaya. Mahar politik yang harus diberikan kepada parpol agar dapat didukung, sudah menjadi rahasia umum. Kejadian inilah yang mendorong petahana melakukan tindak korupsi.

Lantas bisakah menyeret partai politik dalam pusaran kasus yang menjerat kepala daerah, seperti dalam kasus Bupati Kutim? Castro mengungkapkan, dalam Undang-Undang 2 Tahun 2011 tentang tentang Parpol tidak ada klausul sanksi pembubaran parpol yang kadernya korupsi. Namun pada UU 31/99 juncto UU 22/2001 tentang tindak pidana korupsi, memungkinkan hal tersebut.

“Di sana sebenarnya ada delik mengenai korporasi, persoalannya apakah partai politik bisa dikualifikasikan sebagai korporasi? Bisa. Tetapi itu tergantung pada perspektif penyidik,” jelas Castro.

Setelah itu, lanjut akademisi Unmul, tinggal bagaimana pembuktian dari kasus tersebut. Apakah ada dana hasil rasuah yang mengalir ke partai politik, dan proses ini cukup sukar untuk dibuktikan.

“Bisa saja (dibuktikan), memang sulit tapi itu memungkinkan sepanjang itu bisa dibuktikan jika hasil kejahatannya itu untuk kepentingan partai politik. Selama ini sulit dibuktikan, ,meskipun kalau bicara normatif, ruang untuk mengusut itu memungkinkan,” tegasnya.

Lebih lanjut, Castro menegaskan, selama ongkos politik tinggi maka pilkada hanya akan melahirkan pemimpin-pemimpin daerah yang korup. “Solusinya reformasi partai politik melalui perubahan UU 2/2011 tentang Parpol. Partai harus dibuat sedemokratis mungkin, dan dijauhkan dari kendali oligarki,” tandasnya.

Penulis: Fathur
Editor: Awan

Berita Lainnya