Politik
Pilkada Samarinda Pilwali Samarinda Hasil Pilkada Samarinda Kemendagri Gugatan Pilkada 
Kata Data Kemendagri, Hasil Pilkada Samarinda Berpotensi Timbulkan Gugatan
SELASAR.CO, Samarinda – Sebanyak 270 daerah yang terdiri dari 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota, telah menggelar pemungutan suara pilkada serentak pada Rabu 9 Desember 2020 lalu. Hingga saat ini, Komisi Pemilihan Umum (KPU) masih menghitung perolehan suara para calon kepala daerah.
Meskipun demikian, berdasarkan hitung cepat dan perhitungan suara sementara, persentase perolehan suara antar-paslon di sejumlah daerah sudah bisa diketahui. Dari seluruh daerah yang mengikuti pilkada serentak, ada 42 kabupaten dan 5 kota yang berpotensi menimbulkan gugatan pilkada di Mahkamah Konstitusi (MK) karena memiliki persentase selisih suara di bawah 5 persen.
Hal itu diketahui dari data Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yang ditampilkan pada Rapat Refleksi dan Proyeksi Pelaksanaan Pilkada Serentak. Kegiatan itu dipimpin Menko Polhukam Mahfud MD melalui Video Conference yang diikuti seluruh kepala daerah di Indonesia yang sedang melaksanakan pilkada serentak.
Kabupaten yang memiliki persentase selisih suara di bawah 5 persen seperti Kabupaten Karimun, Lampung Timur, Tana Toraja, dan puluhan lainnya. Sedangkan 5 Kota dengan persentase selisih suara di bawah 5 persen adalah Kota Metro, Ternate, Samarinda, Bontang, dan Bukti Tinggi.
Berita Terkait
Menko Polhukam Mahfud MD beberapa waktu lalu sempat mengungkapkan akan ramai muncul ketidakpuasan terhadap hasil pilkada. “Di beberapa daerah tertentu ini sering menimbulkan kekerasan fisik, tapi di daerah-daerah lainnya ada yang kemudian menempuh pengadilan,” ungkap Mahfud.
Dari data Kemendagri tersebut, Samarinda salah satu daerah yang memiliki persentase suara di bawah 5 persen, dengan total suara yang masuk hingga saat ini mencapai 68,45 persen. Pasangan calon (paslon) nomor urut 2 Andi Harun-Rusmadi memimpin suara dengan perolehan 36,1 persen, disusul paslon nomor urut 3 dengan perolehan suara 33,9 persen. Artinya selisih suara hanya 2,2 persen.
Diketahui MK sudah mempersiapkan sarana dan prasarana serta sumber daya manusia (SDM) untuk menindaklanjuti sengketa Pilkada 2020. MK juga sudah mempersiapkan regulasi dan mengadakan bimbingan teknis hukum acara perselisihan hasil pilkada untuk para penyelenggara dan peserta pilkada.
Juru Bicara MK, Fajar Laksono, mengatakan sudah banyak hal yang dipersiapkan sesuai kebutuhan, yaitu regulasi, bimtek untuk penyelenggara pilkada dan peserta, SDM, sarana dan prasarana persidangan, protokol kesehatan, dan aplikasi berbasis elektronik.
Bahkan untuk mengatasi banyaknya pengajuan sengketa hasil pilkada, MK juga sudah menyediakan Sistem Informasi Penanganan Perkara Elektronik (SIMPEL) dan dapat diakses di simpel.mkri.id.
"Kita juga siapkan lokasi dan petugas penerima permohonan yang datang langsung dengan pembatasan jumlah kehadiran serta pemberlakukan protokol kesehatan secara ketat," ujar Fajar.
Ia menjelaskan peserta pilkada dapat mengajukan permohonan sengketa hasil pilkada pada 16 Desember 2020 hingga 5 Januari 2021 pukul 24.00 WIB untuk provinsi. Sementara untuk kabupaten/kota dapat dilakukan pada 13 Desember 2020 hingga 5 Januari 2021 pukul 24.00 WIB.
Namun, tidak semua gugatan pasangan calon yang tak puas dengan hasil Pilkada 2020 bisa diterima MK. Sebab ada syarat selisih perolehan suara yang harus terpenuhi.
Berdasar Peraturan MK Nomor 6 Tahun 2020 tentang Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota, setidaknya selisih perolehan suara paling banyak sebesar 2 persen dari total suara sah jika provinsi tersebut memiliki jumlah penduduk kurang dari 2 juta jiwa.
Sesuai peraturan tersebut pada level pemilihan bupati dan wali kota, paslon yang dapat mengajukan gugatan ke MK jika punya selisih suara sebesar 2 persen dari total suara sah jika kabupaten/kota tersebut yang memiliki jumlah penduduk kurang dari 250 ribu jiwa.
Jika kabupaten/kota dengan jumlah penduduk 250 ribu jiwa-500 ribu jiwa, maka selisih perolehan suara paling banyak sebesar 1,5 persen dari total suara sah.
Lalu jika kabupaten/kota dengan jumlah penduduk 500 ribu jiwa-1 juta jiwa, maka selisih perolehan suara paling banyak sebesar 1 persen dari total suara sah.
Namun, jika kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari 1 juta jiwa, maka selisih perolehan suara paling banyak sebesar 0,5 persen dari total suara sah.
Bila selisih suara di luar rentang perhitungan di atas, dipastikan MK tidak akan menerima permohonan tersebut.
Penulis: Redaksi Selasar
Editor: Awan