Utama

money politics politik uang Pelanggaran Kampanye Bawaslu Bawaslu Samarinda Pilwali Samarinda Pilkada Samarinda 

Kejanggalan Honor Saksi 200 Ribu dalam Video 20 Detik, Bawaslu Diminta Jeli



Beredar sebuah video yang memperlihatkan dugaan pembagian uang oleh salah satu peserta pilkada Samarinda.
Beredar sebuah video yang memperlihatkan dugaan pembagian uang oleh salah satu peserta pilkada Samarinda.

SELASAR.CO, Samarinda - Kurang dari seminggu lagi warga Samarinda akan melaksanakan tahapan pencoblosan calon wali kota dan wakil wali kota. Namun, semakin mendekati hari H pencoblosan, dugaan money politics justru menyeruak.

Seperti pada Jumat (4/12/2020) kemarin, beredar video di aplikasi Whatsapp, berisi pembagian amplop yang diduga dilakukan oleh oknum tim paslon peserta pilkada di Samarinda. Dalam video berdurasi 20 detik itu, terlihat tumpukan amplop yang diduga berisi uang Rp200 ribu untuk relawan saksi pemantau. Tidak jauh dari tumpukan amplop tersebut, juga ikut terekam dua lembar kertas, berkop foto salah satu peserta pilkada Samarinda 2020.

Kuasa hukum paslon tersebut kepada SELASAR telah menyampaikan bahwa uang dalam amplop itu adalah honor relawan saksi pemantau. “(Uang itu) honor sebagai relawan saksi pemantau di TPS. Uang diserahkan hanya satu kali untuk pemantauan nanti. Kan dia perlu ada uang transportasi, biaya konsumsi dan lain-lain. Dan itu dalam undang-undang, dibenarkan. Saksi pemantau ini untuk memantau jalannya pemilihan di saat hari H pemilihan supaya berjalan secara jujur dan adil," jelasnya.

Menanggapi hal itu, pengamat politik dari Universitas Mulawarman (Unmul), Budiman, menuturkan, banyak cara yang biasa digunakan tim sukses paslon dalam memenangkan pilkada. Salah satunya menyamarkan aksi politik uang dengan kedok saksi partai.

“Ada beberapa modus terkadang yang biasa dipakai oleh pasangan calon untuk menyamarkan money politics. Salah satunya dengan memperbanyak saksi. Misalnya dalam TPS itu ada 100 orang pemilih, kemudian ada 10 partai pendukung yang masing-masing punya dua saksi. Maka otomatis sudah ada 20 suara dalam TPS itu. Belum lagi misalnya simpul-simpul relawan dan lain-lain. Jadi ini modus sebenarnya yang terkadang digunakan untuk memenangkan kontestasi, dengan menyamarkan saksi,” jelas Budiman.

Dosen Fisipol Unmul ini pun menyebut sudah menjadi tugas Bawaslu untuk membuktikan apakah benar uang tersebut memang diperuntukkan sebagai honor atau untuk tujuan lain.

“Penyelenggara pemilunya dalam kasus ini Bawaslu berapa kali mendapatkan temuan, namun beberapa kali cenderung tidak terbukti saat proses pembuktian. Para pelaku kan terkadang menyamarkan aksinya. Ketika dibahasakan sebagai honor, dimana-mana kan biasanya dibayarkan setelah (bekerja), bukan sebelum. Dari sini kita bisa melihat bagaimana kejelian Bawaslu untuk menyelidiki,” terang Budiman.

Di samping itu, dirinya pun menaruh curiga dengan jumlah honor saksi TPS yang lebih kecil dari biasanya, melihat beban kerja seorang saksi yang berat. “Setahu saya honor saksi itu sedikit kalau Rp 200 ribu, apalagi pilkada. Kalau kita melihat yang lalu-lalu, kalau segitu sangat-sangat kecil, jarang orang mau. Kalau dalam persepsi saya karena ini jumlahnya kecil, maka tidak masuk akal itu honor saksi,” terangnya,

“Sehingga dalam konteks ini Bawaslu diuji untuk bisa membuktikan bahwa itu betul-betul money politics. Karena kalau ditanya pasangan calon atau timnya, pasti mereka memiliki berpuluh ribu alasan yang bisa dijadikan dasar bahwa mereka tidak melakukan money politics,” pungkasnya.

Penulis: Redaksi Selasar
Editor: Awan

Berita Lainnya